Menuju konten utama
19 Juli 2019

Bagi Arswendo Atmowiloto, Mengarang Itu Memang Gampang

Arswendo Atmowiloto adalah seorang pekerja media dan penulis produktif. Beberapa karyanya bahkan difilmkan dan disinetronkan.

Bagi Arswendo Atmowiloto, Mengarang Itu Memang Gampang
Arswendo Atmowiloto. tirto.id/Nauval

tirto.id - Tabloid hiburan Monitor sedang jaya-jayanya pada 1989. Belanja iklannya sudah melesat di angka Rp6,32 miliar saat itu. Monitor tak dipimpin orang sembarangan di dunia media.

Seperti dicatat buku Seabad Pers Kebangsaan (2007: 935-936), Menteri Penerangan cum bos besar Pos Kota, Harmoko, duduk sebagai Komisaris Utama. Dia punya 30 persen saham di sana. Jakob Oetama, dengan saham 40 persen, menjadi Direktur Utama dan Arswendo Atmowiloto wakilnya. M. Sani menjabat Pemimpin Umum dan Suyanto wakilnya.

Satu dekade sebelumnya, Monitor, yang masih berformat majalah, adalah surat kabar milik Yayasan Gema Tanah Air yang lesu. Setelah Arswendo dan kawan-kawan turun tangan, Monitor perlahan berjaya sebagai tabloid yang mengulas dunia film, televisi, dan jagat hiburan.

Pada 2 September 1990 Monitor merilis sebuah kuis bertajuk "Kagum 5 Juta", demi terus menggenjot pendapatan. Lewat kuis ini, para pembaca Monitor memilih tokoh-tokoh favorit mereka.

Berdasarkan hasil kuis, Monitor edisi 15 Oktober 1990 menyiarkan: 5.003 pembaca memilih Soeharto, 2.975 memilih B.J. Habibie, 2.662 memilih Sukarno, 2.431 memilih Iwan Fals dan 797 orang memilih Arswendo dengan peringkat 10. Sementara Nabi Muhammad hanya di peringkat 11.

Maka amarah pun tertuju pada Monitor. Arswendo dan tabloidnya dicap melukai umat Islam. Singkat cerita, setelah diprotes sana-sini dan melalui proses persidangan, Monitor tutup buku dan Arswendo harus masuk penjara.

Dari LP Cipinang, kemudian lahirlah buku bertajuk Menghitung Hari. "Catatan-catatan itu saya tulis di sini (penjara) yang kemudian saya kirim ke anak saya. Catatan itu kemudian dibukukan," ungkap Arswendo seperti dicatat Kompas (13/12/1995). Buku itu diterbitkan pada 1993, beberapa tahun setelah Arswendo dibui. Isinya tentu saja tentang kehidupan penjara.

Masih di zaman Orde Baru itu, Menghitung Hari kemudian diangkat ke layar sinetron yang ditayangkan di SCTV. Bukan sembarang tontonan yang asal ada, sinetron Menghitung Hari terpilih dewan juri Festival Sinetron Indonesia (FSI) sebagai film terbaik di tahun 1995. Atas sukses sinetron ini, acara syukuran pun diadakan di dalam penjara.

Begitulah fase penting sekaligus liku Arswendo Atmowiloto di dunia media dan kepenulisan. Di luar dan di dalam penjara, hasratnya pada dunia kepenulisan tidak mati. Sejak belia Arswendo sudah mendekatkan diri kepada media. Si Kuncung adalah majalah penting bagi karier kepenulisan laki-laki kelahiran Surakarta, 26 November 1948 ini.

Arswendo, yang jebolan IKIP Solo ini, juga pernah jadi wartawan Kompas, lalu pimpinan redaksi majalah Hai dan Senang. Pernah pula dia jadi pemimpin Bengkel Sastra, pusat kesenian Jawa Tengah di Solo.

