tirto.id - Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Mahfudz Siddiq menilai opsi menggunakan kekuatan militer tidak memungkinkan diambil dalam rangka menyelamatkan sepuluh warga negara Indonesia (WNI) yang disandera Kelompok Abu Sayyaf. Pemerintah disarankan lebih baik mengambil jalur negosiasi.
“Operasi militer Pemerintah Filipina yang gagal, memberikan isyarat penting untuk membebaskan sepuluh WNI harus mempertimbangkan pendekatan kemanusiaan melalui jalur negosiasi,” kata dia, di Jakarta, Senin (11/4/2016).
Menurut Mahfudz, apabila prioritas utama pemerintah adalah menyelamatkan sepuluh WNI, maka jalur negosiasi merupakan cara yang harus ditempuh. Karena itu, dia mendorong pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) untuk semakin mengintensifkan komunikasi antara penyandera dan perusahaan dalam usaha membebaskan sandera.
“Sejak hari kedua penyanderaan, perusahaan lakukan komunikasi dengan penyandera. Saya mendorong Kemlu mengintensifkan komunikasi, karena kewajiban pemerintah untuk mendampingi dan memfasilitasi dalam pembebasan,” kata dia.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menilai opsi menggunakan kekuatan militer tidak memungkinkan diambil dan juga tidak menjamin keselamatan para sandera. Karena itu, lanjut dia, Pemerintah Indonesia harus realistis dan mempertimbangkan opsi kemanusiaan dalam membebaskan sepuluh WNI.
“Peristiwa militer Filipina yang gagal membuktikan bahwa mereka tidak mampu, lalu bagaimana menjamin kalau militer Indonesia masuk lebih beresiko terhadap para sandera dan pasukan yang dikirim,” kata dia menjelaskan pendapatnya.
Mahfudz menegaskan apabila jalur pemberian uang tebusan diberikan, maka itu tidak menggunakan uang negara karena dananya berasal dari perusahan tempat sepuluh WNI bekerja.
Hal itu, menurut dia karena negosiasi uang tebusan dilakukan antara perusahaan dengan Kelompok Abu Sayyaf dan pemerintah melakukan pendampingan serta pengawalan sehingga pembebasan sandera berlangsung aman dan lancar. (ANT)