tirto.id - Selepas heboh aksi peretasan yang menimpa situs resmi Telkomsel, kali ini giliran situs berita Tempo.co dan Pengadilan Negeri di Negara, Kabupaten Jembrana, Bali.
Situs resmi Pengadilan Negeri Negara Kabupaten Jembrana, Bali pun diretas. Di laman depan www.pn-negara.go.id terpampang foto dan pesan bernada protes terkait pemidanaan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
"Simple explanation, they didn't know the difference between 'eat with spoon' and 'eat spoon'. They claimed both are same meaning and made this governor guilty. The end." Demikian kalimat yang terpacak di laman PN Negara.
Kemudian, laman situs Tempo pun diretas. Kalimat “Hacked by Rizieq Shihab," terpampang lengkap dengan foto Habib Rizieq dan beberapa orang lainnya. Tepat di bawah foto tersebut tertulis “Bebaskan Ahok!”
Dari pantauan, aksi yang menimpa situs Tempo tersebut, telah berlangsung sejak tengah malam di hari Kamis, 11 Mei 2017. Dan hingga pagi hari, situs berita tersebut masih belum pulih dari aksi peretasan. Begitu pula situs PN Negara. Saat coba dilihat melalui pencarian Google, jejak peretasan juga terlihat. Saat dicek Kamis siang, pukul 13.00, kedua situs itu telah pulih seperti sedia kala.
Melalui akun Facebook-nya, Tempo mengklarifikasi aksi peretasan yang menimpa situsnya tersebut. Mereka menyatakan server DNS Tempo yang berada di Amerika Serikat telah diretas oleh hacker. Dan melalui pengumuman tersebut pula, Tempo mengatakan bahwa database yang mereka miliki aman.
Secara teknis, DNS atau Domain Name Server merupakan sistem yang berguna untuk mengontrol nama domain. Saat seorang pengunjung mengetik nama domain di address bar sebuah perambah dan menekan “enter”, DNS langsung bekerja mengarahkan pengunjung tersebut ke server situsweb yang ia tuju.
Serangan terhadap DNS, cukup sering terdengar. Paling menghebohkan adalah serangan yang terjadi di tahun lalu dimana sebuah malware bernama Mirai, digunakan untuk melumpuhkan provider DNS bernama Dyn. Akibat serangan tersebut, banyak situsweb-situsweb yang memanfaatkan jasa Dyn, ikut tumbang. Serangan pada provider tersebut, memanfaatkan teknik DDOS, atau secara sederhana, menyerang suatu sistem dengan serangan traffic bertubi-tubi.
Secara keseluruhan, dikutip dari Internet Live Stats, terjadi ribuan kali aksi peretasan yang menimpa situsweb. Saat dilihat di situs tersebut, tercatat telah terjadi lebih dari 30.000 kasus peretasan. Dan angka tersebut masih terus bertambah.
Selain itu, data dari Statista menyatakan bahwa pada Agustus 2015, 12 persen serangan siber menyasar serangan terhadap situsweb. Rata-rata dalam enam tahun, serangan demikian terjadi dalam persentase 13 persen. Di 2015, mengutip data Statista, serangan siber menyebabkan kerugian hingga lebih dari $1 miliar. Angka tersebut meningkat berkali-kali lipat dibanding tahun 2001 yang hanya mengakibatkan kerugian sekitar $17,8 juta.
Secara lebih spesifik, apa yang terjadi pada Tempo dan pada situs Telkomsel baru-baru ini adalah aksi deface. Aksi deface merupakan salah satu bentuk serangan hacker atau peretas. Data yang dipublikasikan BanffCyber, sebuah firma keamanan internet, di tahun 2015 terdapat 950 ribu aksi deface. Menurut data yang mereka publikasikan, aksi deface paling tinggi terjadi di tahun 2011 dengan lebih dari 1,6 juta aksi deface yang diderita situsweb-situsweb di dunia.
Aksi peretas dengan melakukan deface pada berbagai situsweb, dalam jurnal berjudul “Hacktivism and the Future of Political Participation” karya Alexander Whitney Samuel, terutama memang terkait dengan isu-isu sosial. Samuel, dalam jurnalnya salah satunya menyebut bahwa deface merupakan “political motivated hacking” atau peretasan yang memiliki motif politik.
Seperti ditulis pada laman Universitas Stanford, Hacktivism merujuk pada pendapatan Dorothy Denning, seorang peneliti keamanan digital mengungkapkan bahwa frasa tersebut, merujuk pada “pernikahan antara peretas dan aktivis”. Secara lebih spesifik, aksi-aksi hactivism, merupakan aksi peretasan yang memiliki motif-motif politik.
Berbeda dengan aksi peretasan umum yang mengincar tujuan materi, hactivism lebih memilih untuk memperoleh panggung agar apa yang diperjuangkan, terdengar oleh khalayak. Aksi terhadap Tempo dengan tulisan “Bebaskan Ahok” di laman yang diretas, tentu diharapkan mendapat perhatian serius dari masyarakat. Apalagi situs yang diretas cukup memiliki nama di dunia media di Indonesia.
Apa yang dialami Tempo (juga Telkomsel) jelas bukan sesuatu yang baru. Pada 18 Agustus 1996, situs resmi Departemen Kehakiman Amerika Serikat, di-deface oleh peretas. Dalam aksinya, mereka mengubah judul, dari “United States Departement of Justice” menjadi “United States Departement of Injustice”. Aksi tersebut merupakan respons atas keadaan yang menurut peretas tidak adil.
Mirip dengan apa yang dialami Tempo, pada 4 September 2012, situs berita Al Jazeera diretas oleh sekelompok peretas yang menamai diri mereka “Al-Rashedon”. Dalam aksi tersebut, si peretas mengungkapkan bahwa aksi tersebut merupakan respon mereka, salah satunya, terhadap berita palsu yang disebarkan untuk melakukan propaganda di Suriah.
Aksi peretasan tersebut merupakan ekspresi simpati kelompok tersebut pada Bashar al-Assad. Mirip dengan peretasan yang dialami Tempo, di mana si peretas bersimpati terhadap putusan pengadilan yang mengganjar Basuki Tjahaja Purnama penjara dua tahun.
Dalam kasus Tempo dan PN Negara, peretas ingin menyampaikan suaranya bahwa Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama, tidak selayaknya dipenjara atas apa yang dialaminya.
Memang, apa yang dilakukan si peretas tidak akan berdampak langsung terhadap status Ahok. Namun, sebagaimana telah disinggung di awal, aksi peretas tersebut merupakan bagian dari aksi aktivis menyuarakan pendapat. Dan karena Tempo bisa dibilang media besar di Indonesia, terlepas Ahok akan tetap dipenjara ataupun tidak, mereka telah berhasil dalam menyuarakan pendapatnya.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani