tirto.id - Suatu hari pada 1976, di sebuah acara yang digelar Homebrew Computer Club, Steve Jobs dan Steve Wozniak mempresentasikan komputer ciptaan mereka, Apple 1. Dalam presentasi itu, Woz, sapaan akrab Wozniak, memaparkan bagaimana Apple 1 menggunakan papan sirkuit baru rancangannya sendiri yang didukung prosesor MOS 6502, memori sebesar delapan kilobit, dan BASIC yang ditulisnya. Tak ketinggalan, Apple 1, sebut Woz, "menggunakan keyboard yang ramah jemari manusia, bukan keyboard bodoh dengan banyak lampu dan switch (ala keyboard yang dipakai gamer masa kini)".
"Apple 1 mengandung semua komponen esensial yang langsung terpasang dalam tubuhnya, tidak seperti Altair," timpal Jobs. Altair yang dimaksud adalah pelopor personal computer (PC). "Dengan segala hal yang menakjubkan dalam mesin ini, kalian berani bayar berapa?"
Nahas, sebagaimana dikisahkan Walter Isaacson dalam biografi Jobs berjudul Steve Jobs (2011), para pengunjung Homebrew Computer Club tidak terkesima dengan komputer buatan Jobs dan Woz itu. Masalahnya, Apple 1 menggunakan MOS 6502, bukan Intel 8080 yang tak lain adalah prosesor terbaik dekade tersebut. Tak ketinggalan, bentuk Apple 1 aneh, tak seperti komputer sejenis yang rupanya menawan, yakni SOL-20.
Namun, meskipun tak memperoleh apa yang mereka harapkan dari Homebrew Computer Club, pesanan tetap datang ke Jobs dan Woz. Kala itu, Paul Terrell, pemilik toko komputer bernama Byte Shop, memesan 50 unit Apple 1 dengan harga per unit yang disepakati yakni $500 (kini, per unit Apple 1 diperjualbelikan dengan harga lebih dari Rp20 miliar).
Sialnya, tatkala Jobs dan Woz mengirimkan pesanan Terrell, si pemesan kecewa. Meskipun Jobs sesumbar Apple 1 mengandung "semua komponen esensial," mesin tersebut sejatinya bukan kumputer lengkap--alias masih perlu banyak modul tambahan untuk dapat digunakan. Ketidaklengkapan Apple 1 sebagai komputer membuatnya lebih diminati pehobi, bukan masyarakat umum.
"Komputer seharusnya benar-benar lengkap. Langsung dapat digunakan!" cerca Terrell pada Jobs dan Woz.
Jobs tersadar dengan cercaan Terrell tersebut dan berjanji untuk membuat komputer yang utuh, "terintegrasi dari ujung ke ujung, dari power supply hingga sistem operasi, full packaged."
Tak lama usai Apple 1 dibuat Woz langsung merancang desain komputer selanjutnya. Apple 2 pun mencuat sebagai komputer utuh itu. Masalahnya, baik Jobs dan Woz tak punya modal mewujudkan Apple 2. Maka, untuk merealisasikan Apple 2, duo sahabat ini sepakat menjual hak penjualan Apple 2 berikut dengan sepertiga saham Apple kepada siapapun yang mau memodali mereka. Jobs menginginkan Atari sebagai pihak yang memodali Apple 2.
Kembali merujuk Isaacson, Jobs lalu bertemu pihak manajemen Atari, Joe Keenan. Namun, alih-alih memperoleh modal dari Atari, tak lama usai Jobs mempresentasikan niat penjualan hak penjualan Apple 2 plus sepertiga saham Apple, Keenan mengusirnya dan berteriak, "Enyahkan kakimu dari mejaku!"
Keenan dongkol melihat pribadi Jobs yang dianggapnya jorok dan tak sopan. Selain mengumbar bau badan yang menyengat, Jobs menaikkan kakinya di meja Keenan. Kedua kaki Jobs saat itu nyaris tak pernah dipasangi alas, entah sandal atau sepatu.
Jobs bisa bertingkah aneh seperti ini karena ia seorang hippie.
"No Hippie, No PC"
Secara umum, ada dua kisah populer tentang penemuan personal computer (PC). Kisah pertama, PC lahir dari duo pehobi yang bertranformasi menjadi pebisnis, Stephen Wozniak dan Steve Jobs, yang menciptakan komputer di garasi dan kemudian membentuk perusahaan bernama Apple Computer pada 1976.
Kisah kedua, PC lahir dari kebaikan manajemen Xerox untuk memberikan ruang bagi periset mereka di Palo Alto Research Center untuk berkreasi dan akhirnya sukses menciptakan user interface (UI) dan user experience (UX) pada awal dekade 1970-an.