Menghitung Hari barangkali bukan sesuatu yang paling dikenal masyarakat dari Arswendo. Lebih banyak orang Indonesia yang mengenal Keluarga Cemara. Kisah keluarga kecil bahagia tapi tidak kaya ini sudah dirilis sejak 1981. Di zaman Orde Baru, Keluarga Cemara disinetronkan juga dan sangat dikenang para penontonnya hingga hari ini. Abah, dalam banyak episode, diperankan oleh Adi Kurdi. Sementara pemeran emak sering berganti. Mulai dari Aneke Putri, Novia Kolopaking, hingga Lia Waroka.

Setidaknya sebagian lirik lagu pembukanya diingat juga: “Harta yang paling berharga adalah keluarga...”

Keluarga Cemara, bersama Si Doel Anak Sekolahan, termasuk sinetron yang sukses menarik banyak penonton. Sinetron ini juga sukses menggambarkan kehidupan rakyat Indonesia yang tinggal di luar rumah gedongan. Pada awal tahun ini Keluarga Cemara akhirnya diangkat ke layar lebar.

Selain Menghitung Hari dan Keluarga Cemara, karya Arswendo yang nangkring sebagai sinetron yang ditayangkan televisi swasta adalah Imung, kisah tentang detektif cilikyang novelnya sudah terbit sejak 1979. Soal karya tulis Arswendo yang difilmkan, sebetulnya bukan hanya terjadi di tahun 1990-an. Novel Saat-Saat Kau Berbaring di Dadaku (1980) dirilis sebagai film pada 1984, di mana Dedy Mizwar dan Zoraya Perucha ikut bermain di dalamnya. Novel-novel Arswendo kebanyakan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (GPU), penerbit yang dimiliki Jakob Oetama, bos Kompas-Gramedia.

Infografik Mozaik Arswendo Atmowiloto

Infografik Mozaik Arswendo Atmowiloto. tirto.id/Nauval

Kunci Jadi Penulis: Bakat dan Hasrat

Arswendo tidak membatasi diri pada satu-dua genre novel. Dia juga pernah menulis novel Pengkhianatan G30S/PKI, yang pada dekade sebelumnya sukses menjadi film pembangkit semangat antikomunis. Film tersebut skenarionya ditulis Arifin C. Noor dan Mayor Jenderal Nugroho Notosusanto.

“Pengkhianatan G30S/PKI (1983), yang kemudian dijadikan buku oleh penulis terkenal Arswendo Atmowiloto, adalah sebuah dongeng moralitas hitam-putih setan-setan penjahat (PKI) yang menyerang jenderal-jenderal angkatan darat yang agung dan patriotik,” tulis John Roosa dan Ayu Ratih di buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (2008: 195-196).

Novel sejarah versi Orde Baru yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan ini tidak meledak di pasaran. Meski begitu filmnya sudah terlanjur jadi "sesuatu" dalam imajinasi banyak orang Indonesia.

Arswendo Atmowiloto tentu jadi panutan para penulis. Dia pernah menulis buku Mengarang Itu Gampang, yang terbit pertama pada 1982, lalu terbit berkali-kali. Tentu saja mengarang itu gampang bagi Arswendo. Setidaknya Arswendo punya bakat dalam versinya sendiri. Bakat itu, kata Arswendo Atmowiloto, seperti dikutip Andreas Harefa dalam Agar Menulis-Mengarang Bisa Gampang (2003: 44), adalah “minat dan ambisi yang terus-menerus berkembang.”

Selain bakat, hasrat mengarang juga hal penting. “Kreatifitas berhubungan dengan nafsu. Menjadi pengarang harus memiliki nafsu untuk bersikap kreatif,” tulis Arswendo dalam Mengarang Itu Gampang (2013: 11).

Soal hasrat menulis, Arswendo sudah membuktikannya di LP Cipinang. Dalam kondisi diisolasi dari dunia luar, Arswendo masih punya nafsu menulis. Hingga ia meninggal pada 19 Juli 2019, tepat hari ini setahun lalu, karena kanker prostat yang dideritanya, hasrat itu juga tetap menggebu-gebu.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 20 Juli 2019 sebagai obituari. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait ARSWENDO ATMOWILOTO atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan