Menuju konten utama

Bakteri E.coli Mencengkeram Yogyakarta

Berdasarkan sebuah survei BPS, bakteri E.coli mencemari mayoritas sumber air Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pencemaran ini dikaitkan dengan kondisi kemiskinan dan pembangunan yang dialami masyarakat Yogyakarta.

Bakteri E.coli Mencengkeram Yogyakarta
Seorang nenek memasukkan ke dalam jerigen, air hasil tampungan rembesan pipa saluran air di kawasan Sumberejo, Prambanan, DI Yogyakarta, Jumat (31/7). Memasuki musim kemarau, wilayah perbukitan Prambanan mulai kesulitan air bersih menyusul sumber-sumber air yang mulai mengering sehingga warga terpaksa membeli air bersih seharga Rp. 120 per tangki guna mencukupi kebutuhan. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko.

tirto.id - Yogya memang istimewa. Kehangatannya, keindahannya, telah memikat para pelancong baik dari dalam maupun luar negeri. Sayangnya, di balik keistimewannya itu, Yogyakarta menyimpan sebuah persoalan besar terkait lingkungan, khususnya soal kualitas air bersih.

Hasil dari sebuah Survei Kualitas Air Tahun 2015 menunjukkan fakta bahwa kondisi mayoritas air minum di Yogya cukup memprihatinkan. Sebanyak 89 persen sumber air yang disurvei tercemar oleh bakteri E.coli.

“Sumber air minum yang tercemar E.coli di Yogya mencapai 89 persen, tinggal 11 persen saja yang tidak, itu pun tersebar, entah di mana, belum tahu pasti,” kata Kepala BPS Provinsi DIY Bambang Kristianto di Yogyakarta.

Data yang cukup mengejutkan ini berasal dari sampel air di 940 rumah tangga yang diambil dari seluruh kabupaten dan kota di Yogya. Survei tersebut merupakan hasil kerja sama BPS, Kementerian PPN/Bappenas, dan Kemenkes serta didukung UNICEF. Survei ini merupakan bagian dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada September 2015.

Survei ini juga menemukan sumber air minum yang awalnya dianggap layak juga tercemar bakteri E.coli hingga 78,6 persen. Sumber air minum layak tetapi tercemar bakteri E.coli itu misalnya air kemasan, air pipa, sumur bor, dan sumur terlindung.

“E.Coli kan bahaya! E.coli walaupun bahan makanan sudah dimasak kalau mencuci piringnya pakai air yang tercemar nggak ada ampun!” kata Bambang.

Temuan lain dari survei itu adalah, kurang lebih ada 67,1 persen rumah tangga sampel di DIY yang air minumnya tercemari E.coli. Air minum itu berasal dari air kemasan bermerek dan isi ulang.

“Air siap minum ini jadi tercemar bisa jadi karena pengemasannya yang rusak atau dispenser dibersihkan dengan air yang sudah tercemar,” jelas Bambang.

Dilema Pendidikan dan Pembangunan

Persoalan air bersih ini merupakan hasil dari keterkaitan kebersihan lingkungan, kemiskinan, dan pendidikan. BPS membuat klasifikasi berdasarkan pendidikan kepala rumah tangga untuk melihat kondisi air di masing-masing rumah tangga dan ditemukan data yang cukup menarik.

Rumah tangga yang kepalanya hanya lulusan SD atau bahkan tidak tamat SD memiliki kondisi sumber air minum tercemar bakteri E.coli rata-rata sebesar 92,7 persen, lulusan SD/Sederajat tercemar sebesar 93,3 persen, lulusan SMP/sederajat tercemar sebesar 87,7 persen, lulusan Tamat SMA/sederajat tercemar sebesar 86,9 persen, lulusan perguruan tinggi tercemar sebesar 81,5 persen.

Secara umum BPS menyebut proporsi rumah tangga yang memiliki akses ke air bersih sampai tahun 2015 hanya 9,22 persen.

Infografik Bakteri E Coli di Yogyakarta

Persoalan ketersediaan air bersih juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pembangunan yang semakin pesat mengikis ketersediaan air bersih di Yogyakarta.

Data statistik BPS tahun 2012-2013 mencatat ada 13 buah hotel dibangun di kota Yogyakarta dengan kapasitas kamar sebanyak 2.000 buah kamar. Tiga tahun kemudian, di tahun 2016, jumlah hotel sudah mencapai 116 buah di kota Yogyakarta dan Sleman, dengan 12.947 kamar.

“Rata-rata pertumbuhan jumlah hotel kurang lebih 48 persen per tahun dan kamar hotel 57 persen per tahun,” ungkap Sri Sultan Hamengkubuwono X, dalam sambutan resminya di acara Rapat Paripurna, Dewan Riset Daerah DIY (DRD DIY), pada Juni lalu.

Pertumbuhan hotel berbintang yang amat pesat di wilayah Yogyakarta ini berbanding lurus dengan kedatangan wisatawan mancanegara (wisman) dan perpindahan wisatawan nusantara (wisnus) ke Yogyakarta. Pada tahun 2010 tercatat, ada 787.249 wisman dan wisnus yang menginap di sejumlah hotel yang ada di Yogyakarta.

Pada tahun 2011 tingkat kunjungan wisatawan yang menginap di hotel berbintang menurun menjadi sebesar 748.610 orang, namun penjualan kamar meningkat kurang lebih sebesar 796.458 kamar. Tiga tahun kemudian, di tahun 2014 kunjungan wisatawan ke Yogyakarta mencapai 4,1 juta wisatawan dan tahun 2015 menjadi 5,2 juta wisatawan.

Perkembangan sektor pariwisata seolah tak terbendung. Selain investor masuk untuk membangun hotel atau penginapan sejenisnya, banyak warga Yogya yang memilih memanfaatkan lahannya untuk berkiprah di sektor pariwisata.

Petani yang memiliki lahan, banyak yang sudah mengubah lahannya menjadi penginapan, kos, atau homestay yang bisa disewakan. Data BPS 2013 menunjukkan laju konversi lahan di Yogya setiap tahun bisa mencapai 0,44 persen. Perubahan terbesar di Sleman sebanyak 2.721 hektar dan Bantul 1.570 hektar.

Melihat perubahan ini, Bambang menyebut semakin tinggi tingkat pembangunan, kerentanan air tercemar E.coli juga semakin tinggi karena jarak pembangunan lubang sanitasi antara satu bangunan dengan yang lain bisa menjadi tak menentu.

Padahal rata-rata rumah tangga di DIY memanfaatkan septik tank sebagai tempat pembuangan akhir tinja. Rinciannya, dari sampel terdapat 75,43 persen di Kulonprogo, 85,30 di Bantul, 57,84 persen di Gunung Kidul, 85,28 persen di Sleman, 44,28 persen di kota Yogyakarta. Persentase ini menggambarkan kepadatan tempat pembuangan akhir tinja di provinsi DIY, yang jaraknya rata-rata kurang dari 10 meter per segi.

“Idealnya, jarak dari sumber air dengan septik tank itu lebih dari 10 meter per segi,” katanya.

Sementara itu, proporsi rumah tangga yang memiliki akses sanitasi sampai tahun 2015 hanya 8,70 persen dari jumlah sampel. Sisanya, memanfaatkan fasilitas umum, di mana kebersihannya tidak terjamin dengan baik.

Efek Buruk

Bakteri E.coli tersebar di Yogyakarta. Bagaimana dampaknya pada kesehatan masyarakat? dr. Titik Nuryastuti, Dosen Mikrobiologi UGM menjelaskan, bakteri E. coli dapat menyebabkan penyakit diare atau penyakit luar saluran usus.

“Bisa infeksi saluran darah, otak, pada prinsipnya bisa ke mana-mana kalau sudah masuk ke aliran darah,” tambah Titik.

Untuk meminimalisir akibatnya, Titik menyarankan agar setiap orang melakukan kebiasaan hidup sehat. Dosen yang juga pernah melakukan penelitian kandungan E.coli di sumur dan PAM ini menjelaskan pada prinsipnya tidak ada yang bisa bebas dari bakteri E.coli.

“Tidak ada yang nol dari E.coli, semuanya pasti ada,” terangnya.

Lebih lanjut ia menyebut E.coli pasti keluar ketika seseorang buang air besar, jika ada kontaminasi dari feses pada sumber air karena jarak septik tank ke sumber air kurang memenuhi syarat ini bisa menyebabkan kandungan E.coli dalam air berjumlah banyak.

“Padahal, sekarang perumahan di Yogya padat dan tidak pernah memperhatikan lagi jarak antara septik tank dan sumber air,” ujarnya.

Ia menyarankan usaha preventif untuk menjaga diri ialah agar selalu melaksanakan gaya hidup sehat. Apalagi tidak semua air minum kemasan akan terjamin kesehatannya. “Yang terbaik agar aman (air) harus selalu direbus,” jelasnya.

Baca juga artikel terkait BAKTERI atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Suhendra