Menuju konten utama

Balada Cinta Masyarakat Urban dalam Komik Roman Era 1970-an

Komik roman jadi bacaan populer meskipun harus bersaing dengan komik silat, dan sering jadi pijakan karier para komikus muda.

Balada Cinta Masyarakat Urban dalam Komik Roman Era 1970-an
Ilustrasi membaca komik. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Cerita dalam komik tak jarang terinspirasi dari pengalaman pribadi para pembuatnya. Dulu, maestro adisatria Hasmi lazim melakukannya. Salah satu contohnya ketika ia menggarap seri Gundala Jatuh Cinta. Hasmi seakan menjadikan seri Gundala yang terbit pertama kali pada 1972 itu sebagai medium curhat.

“Kisah ini ada kaitannya dengan kehidupan saya dengan lawan jenis. Saya, kan, termasuk pecundang. Saya mendambakan kekasih,” tutur Hasmi sebagaimana dikutip Henry Ismono dalam Hasmi Pencipta Legenda Gundala (2019, hlm. 102).

Di seri pertama Gundala, Sancaka dikisahkan putus dengan kekasihnya, Minarti. Lalu Sancaka dihadapkan lagi pada kegagalan cinta. Kali ini Sancaka jatuh cinta pada seorang gadis bernama Sakti. Namun, Sakti justru jatuh hati pada sosok Gundala yang adisatria, bukan Sancaka yang manusia biasa.

Kisah-kisah Sancaka adalah cerminan kehidupan percintaan Hasmi yang sering kali gagal. Kisah adisatria galau itu barangkali membuat Hasmi sukses secara popiularitas, tapi hal tersebut membuat prihatin kawan-kawan sang komikus. Salah satu dari mereka sampai menasihati agar Sancaka dikisahkan menikah, dengan harapan hal itu akan berimbas pada kehidupan Hasmi.

Lalu terbitlah seri Pengantin Buat Gundala pada 1977. Di komik ini cinta Sancaka akhirnya dibalas oleh Sedah yang merupakan alter ego adisatria Merpati. Tak seperti yang sudah-sudah, kisah cinta Sancaka dan Sedah berakhir bahagia di pelaminan. Meski komik itu laris manis, tapi tak jua mendekatkan Hasmi pada jodoh.

“Pernikahan Gundala tidak menular pada saya. Saat itu, saya masih saja kesulitan mencari jodoh,” ujar Hasmi.

Cara Hasmi mengambil ide cerita dari pengalaman cinta pribadinya adalah cara yang jamak di blantika komik Indonesia. Cinta sebagai inspirasi atau tema karya seni memang tak pernah usang. Sebelum medium komik lahir, cabang seni musik, teater, lukis, hingga sastra sering menjadikan cinta dan segala likunya sebagai tema. Jika pun tak jadi tema utama, kisah percintaan lazimnya tetap jadi unsur dalam plot komik.

Generasi pembaca komik kiwari barangkali lebih akrab menyebutnya “romance”. Dalam buku klasik Komik Indonesia (2001), akademikus Marcel Bonneff menyebutnya sebagai “roman remaja”. Jelasnya, kisah-kisah cinta yang ditujukan untuk pembaca muda.

Sementara budayawan Arswendo Atmowiloto menyebut genre ini sebagai “cinta Jakarta”. Penyematan “Jakarta” barangkali tidak tepat benar, karena latar cerita tak hanya di Jakarta. Tapi, cerita percintaan dalam komik memang hampir selalu berlatar di perkotaan.

Komik-komik roman terawal barangkali telah muncul sejak dekade 1950-an atau sebelumnya. Namun, tak ada data pasti soal kapan dan siapa komikus yang pertama kali menganggit genre ini di Indonesia. Yang terang, volume penerbitan komik roman mulai naik pada paruh awal dekade 1960-an.

Sebelum itu, seiring dengan dijalankannya Demokrasi Terpimpin ala Sukarno pada 1959, pasar dibanjiri komik wayang dan komik bernada politis dengan segala jargon Pancasila dan “ganyang nekolim”. Sebagaimana jargon umum zaman itu bahwa “politik sebagai panglima”, semua sumber daya dan medium, termasuk komik, harus dikerahkan untuk mendukung revolusi. Hingga kudeta G30S 1965 mengakhiri semua itu dengan cepat.

Arswendo dalam artikel “Koran Medan, Serta Cinta Jakarta” yang terbit di koran Kompas (11 Agustus 1979) menulis, “Setelah 1965, corak berbalik ke komik cinta. Lengkap dengan pelaku anak muda, cinta pantai, sentimentil, syahdu bagai lirik-lirik lagu, bagai tulisan di buku harian.”

Resep Romantis ala Indonesia

Sajian utama komik roman tentu saja liku hubungan percintaan dua sejoli. Selain romantisme, komik roman juga sering menonjolkan serbaneka kesulitan yang ditimbulkan cinta. Perjuangan dua manusia dalam mengatasi tantangan itulah yang menjadi jualan utama komik roman.

Meski begitu, cerita komik umumnya tidak memerlukan plot yang rumit. Asalkan konfliknya bisa bertaut dengan emosi pembaca, itu sudah cukup. Hubungan tokoh-tokohnya juga tak harus selalu berakhir bahagia karena pembaca juga ingin dibuat terharu. Yang wajib adalah tokoh-tokohnya harus pemuda tampan dan pemudi cantik yang akrab dengan gemerlap kota.

Para komikus roman yang diwawancarai Bonneff memang sengaja membatasi cerita dan latar komiknya pada kota dan masyarakat urban. Menurut mereka, latar kehidupan rural tidak cocok untuk cerita romantis. Jadinya, masalah percintaan selalu berkait dengan kesenjangan sosial-ekonomi, pendidikan, atau terkadang juga umur dan agama.

Meskipun komik adalah semesta khayali, namun ceritanya dibuat semirip mungkin dengan kenyataan sehari-hari. Karena itu, komikus roman lazimnya mengambil ide cerita dari pengalaman pribadi atau teman dan kerabatnya. Konflik dan resolusi dari plot komiknya jelas menampakkan cara masing-masing komikus memahami persoalan cinta.

Hampir semua komik roman juga berlatar waktu semasa. Dengan begitu, komik roman bisa juga disimak sebagai citra masyarakat Indonesia kontemporer dan aspirasi generasi muda dengan segala problematika zamannya.

“Cerita-cerita yang mereka gubah, merupakan dokumen yang kaya untuk diamati karena mengungkap impian anak muda yang didera keresahan,” tulis Bonneff (hlm. 130).

Selain itu, ide cerita juga bisa datang dari bacaan atau film yang mereka tonton. Jan Mintaraga, sebagaimana dikutip harian Kompas (18 November 1993), mengatakan bahwa ia kerap “nyontek” cerita dari luar negeri. Sebagai contoh, komik Pulang dari Bukit, disebutnya adaptasi dari novel berjudul Home from the Hill. Para komikus juga biasa mencomot ide dari film Hongkong, India, atau Amerika.

Bagi komikus Zaldy Armendaris, orang Indonesia tidak asing dengan romantisme gaya Hongkong karena ada “sifat Asia” di dalamnya. Tapi, mereka yang peduli pada kualitas cerita tidak menjiplak mentah-mentah. Gaya dan perkembangan hubungan cinta hingga persoalan yang dihadapi tokohnya tetap harus sesuai dengan kenyataan khas di Indonesia.

“Hubungan percintaan berlangsung dengan cara yang sangat berbeda di sini. Kaum muda tidak sebebas mereka yang di Hong Kong; mereka harus minta izin kepada orang tua untuk bisa keluar, pertemuan tidak boleh dilakukan di luar rumah,” kata komikus Simon Iskandar sebagaimana dikutip Bonneff (hlm. 129).

Lalu, seiring dengan surutnya rezim Sukarno yang anti-Barat, muncul kecenderungan beberapa komikus menyisipkan adegan erotis dan kekerasan. Panel-panel komik dipenuhi dengan tubuh seksi berbalut rok mini, perwujudan cinta yang vulgar, hingga prasangka SARA. Itu pun masih ditambah dengan plot dan narasi asal-asalan sekadar sebagai prolog untuk adegan seks. Alasannya jelas: untuk mendongkrak penjualan.

Resep ini biasa dipakai oleh komikus muda yang masih terbatas pengalaman kreatifnya. Hal itu adalah cara termudah untuk menarik perhatian penerbit. Maka tak heran jika komik dengan konten seperti ini banyak jadi sasaran sensor karena dianggap pemicu dekadensi moral.

Di Bawah Bayang-bayang Komik Silat

Dari hasil riset Bonneff selama kurun 1966-Juli 1971, komik roman adalah genre kedua terbesar dalam hal jumlah judul yang tebit. Bonneff menyebut sekitar 876 judul komik terbit dalam kurun lima setengah tahun, dan 322 judul di antaranya (36,75 persen) adalah komik roman. Jumlah itu hanya bisa dilampaui oleh komik silat yang terbit sekitar 427 judul (48,75 persen).

Pada mulanya, komik roman adalah penguasa pasar. Bonneff mencatat, pada 1966 sebanyak 23 judul komik roman terbit. Jumlah itu meningkat lagi pada 1967 dengan total 53 judul. Sementara dalam dua tahun itu komik silat yang terbit hanya 20 judul.

Posisi komik roman melorot setelah Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes TH terbit pada 1967. Pada 1968, jumlah komik silat meledak hingga mencapai 156 judul, sementara komik roman justru menurun jadi 43 judul. Meski penerbitan komik roman meningkat lagi pada 1969 dan 1970, tapi jumlahnya selalu di bawah komik silat.

Dari segi ketebalan halaman, komik roman jelas kalah dari komik silat. Pasalnya, satu judul komik silat tak jarang baru tamat setelah puluhan jilid. Sementara komik roman jarang sekali yang melampaui dua jilid per judulnya.

“Komik silat rata-rata mencapai seratus enam puluh halaman untuk satu cerita, sedangkan roman remaja sembilan puluh lima halaman,” tulis Bonneff (hlm. 51).

Meski demikian, komik roman tetaplah genre populer pada dekade 1970-an. Banyak sekali komikus yang memulai kariernya dengan membuat komik roman. Komikus yang dikenal sebagai maestro adisatria seperti Hasmi atau raksasa komik silat Ganes TH pun pernah menggarap komik roman di awal kariernya.

Sementara mereka yang memang fokus menggarap genre roman adalah Budijanto Iskandar, Simon Iskandar alias Sim, Jeffry, Fasen, Jan Mintaraga, dan Zaldy Armendaris. Di antara nama-nama itu yang paling menjulang adalah dua nama yang disebut terakhir. Dari segi kualitas gambar dan cerita, keduanya memang komikus pilih tanding.

Jan Mintaraga dan Zaldy Armendaris

Nama Jan mulai meroket sejak ia menerbitkan Sebuah Noda Hitam pada 1963. Ia banyak mendapat pengaruh gaya artistik komik Amerika yang dilahapnya sejak belia. Menurut para penggemar dan pengamat komik Indonesia, Jan disebut yang paling kebarat-baratan. Hal itu pula yang justru membuat karyanya berkarakter dan menjadi ikon.

“Tokoh-tokoh komik Jan adalah anak muda yang bersikap 'pasif agresif' menghadapi lingkungannya. Karakter seperti itu digambarkan dengan sangat pas oleh Jan: lelaki muda bermata sayu, rambut menutup jidat hampir menyentuh alis mata, memakai jaket belel, bercelana jeans, bersepatu basket. Tokoh ini acuh tak acuh, tapi digandrungi cewek,” tulis koran Kompas (18 November 1993).

Selain itu, Jan juga amat perhatian pada detail. Latar belakang interior maupun eksterior, hingga mode pakaian dan segala atribut para tokoh, digambarnya dengan cermat. Ia juga piawai menyisipkan anasir-anasir Barat dengan wajar, selain juga gemar menyisipkan unsur-unsur musikal dalam panel komiknya.

“Di sana-sini bertebaran lirik lagu pop, pembicaraan tentang musik atau pemusik, dan gambar orang-orang bermain musik—biasanya gitar atau piano, atau malah grup band lagi beraksi,” tulis Anton Kurnia dalam Buah Terlarang dan Cinta Morina: Catatan dari Dunia Komik (2017, hlm. 189).

Infografik Komik Roman Remaja

Infografik Komik Roman Remaja. tirto.id/Fuad

Sementara Zaldy, dalam beberapa aspek, adalah oposisi dari Jan. Jika Jan sangat kebarat-baratan, Zaldy justru sangat Indonesia. Yang sangat khas pada Zaldy adalah rupa tokoh-tokohnya yang serba tampan dan jelita. Selain itu, menurut Doktor Komik Seno Gumira Ajidarma, konflik cinta dalam komik Zaldy lebih dewasa ketimbang Jan yang lebih banyak menimba ide dari kisah kasih remaja.

Jika bukan mahasiswa, tokoh-tokoh Zaldy umumnya adalah para profesional. Bagi tokoh-tokoh dewasa ini, komitmen dalam hubungan cinta atau pernikahan adalah masalah krusial. Dan semua itu tersaji dalam latar dunia yang serba indah dan glamor.

“Meskipun begitu, ternyata dunia cinta Zaldy ini penuh dengan ironi. Para pelaku cinta itu begitu tampan dan begitu jelita, dan saling mencintai pula, namun nasib mereka serba hancur lebur tanpa sisa. Di dunia yang fana ini, cinta tidak mempunyai harapan,” tulis Seno dalam “Dunia Komik Zaldy” yang terbit di jurnal Kalam no. 16 tahun 2000.

Meskipun terlihat sebagai dua oposisi biner, komik mereka bukan tak memiliki titik persamaan. Karya keduanya punya nilai sebagai saksi sejarah kota dan masyarakat urban Jakarta di masa transisi rezim Sukarno ke rezim Soeharto. Komik mereka bisa jadi lebih kompleks dari sekadar romansa cinta dua anak manusia.

Komik Jan acap menampilkan aspirasi anak muda yang ogah dikungkung oleh moralitas konservatif. Tokoh-tokoh Jan adalah “generasi semau gue” yang menuntut kebebasan individual dan menolak kemapanan. Menurut Anton Kurnia, tokoh-tokoh Jan adalah generasi yang menggugat dalam diam.

Anton mencontohkan kepiawaian Jan memotret kerapuhan seorang pemuda broken home dan gugatannya pada kemunafikan orang tua dalam Rumah Djahanam (1971). Sebelum itu, Jan pernah membuat komik yang memotret pertentangan kelas dalam Pulang dari Bukit (1970). Lain waktu dalam Balada Sebuah Cinta (1980), Jan menampilkan kehidupan rudin pengangguran di saat Indonesia justru sedang giat-giatnya membangun.

“Di balik balada cinta yang mengharu biru itu, ia sesekali menghunjamkan gugatan-gugatan dan tanya yang tak sekadar. Ia bertanya dan mempertanyakan persoalan-persoalan yang sering luput dari kesadaran kita,” tulis Anton (hlm. 190).

Jika Jan memotret semangat zaman transisi, Zaldy merekam fisik pembangunan Jakarta di era Orde Baru. Panel-panel komik Zaldy dipenuhi detail lanskap kota Jakarta yang beranjak jadi metropolitan sebagai latar berlangsungnya kisah cinta. Latar itu bukan sekadar pemanis, tapi juga menyatu dengan narasi. Tokoh-tokoh komik Zaldy pun lazimnya adalah orang-orang dari kelas menengah urban yang mengerubuti kue pembangunan di Jakarta.

“Detil-detil fesyen, baik mode baju maupun model rambut, serta berbagai macam atribut yang digambarkan dengan baik dan hampir berkualitas fotografi, merupakan sumber kesejarahan yang patut mendapatkan perhatian dari para peneliti,” tulis akademikus Lilawati Kurnia dalam Kota Urban Jakarta dalam Komik karya Zaldy (2016, hlm. 14).

Maka sekali lagi, komik roman, khususnya karya kedua komikus ini, adalah karya yang jauh lebih kompleks dari sekadar romansa cinta dua anak manusia.

Baca juga artikel terkait SEJARAH KOMIK INDONESIA atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Irfan Teguh