tirto.id - Konservasi air di wilayah Yogyakarta mengalami sejumlah kendala, beberapa diantaranya adalah keberadaan produk hukum tidak diimbangi dengan implementasi yang tepat, dan adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang belum dapat dikendalikan oleh pemerintah daerah padahal penurunan air di Yogyakarta semakin meningkat.
“Kadang-kadang ada produk hukumnya, cuma dalam penerapannya ada banyak kendala, misalnya apakah iya ketika pengelolaan air yang sudah digunakan harus di daur ulang? Saya kira tidak semuanya, memang ada hal-hal yang perlu dikendalikan, terutama tata ruang, harapannya perda dan perhub yang mengatur bisa diperbaiki,” ungkap Ni Made Dwipanti Indrayanti dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY dalam acara National Workshop bertajuk Best Practices of Sustainable Water Resources Management Based on Ecohydrology Approach, berlokasi di Hotel New Saphire Yogyakarta, Rabu (12/10/2016).
Ia mengatakan kawasan Merapi merupakan kawasan yang berpotensi besar sebagai sumber air. Menurutnya, untuk pengelolaan di kawasan itu membutuhkan perhitungan khusus, sebabnya saat ini aktivitas di kawasan tersebut di bidang pariwisata minat khusus bergerak pesat dan cukup berpengaruh pada perekonomian daerah.
Hal ini menyebabkan pemerintah daerah memikirkan cara konservasi yang aman untuk persediaan air yang tidak berdampak buruk pada pendapatan daerah. Meskipun demikian, kata Made, terjadi kendala-kendala tertentu di lapangan.
“Koordinasi sering dilakukan, tapi selalu ada ego-ego, kalau sudah dibenturkan dengan kepentingan-kepentingan daerah ini sering terjadi pelencengan, seperti di kota, gubernur itu sudah sering menegur terhadap pembangunan yang luar biasa terhadap pembangunan,” ungkap Made.
Sementara itu, Heru Hendrayana seorang pakar Hidrogeologi UGM menambahkan informasi bahwa air di kawasan merapi memang sudah tidak boleh diambil. “Air di atas memang sudah tidak boleh untuk diambil,” ujarnya.
Ia menerangkan fenomena penurunan debit air tanah di suatu wilayah belum tentu terjadi di wilayah lain. Apabila masyarakat menyalahkan pembangunan hotel dan gedung-gedung bertingkat lainnya, tidak demikian dengannya. Ia menyebut, pembangunan hotel dan gedung-gedung bertingkat lain tidak bisa menjadi satu-satunya penyebab penurunan air tanah.
“Ada dua faktor, yaitu faktor manusia dan faktor alam, saya tidak ingin gegabah membuat kesimpulan,” kata Heru.
Ia menerangkan, faktor manusia itu bisa dalam bentuk pembangunan sementara faktor alam akan lebih sulit ditentukan karena harus melalui pengujian terlebih dahulu. Ia mencontohkan salah satu hal yang harus diuji untuk mengetahui penyebab penurunan air di area Yogyakarta ialah kandungan lapisan bawah tanahnya.
“Kita membutuhkan data statistik, parameter air tanah itu terlalu banyak, jangan-jangan yang menyebabkan penurunan itu lebih banyak faktor alamiahnya,” kata Heru.
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh