Menuju konten utama

Beda Pandangan Politik dengan Pasangan, Memangnya Boleh?

Punya pandangan politik yang berbeda dengan pasangan sebenarnya sah-sah saja, asalkan jangan sampai mengganggu keharmonisan rumah tangga, ya!

Beda Pandangan Politik dengan Pasangan, Memangnya Boleh?
Header Diajeng Pasangan Beda Politik. tirto.id/Quita

tirto.id - Masa kampanye dan pemilihan presiden sudah di depan mata!

Politik tentu jadi tema obrolan yang lazim kamu temui di kantor, lingkungan perumahan, sampai lingkaran pertemanan kasual.

Meski pembicaraan biasanya dibuka secara spontan tentang kehebatan capres pilihan dan kubu masing-masing, bukan tidak mungkin ujung-ujungnya obrolan politik ini dapat mempolarisasi, membuat emosional bahkan memecah belah hubungan.

Tak terkecuali di atas ranjang pun, pasangan suami-istri membahas politik dan pemilihan capres yang berpotensi diakhiri dengan adu argumen.

Sebagian besar pasangan biasanya memang memilih capres dan meyakini haluan politik yang sama, namun tak bisa dimungkiri tentu juga ada pasangan yang punya pandangan politik berbeda.

Mira (nama samaran) misalnya, terus terang mengaku akan memilih calon presiden yang beda dengan suaminya.

“Aku fanatik paslon tertentu karena bukti nyata keberhasilannya membangun Indonesia. Sementara suami lebih rasional dengan mempertimbangkan background paslon, dan dia tidak akan memilih paslon tertentu,” jelas Mira.

Meski begitu, tahap perbedaan pilihan politik Mira dan suami sebatas adu argumen saja.

“Adu gagasan masing-masing, saat debat capres di TV misalnya, kesalahan paslon tertentu bisa jadi bahan serangan untuk adu argumen saya dengan suami, tapi untungnya, hal ini tidak sampai mempengaruhi keharmonisan kami di tempat tidur,” lanjut Mira.

Header Diajeng Pasangan Beda Politik

Header Diajeng Pasangan Beda Politik. foto/IStockphoto

Mira menambahkan, suka tidak suka, akan ada pemimpin baru yang akan membawa Indonesia ke masa depan—dan iya meyakininya bahwa itulah kehendak Tuhan. Jadi, ia tak terlalu memusingkan siapa pun yang akan menjadi presiden nanti.

Ketika menyangkut pandangan politik dan relasi dengan pasangan kekasih yang lazimnya kita jumpai pada usia dewasa matang, perlu kita pahami bahwa kita tidak akan dapat mengubah pandangannya. Penelitian menunjukkan bahwa pandangan politik kita sebagian dibentuk oleh genetika, kepribadian, keluarga, dan komunitas tempat kita dulu pernah dibesarkan.

Memelihara hubungan dengan pasangan yang beda pandangan politik memerlukan komunikasi terbuka dan mendalam. Penting untuk berbagi pendapat yang autentik guna membangun sebuah jembatan.

Mendengarkan pasangan dengan penuh hormat dan aktif, merespons dengan bahasa yang tidak menghasut, mengakui perbedaan, dan memiliki batasan yang jelas dapat diterapkan saat memiliki pasangan yang berbeda pandangan politik.

Konsultan pernikahan Indra Noveldy mengatakan, “Bagi mereka yang sudah menikah, biasanya dalam ajaran agama, pasangan tersebut harus sekufu. Atau bisa disebut satu frekuensi, satu tata nilai. Namun ternyata, ada pasangan yang memiliki perbedaan cara pandang, visi misi dan ini termanifestasi pada pilihan capres. Jangan sampai perbedaan pilihan politik ini dapat menimbulkan masalah baru di rumah tangga."

Indra menegaskan, terdapat tiga rambu konflik yang perlu dipermasalahkan dalam kehidupan rumah tangga.

Pertama, apakah ada hal yang melanggar tuntunan agama, misalnya salah satu pasangan selingkuh. Kedua, hal yang membahayakan jiwa, misalnya mengancam dan menyakiti fisik saat bertengkar. Ketiga, melanggar akal sehat—misalnya, suami mengajak minum air comberan.

“Kalau masalah rumah tangga tidak melanggar dari tiga rambu-rambu tersebut, jadi cuma masalah preferensi saja. Masalah perbedaan pilpres di rumah tangga bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan dan tidak krusial pada nasib keluarga,” papar Indra.

Indra menambahkan, “Jangan sampai beda pilihan capres justru menimbulkan masalah baru. Setiap pasangan perlu belajar mengukur kapasitas diri sendiri. Apakah dengan mengangkat topik ini akan menimbulkan masalah baru? Melihat apa dampaknya jika saya ngomong masalah ini? Bisa saja, trigger-nya beda pilihan capres, padahal mungkin ada hidden problem yang sudah menumpuk dan belum diselesaikan.”

Lain cerita apabila pasangan sudah terbiasa berdiskusi, memiliki level hubungan yang setara, dan masing-masing terbiasa bebas mengutarakan pendapat. Perbedaan pandangan politik tentu akan disikapi dengan aman-aman saja.

Berbeda dengan kasus Mira, Ina (28, nama samaran) berencana memilih pasangan yang memiliki pandangan politik yang sama dengan dia.

“Dalam memilih calon suami, agama dan pilihan politik harus sama, tidak bisa dinegosiasi, karena ini fondasi rumah tangga,” tegas Ina.

Pada 2019 lalu, Ina pernah menolak cowok karena salah satu alasannya beda pilihan capres. “Saya orangnya tidak suka berdebat. Kalau beda capres aja bikin berantem apalagi masalah lain,” ungkapnya.

Menurut hasil survei oleh Match dalam konteks Brexit pada 2016 yang dikutip dari The Independent, sebanyak 30,5 persen responden usia 18-24 menganggap politik sangat penting bagi sebuah hubungan.

Dari angka tersebut, sebanyak 17,5 persennya bahkan enggan mencari tahu tentang pandangan politik si teman kencan—sesederhana khawatir hal itu akan mengubah perasaan mereka tentang sang calon kekasih.

Pelipatan surat suara Pemilu di Bantul

Pekerja melipat surat suara pemilu 2024 di gudang logistik pemilu KPU Bantul, D.I Yogyakarta, Kamis (4/1/2024). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/agr/aww.

Sementara itu, survei terhadap kalangan lajang di Amerika Serikat tahun 2022 mengemukakan bahwa mereka cenderung menyukai partner yang sadar akan politik.

Sebanyak 58 persen responden menyatakan, saat ini sangat penting bagi mereka untuk mengetahui pandangan politik partnernya. Namun, 37 persen responden menganggap partner yang terlalu kencang beropini malah dapat menghancurkan hubungan mereka. Selain itu, 28 persen responden enggan punya pasangan yang tidak terdaftar dalam pemilu alias tidak berminat memilih wakil rakyat.

Buat kamu yang belum menikah, konsultan pernikahan Indra Noveldy menyarankan, “Sebaiknya jangan menghakimi pilihan politik pasangan. Belajarlah mencari tahu kenapa si dia memilih A bukan B, kita gali, apa latar belakangnya, kerangka berpikirnya. Jawaban yang diberikan calon pasangan ini justru akan menjadi pertimbangan kita akan nilai dan kepercayaan yang dia pegang. Pahami apa penyebab kebenciannya, bisa jadi ada trauma yang ia rasakan,”

Bagi pasangan suami-istri yang berbeda pandangan politik, dibutuhkan salah satu pasangan yang berpikir dewasa lebih cepat agar perkara preferensi politik ini tidak berujung pada pertengkaran.

“Konsepnya bukan mengalah, tetapi belajar mengerti tanpa harus setuju,” jelas Indra.

Lantas, siapa yang lebih siap duluan untuk memulai? Bukankah baik istri maupun suami sama-sama ingin dimengerti?

“Minimal satu pihak mulai duluan untuk belajar mengerti adalah kunci untuk menyelamatkan hubungan,” pungkas Indra.

Senada dengan Indra, terapis pernikahan dan keluarga bersertifikat di San Diego, Amerika Serikat Dana McNeil Ph.D memberikan masukan, “Cara ideal untuk membicarakan perbedaan politik sebagai pasangan memerlukan keduanya untuk duduk bersama dan mengungkap tujuan dan mimpi bersama.”

McNeil melanjutkan, “Hal ini dapat menciptakan atmosfer yang mempertemukan kesamaan dan nilai-nilai. Tujuannya adalah mendapatkan jalan keluar yang akan menavigasi masalah-masalah besar tanpa harus melemahkan karakter salah satu pasangan.”

Nah, bagaimana denganmu? Sejauh mana kamu dapat berkompromi dengan perbedaan pandangan politik pasangan?

Baca juga artikel terkait LYFE atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Daria Rani Gumulya
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Sekar Kinasih