tirto.id - Suatu hari pada 2006, dalam rapat yang digelar Komite Perdagangan, Sains, dan Transportasi Senat Amerika Serikat, Senator Ted Stevens mendeskripsikan internet sebagai "serangkaian tabung/series of tubes". Bagi sang senator, "internet bukanlah truk besar alih-alih serangkaian tabung. Anda mau isi atau tidak, ujarnya, "pesan yang Anda kirimkan melalui tabung tersebut akan antre karena tabung itu berisi material yang sangat besar jumlahnya".
Cercaan dan olok-olok pun menghampiri senator asal Alaska itu. Berbagai acara bincang tengah malam (late-night show) di AS memparodikan pendapat Stevens, menayangkan serangkaian gambar truk dan gulungan kabel. Tak ketinggalan, banyak disc jockey (DJ) di negeri Paman Sam menciptakan lirik menggelitik dari ucapan Stevens itu. Berbagai media, termasuk The New York Times dan Vox, mengkritik tajam Stevens, menyebut bahwa meskipun Stevens merupakan pejabat publik yang mengurusi masalah internet di AS, ia "tidak mengerti" apa itu internet.
Andrew Blum, dalam bukunya berjudul Tubes: A Journey to the Center of the Internet (2012), tak sependapat dengan olok-olok itu. Menurutnya, mayoritas manusia di bumi tidak akan sanggup mendefinisikan internet dengan benar--wabilkhusus dalam tataran hardware atau teknis. Merujuk penelitian berjudul "Internet Mapping Project" yang dilakukan pendiri majalah Wired bernama Kevin Kelly dan peneliti asal University of Buenos Aires bernama Mara Vanina, Blum menyatakan bahwa tatkala masyarakat diminta menggambar wujud internet, mereka "melukiskannya sebagai ekspresi kacau balau dari laba-laba--seperti lukisan Jackson Pollock--atau gambar internet sebagai desa, digambar seperti kota di buku mewarnai anak-anak".
Internet, merujuk penelitian tersebut, merupakan "wilayah abstrak", yang dihuni banyak orang di dunia tetapi tidak diketahui bentuknya secara pasti. Namun, seandainya dipaksakan, "wujud paling umum tentang apa itu Internet akan merujuk pada semacam tata surya elektronik yang samar-samar, kosmik yang dinamai awan (cloud)". Padahal, merujuk buku berjudul In the Plex: How Google Thinks, Works, and Shapes Our Lives (2011) yang ditulis Steven Levy, pencipta Gmail bernama Paul Buchheit menerangkan bahwa "cloud" atau "cloud computing" diartikan secara umum oleh masyarakat sebagai "fenomena di dunia digital di mana data yang disimpan di suatu komputer dapat diakses dengan perangkat apapun melalui internet". Singkat kata, imaji ini tidak dapat menjelaskan dengan benar apa itu internet--dan segala tetek bengek di belakangnya. "cloud merupakan bahasa pemasaran, jargon industri semata," ujar Buchheit.
Blum, masih dalam bukunya, menjabarkan internet dalam tataran hardware/teknis sebagai sebuah jaringan yang menghubungkan komputer/ponsel/tablet atau apapun perangkat milik Anda dengan server (komputer khusus) dari berbagai layanan--Google, Facebook, Gojek. Prangkat dan server dibantu melalui satu router yang berbentuk kecil dan terkadang tak terlihat di sekitaran Anda dengan router besar di dekat server--yang sanggup memproses data (dalam bentuk digit binari) hingga 10 miliar per detik. Hubungan perangkat dan server juga didukung "series of tubes", yakni "serangkaian tabung yang berisi serat optik (fiber optic)". Serat optik itu sendiri berisi cahaya (light) yang telah dikodekan (encoded).
"Dalam kode yang ditempel dalam cahaya (dengan memodulasi atau merekayasa tahapan amplitudo ultrashort pulse light--getaran cahaya bergelombang ultrashort atau cahaya dengan panjang tak lebih dari 10 MHz) itulah terdapat kita, umat manusia".
(Catatan: tube (tabung) dapat diartikan sebagai "kabel" karena merujuk salah satu pendefinisian kata ini, yakni "silinder panjang berongga dari logam, plastik, kaca, dll. yang digunakan untuk memegang atau mengangkut sesuatu".)
Kabel adalah jati diri internet.
Dwayne Winseck, dalam studi berjudul "The Geopolitical Economy of the Global Internet Infrastructure” (Journal of Information Policy Vol. 7, 2017) mengatakan bahwa 99 persen lalu lintas internet memanfaatkan kabel untuk menghubungkan perangkat dengan server milik suatu layanan. Lalu lintas internet tersebut ditopang kabel sepanjang 1,3 juta kilometer (per 2016) di bawah laut, yang jika direntangkan di garis khatulistiwa dapat mengitari bumi sebanyak 32 kali.
Kabel internet bawah laut ditopang oleh 356 perusahaan internasional (per 2016) di bidang infrastruktur telekomunikasi, yang menurut Edward J. Malecki dan Hu Wei dalam studi berjudul “A Wired World: The Evolving Geography of Submarine Cables and the Shift to Asia” (Annals of the Association of American Geographers Volume 99, 2009), mulai dikerjakan sejak 1850, atau ketika orang-orang di seluruh dunia dihubungkan melalui telegraf. Sejak zaman telegraf hingga internet, kabel optik bawah laut memang tidak berubah dan terdiri atas delapan bagian utama, yakni (dari kulit kabel hingga ke bagian tengah) polyethylane, pita mylar, baja, aluminium, polikarbonat, tembaga, minyak ter, dan serat optik.
Karena internet kian masif digunakan masyarakat, kebutuhan bandwidth (kapasitas kabel dalam mengangkut cahaya yang telah diisi kode binari) pun kian meningkat. Pada 1979 misalnya, tercatat hanya ada 55 sistem kabel yang menghubungkan dunia, yang hanya mampu memberikan bandwidth maksimal sebesar 321,4 Mbps. Pada 1999 jumlah sistem kabel ditingkatkan, menjadi 245 sistem yang dapat mengangkut 6.852.113,8 Mbps data. Pada 2005, jumlahnya bertambah menjadi 291 sistem kabel yang mampu memberikan bandwidth maksimal sebesar 101.594.123,4 Mbps.
Tak cukup mengandalkan kekuatan perusahaan telekomunikasi, perusahaan layanan internet (kadang disebut over-the-top atau OTT companies) seperti Microsoft, Facebook, dan Google ikutan membangun jaringan kabel internet. Pada 2017, misalnya, kongsi antara Microsoft dan Facebook (dan didukung perusahaan bernama Telxius) meningkatkan sistem kabel bawah laut dengan memasang kabel internet sepanjang 6.437 kilometer yang membentang di Samudera Atlantik, atau dari Virginia, Amerika Serikat hingga Bilbao di Spanyol. Tak lama kemudian, Google membangun kabel bawah laut bernama INDIGO sepanjang 9.000 kilometer, menghubungkan berbagai layanan Google dengan wilayah-wilayah Asia serta Australia. Pembangunan ini bekerjasama dengan AARNet, Ooredoo, Singtel, SubPartners, dan Telstra.
Ketika COVID-19 memaksa banyak orang berinteraksi melalui Zoom dan berbagai wahana internet, Facebook dan Google (bekerjasama dengan Telin, XL Axiata, serta Keppel) berencana menambah jaringan kabel internet bawah laut yang menghubungkan Pantai Barat AS dengan Singapura dan Indonesia--pusat ekonomi di Asia Tenggara.
Tentu, keterlibatan Facebook dan Google membangun jaringan kabel bawah laut tak semata-mata dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bandwidth dunia yang kian meningkat. Sebagai perusahaan OTT, hidup mereka terancam oleh perusahaan penyedia jaringan telekomunikasi. Mengapa?
Merujuk biografi Steve Jobs yang ditulis Walter Isaacson (2011), ada dua kubu yang saling berseteru di dunia digital, yakni hardware dan software. Hingga kini, kubu teknisi hardware selalu mendaku lebih hebat daripada teknisi software, karena kode yang ditulis teknisi software tidak akan berguna tanpa adanya hardware. Bahkan, soal fenomena ini, Steve Wozniak sempat berucap bahwa "teknisi hardware adalah mereka yang menentukan permainan, sementara teknisi software hanyalah seorang pengecut".
Dari beragam teknisi hardware, mereka yang membangun jaringan telekomunikasi-lah yang merasa paling unggul. Jika Anda sempat membaca buku berjudul The One Device: The Secret History of the iPhone (2017) karangan Brian Merchant, Anda akan menjumpai cerita Steve Jobs memohon-mohon pada para pimpinan American Telephone and Telegraph Company (AT&T) untuk mengizinkan iPhone menggunakan jaringan perusahaan penyedia telekomunikasi terbesar di AS itu. Sebaliknya, melalui iPhone (hardware), Apple mendikte perusahaan-perusahaan aplikasi agar mau memberikan upeti sebesar 30 persen dari pendapatan in-app-purchase.
Maka, bagi Jobs, "orang-orang yang serius tentang software harus membuat hardware sendiri". Atau, agar bisa mandiri dan terbebas dari ketakutan dihajar perusahaan lain, sebuah perusahaan harus "membuat komputer (perangkat) utuh, terintegrasi dari ujung ke ujung, dari power supply hingga sistem operasi, full packaged".
Facebook dan Google mengartikan "full packaged" dengan membangun jaringan internet sendiri, meminimalisir potensi pemblokiran oleh perusahaan penyedia telekomunikasi, seperti yang pernah menimpa Netflix di Indonesia akibat kesewenang-wenangan PT. Telkom.
Sayangnya, keikutsertaan Google dan Facebook (atau perusahaan teknologi berbasis internet manapun) dalam membangun jaringan internet akan membuat mereka semakin perkasa, susah diatur, dan pada akhirnya merugikan masyarakat. Dalam The Curse of Bigness: Antitrust in the New Gilded Age (2018), Tim Wu menyebut bahwa Google dan Facebook sangat mungkin menjadi "Curse of Bigness" karena kekuatan dan sumber daya yang mereka miliki.
Di ranah publik, Google dan Facebook dapat menggunakan data yang mereka jaring--dengan menerabas batas-batas privasi individu--untuk membuat masyarakat semakin kecanduan. Dan di ranah korporasi, Google dan Facebook dapat mendikte model bisnis perusahaan-perusahaan lain. Google, contohnya, sukses memperdaya perusahaan-perusahaan media untuk mengkerdilkan kualitas berita, "berdamai" dengan PageRank melalui judul-judul clickbait agar berita yang dihasilkan muncul di posisi paling atas pencarian Google.
Ironisnya, belum ada kekuatan hukum yang sanggup membendung "Curse of Bigness". Meskipun sempat disidang terkait aksi monopoli dan kelalaian mengamankan data pengguna, Microsoft, Facebook, Google, Apple, dan banyak perusahaan teknologi lainnya kian berjaya hingga hari ini.
Editor: Windu Jusuf