tirto.id - Bank Dunia menilai bahwa kesenjangan pendapatan bukan sekadar dampak ketimpangan, melainkan akibat adanya ketimpangan peluang. Melihat ketimpangan peluang di Indonesia, layanan kesehatan dinilai sebagai faktor pertama.
"Sekitar 37 persen balita Indonesia mengalami stunting atau tidak menerima nutrisi yang cukup, mulai dari kandungan hingga usia dua tahun. Stunting mengakibatkan otak seorang anak kurang berkembang," kata Managing Director and Chief Operating Officer World Bank Sri Mulyani di Universitas Indonesia, Depok, Selasa (26/7/2016).
Artinya, satu dari tiga anak Indonesia akan kehilangan peluang baik dalam hal pendidikan maupun pekerjaan di sisa hidup mereka.
“Ini adalah musibah bagi bagi Indonesia. Tingkat stunting Indonesia sangat tinggi dibandingkan dengan negara tetangga,” papar Sri Mulyani.
Misalnya, lanjut Sri, tingkat stunting di Thailand adalah 16 persen dan Vietnam 23 persen. Tingkat ini lebih baik dibandingkan Indonesia.
“Fakta ini membuktikan bahwa negara tetangga lebih serius dalam pelayanan kesehatan,” ungkap Sri.
Masalah kesehatan dinilai memiliki kaitan, baik dengan ketersediaan anggaran maupun kualitas penggunaan anggaran.
"Tingkat belanja kesehatan Indonesia 1,2 persen dari produk domestik bruto (PDB) 2014. Belanja kesehatan Indonesia terendah ke lima dunia," katanya.
Selain masalah jumlah anggaran, cara membelanjakan anggaran juga sangat penting. Anggaran kesehatan pada 2016 sekitar 5 persen dari APBN 2016, angka tersebut naik dari 3,9 persen pada 2015.
“Kalau anggaran kesehatan naik tapi kinerja enggak naik, ya sama saja,” kata Sri.
Mantan Menteri Keuangan tersebut mengungkapkan, saat ini akses layanan kesehatan di desa-desa mengalami penurunan.
Lebih dari 40 persen penduduk Kalimantan Barat, Maluku dan Sulawesi Barat memerlukan lebih dari satu jam untuk mencapai rumah sakit umum. Sementara nasional hanya 18 persen. Selain itu, hanya tiga provinsi yang memenuhi rekomendasi World Healt Oragization (WHO) dengan adanya satu dokter untuk tiap 1.000 penduduk.
Upaya Indonesia untuk meratakan akses layanan kesehatan yang layak perlu ditingkatkan, bila kita ingin memiliki generasi masa depan yang lebih baik dan berkualitas.
"Generasi muda harus mendapat perhatian dari pemerintah,” tegasnya.
Faktor kedua yang berperan dalam ketimpangan peluang adalah belum meratanya kualitas pendidikan di Indonesia.
“Sekolah di desa berpeluang lebih kecil untuk memiliki guru yang terlatih dan failitas yang baik. Ketidakhadiran gurupun menjadi masalah,” papar Sri.
Ini mengakibatkan capaian pendidikan sangat bervariasi antara kabupaten dengan kota dan antar-provinsi. Sri Mulyani mencontohkan, anak kelas 3 SD di Jawa bisa membaca 26 huruf lebih cepat per menit dibandingkan dengan anak di Nusa Tenggara, Papua atau Maluku.
Sementara itu, pada tingkat SMA, angka partisipasi sekolah turun drastis bagi penduduk miskin. Hanya 33 persen anak-anak dari kelompok dua persen termiskin tetap di tingkat SMA, dibandingkan dengan 76 persen untuk kelompok dua puluh persen orang kaya.
“Tak hanya itu kualitas siswa Indonesia juga dapat diukur dari peringkat tes PISA, di mana posisi Indonesia di urutan 64 dari 65 negara. Test ini menilai kemapuan siswa dalam bidang matematika dan pemahaman membaca,” pungkas Sri.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari