tirto.id - Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan pemerintah akan sulit melakukan penambahan subsidi mengantisipasi tekanan inflasi akibat kenaikan harga minyak yang sudah melonjak tinggi. Bamsoet menjelaskan, lonjakan harga minyak dunia pada awal April 2022 diperkirakan mencapai 98 dolar AS per barel.
“Angka ini jauh melebihi asumsi APBN 2022 sebesar $63 dolar per barel. Di sisi lain, beban subsidi untuk BBM, Pertalite, Solar, dan LPG, sudah mencapai Rp502 triliun. Kenaikan harga minyak yang terlalu tinggi, tentunya akan menyulitkan kita dalam mengupayakan tambahan subsidi, untuk meredam tekanan inflasi. Tidak ada negara yang memberikan subsidi sebesar itu,” jelas dia dalam pidato Sidang Tahunan MPR, di Gedung DPR, Selasa (16/8/2022).
Ia menjelaskan, kondisi fiskal dan moneter Indonesia juga perlu menjadi perhatian. Di sektor fiskal, tantangan yang harus dihadapi adalah normalisasi defisit anggaran, menjaga proporsi utang luar negeri terhadap Produk Domestik Bruto, dan keberlanjutan pembiayaan infrastruktur. Dari segi moneter, tantangan terbesar adalah mengendalikan laju inflasi, menjaga cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar Rupiah.
Defisit anggaran yang harus kembali ke angka kurang dari 3 persen pada tahun 2023, menjadi tantangan utama, karena kondisi pemulihan yang tidak menentu. Selain itu, peningkatan utang yang signifikan menimbulkan beban pembayaran bunga tambahan.
“Sebagai strategi jangka pendek, penyusunan prioritas dan re-alokasi anggaran secara tepat diperlukan,” jelas dia.
Bamsoet menjelaskan, suasana global semakin tidak menentu. Pasca pandemi COVID-19 masih ada dinamika global, seperti konflik Rusia-Ukraina, perang dagang dan teknologi Amerika Serikat-Tiongkok.
"Kemudian risiko ketegangan baru di Selat Taiwan, serta disrupsi rantai pasok yang berimplikasi pada fluktuasi harga komoditas pangan dan energi,” kata dia.
Maka dari itu , ia meminta semua pihak untuk tetap waspada dan tidak lalai. Meski demikian ia mengakui kesigapan Pemerintah menyikapi ancaman krisis. Berdasarkan survei Bloomberg, Indonesia dinilai sebagai negara dengan risiko resesi yang kecil yakni hanya tiga persen.
"Ini sangat jauh dibandingkan dengan rata-rata negara Amerika dan Eropa, yang mencapai 40 hingga 55 persen, ataupun negara Asia Pasifik pada rentang antara 20 hingga 25 persen,” tandas dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Maya Saputri