tirto.id - Kehidupan tidak kekal. Ada saatnya mati. Begitu juga bank. Anda jangan berpikir sekarang, tapi ke depan. Kalaupun tidak mati, mungkin sekarat.
Bisa jadi kesimpulan ini tergesa-gesa, tapi sinyal ke arah sana nampak. Zaman yang terus berubah, peradaban bergerak, bisnis pun bermutasi bentuk dan model.
Bisnis bank utamanya adalah pembiayaan usaha. Keuntungannya dari bunga alias rente. Ada banyak jenis pembiayaan, seperti utang (loan) yang dihiasi dengan berbagai produk seperti kepemilikan rumah (KPR), untuk kepemilikan mobil (KPM) dan lain-lain. Ada utang untuk bisnis, misalnya dengan jaminan kolateral (borg asset) atau anjak piutang alias factoring (jaminan tagihan bisnis dari penerima utang).
Bagi pebisnis UKM, kolateral adalah momok. Sebab, bisnis Anda sukses atau tidak, bank tidak terlalu peduli. UKM Anda bangkrut, anda tetap harus membayar utang. Bila gagal, jaminan akan amblas.
Terobosan baru dalam pembiayaan, adalah dalam bentuk venture capital (modal ventura biasa disebut VC). Skemanya bermacam-macam, dengan model pendekatan bisnis yang beda, seperti penyertaan modal dan strategis partner. Sehingga kalau Anda gagal, maka pemberi modal pun akan ikut merugi. Kalau pertumbuhan bisnis Anda menarik, maka VC akan memetik hasil juga. Semakin cepat pertumbuhan bisnis Anda, maka semakin besar nilai pertumbuhan VC tersebut. Tumbuh bersama itulah value yang utama dari VC.
Hari-hari ini VC bukan hal asing. VC adalah modal dalam bentuk uang yang diberikan kepada perusahaan rintisan (startup) – yang tak beda jauh dengan UKM -- yang potensial dan sedang berkembang. VC menjalankan aktivitas manajemen dan administrasi pendanaan, penyaluran, serta pengawasan.
Dari data, ada nama-nama besar yang mengoyak bisnis startup di Indonesia. Mereka terlibat dalam pendanaan besar di perusahaan rintisan seperti GoJek, Tokopedia, BukaLapak, OLX, Uber, Kaskus, Bhinneka.com, Traveloka, dan lain-lain. Yang terlibat dalam pembiayaan tersebut, antara lain Softbank, Global Fund Capital, EastVenture, North Star, Sequioa, Rocket Internet, dan lain-lain. Semua dari luar negeri. Sedang yang VC lokal seperti Ideosource, Kejora, Merah Putih, Nusantara, dan lain-lain.
Sebagian besar perusahaan pembiayaan itu, tumbuh pesat dan bisa melakukan akuisisi produk startup untuk dibiayai. Mereka peduli dengan basis pelanggan. Pola pikirnya adalah entrepreneur, yang mencari pelanggan. Bukan pola pikir pedagang konvensional yang hanya mendapatkan pembeli – tidak berkelanjutan (unsustained).
Cara melakukan akuisisi pelanggan dengan memberikan layanan gratis, kemudian experience pengguna menjadi modal untuk viral marketing yang tren positif, selanjutnya mereka akan melihat reaksi dan pertumbuhannya. Semakin tumbuh, biasanya semakin berani VC untuk menambah injeksi modal. Bila ada pihak lain yang tertarik untuk injeksi berikutnya, maka hal itu dalam keadaan nilai (valuasi) perusahaan sudah naik berkali-kali lipat. Valuasi adalah hal yang penting. Oleh karena itu, untuk menaikkan valuasi para Venture Capitalist akan terlibat ketat dalam pengelolaan startup agar selalu tumbuh. Mereka memiliki mekanisme kontrol yang terukur dan bisa dipertanggungjawabkan. Pahamnya adalah startup harus melakukan pengembangan produk, fitur, dan proses akuisisi pelanggan (user).
Dari data yang kami kumpulkan, ada pertandingan yang menarik antara progress VC vs Bank. Dari segi persyaratan, Bank diatur ketat oleh undang-undang yang pelaksanaannya dalam kontrol Otoritas Jasa Keuangan (OJK) – dulu dilakukan Bank Indonesia. Sedangkan VC masih belum banyak aturan, sehingga improvisasinya terbuka lebar.
Di Indonesia misalnya, data yang kami dapat dari OJK, pada tahun 2014 pembiayaan oleh VC sebesar Rp6,59 triliun, sedangkan Bank Umum menyalurkan dana sebesar Rp5.469 T. Dengan kata lain, pembiayaan yang dilakukan VC hanya 0.12% dari Bank Umum. Masuk akal karena jumlah bank banyak sekali, sedangkan VC baru mencari bentuk dan masih bisa dihitung dengan jari. Wajar dengan nilai yang masih kecil tersebut.
Sekarang, dari sisi pendapatan, pertumbuhan gross revenue untuk bank umum dari 2013 hingga 2015 mengalami perlambatan: Tahun 2013 tumbuh 25,7% sedangkan tahun 2015 menjadi 18,9%. Coba bandingkan dengan VC, tahun 2013 pertumbuhan gross revenue -10,7% tapi dua tahun kemudian mencapai 2,9%. Bank tumbuh -7% sedang VC tumbuh +12%. Hal ini menunjukkan potensi VC menjadi salah satu lembaga pembiayaan yang diperhitungkan di Indonesia, sekaligus ancaman bagi perbankan yang kekeuh dengan kolateral.
Data yang lain juga menarik, yakni dari sisi laba bersih. Bank, pada 2013 pertumbuhan laba bersih adalah 14,9%, sedangkan di 2015 mengalami pertumbuhan negatif yaitu -6,7%. Untuk VC, pada 2013 pertumbuhan labanya adalah -38,9%, dan di 2015 -20,5%. Data secara tak langsung memberikan sinyal, bank umum bisa mati atau setidaknya sekarat kalau tidak melakukan ekspansi produk/usahanya.
Dengan banyaknya VC yang menggelontorkan dana investasi di startup Indonesia, pasti menjadi pertanyaan banyak pihak. Namun bila ditilik dari data Venture Capital & Private Equity Country Attractiveness Index, posisi Indonesia menempati ranking 44 sebagai negara yang menarik venture capitalist dan private equity untuk menanamkan uangnya. Tanya kenapa? Karena masyarakat Indonesia dalam aktivitas ekonomi sangat progresif dan kemampuan daya belinya (PPP/Purchasing Power Parity) potensial mempercepat bisnis untuk tumbuh berkelanjutan.
Gerak investasi dunia saat in (Global Venture Capital Investment), nilai investasi yang dilakukan oleh VC sudah mencapai USD 86,7 miliar (Rp1,2 billiun) pada 2014 dari USD 51,1 miliar (Rp664 triliun) di tahun 2008. Bahkan pada 2014, nilai investasi tumbuh 62,1% jika dibandingkan dari 2013.
Yang menarik bagi startup untuk mencari pembiayaan bisnis ke VC karena akan mendapatkan saran bisnis dan strategis, mentoring, dan koneksi pinjaman usaha berikutnya bila pengembangan lanjutannya menarik dan masuk akal. Venture Capital memberi Anda lebih banyak uang daripada kebanyakan pinjaman bank, yang setelah memberi pinjaman hanya menanyakan proses jatuh tempo. Dengan VC uang Anda dapat fokus pada pertumbuhan bukannya arus kas yang kadang tidak solutif.
Kini, bank tentu tidak tutup mata. Mereka adalah golongan yang tidak mau berisiko sehingga harus memakai agunan bagi peminjam. Fakta dan data di atas bukannya tidak diketahui bank. Dua bank besar Indonesia, Bank Mandiri dan BCA mungkin tidak mau tergerus oleh zaman. Kini BCA dan Mandiri sedang membangun VC. Bank Mandiri siap menggelontorkan Rp500 miliar untuk pembiayaan startup.
Yang membuat BCA dan Mandiri ngiler untuk ikut main di bisnis VC adalah fakta bahwa di dunia sudah ada 248 perusahaan yang berbasis di teknologi yang telah mendapatkan pendanaan total sebesar US$3,48 miliar (Rp45,2 triliun) dalam kurun tahun terakhir di luar bank. Keberanian untuk berubah dengan model bisnis penyaluran dana adalah jawaban ke depan, kecuali pilih mati atau sekarat digerus zaman.
Baca artikel tirto.id berkaitan dengan fintech berikut:
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.