Bagi John Markoff, dalam bukunya berjudul What the Dormouse Said (2005), dua kisah tentang kelahiran PC tersebut dapat dibenarkan, tetapi kurang lengkap. Sebab, jauh sebelum Jobs dan Woz sepakat membentuk Apple dan para periset Xerox belum tahu apa itu UI/UX, "perkembangan dunia komputer didikte dan dibiayai oleh negara (Amerika Serikat, tentu saja), misalnya dengan pembentukan dua lembaga riset yang berlokasi saling bertolak belakang di kampus Stanford University pada 1960-an."
Satu lembaga riset itu, Douglas Engelbart's Augmented Human Intellect Research Center, bekerja untuk menciptakan komputer super yang dapat meningkatkan kemampuan otak manusia. Satunya lagi, John McCarthy's Stanford Artificial Intelligence Laboratory, bekerja untuk menciptakan simulator kecerdasan manusia.
Singkat, tulis Markoff, "satu tim periset bekerja untuk merekacipta otak manusia, satunya lagi bekerja untuk menggantikannya." Artinya, sejak dilahirkan hingga dekade 1960-an, komputer tidak pernah didesain untuk kebutuhan personal melainkan kepentingan negara, misalnya untuk sampai ke bulan dan menciptakan Intercontinental Ballistic Missile (ICBM). Sementara itu, menurut Lewis Mumford dalam The Myth of the Machine: The Pentagon of Power (1964), "Tujuan komputer, dalam ide paling dasar ketika diciptakan, bertolak-belakang dengan kebebasan manusia."
Melalui anggaran yang diperoleh dari pajak rakyat, negara membiayai riset penciptaan komputer sebagai alat birokrasi untuk mengontrol, menggantikan, dan menghentikan kebebasan berekspresi masyarakat. Dan perlahan, maksud negara soal komputer ini ditiru juga oleh perusahaan. Dalam "Inventing Information Systems: The Systems Men and the Computer, 1950-1968" (dipublikasikan dalam jurnal The Business History Vol. 75 2001), Thomas Haigh menyebut bahwa pada dekade 1950-an dan 1960-an, perusahaan ramai-ramai mulai menggunakan komputer untuk menggantikan tugas-tugas repetitif pekerja manusia melalui konsep Management Information System (MIS).
Tak heran jika hingga dekade 1960-an, komputer hanya tersedia di gedung-gedung pemerintahan, lembaga riset yang dibiayai negara, atau pencakar langit di pusat bisnis New York.
Beruntung, sejak akhir dekade 1960-an, jalur evolusi komputer bertambah satu lagi, yakni komputer "personal" (personal computer), yang terlahir karena perubahan sosial dan politik di Amerika Serikat, terutama yang digawangi oleh kaum hippie.
Hippie adalah laku hidup yang berkembang sejak akhir 1960-an. Menurut Stuart Hall dalam bukunya berjudul The Hippies: an American 'Moment' (1968), hippie lahir dari pertautan budaya yang kompleks, yakni antara budaya kulit hitam, jazz, homoseksual, pecandu, bohemian, penolakan atas konservatisme, hingga sikap anti-kemapanan. Semuanya disampaikan lewat slogan-slogan mencolok kaum ini seperti "grooving", "balling," "mind-blowing", "where it's at" dan paling utama "turn on", "turn in", dan "drop out".
"Turn on" merujuk kepada upaya kaum hippie mencoba substansi ilegal--wabilkhusus ganja, LSD, dan jamur ajaib--guna mencari "kesadaran" dalam diri. "Turn in" adalah cara kaum hippie untuk mengejar gaya hidup yang berbeda dari masyarakat umum (straight society) untuk menerima "sinyal" dari "ruang" yang belum dijelajahi manusia. "Drop out" merupakan jargon hippie untuk menolak kebiasaan hidup kelas menengah, yakni yang berorientasi pada pekerjaan, kekuasaan, status, dan konsumsi. Slogan ini kadang pula diterjemahkan kaum hippie untuk meninggalkan bangku kuliah, yang menurut mereka tak memberikan pengetahuan menarik dan berguna.
Slogan-slogan laku hidup ala hippie tersebut lantas dibumbui gaya khas mereka, berpenampilan ala orang Indian, merayakan ritual Buddha, mempraktikkan Zen, hanya mengkonsumsi makanan organik dan diet ketat, serta tampil apa adanya--persis seperti yang dilakoni Steve Jobs di masa mudanya. Jobs sendiri, dalam biografinya, mengaku "tercerahkan" dan menjadi hippie setelah membaca buku Be Here Now. Buku yang ditulis Baba Ram Dass alias Richard Alpert dan terbit pada 1971 ini menuturkan tentang penggunaan LSD untuk bermeditasi. Jobs juga melahap Zen Mind dan Beginner's Mind karya Shunryu Suzuki, Autobiography of Yogi karya Paramahansa Yogananda, dan Cutting Throught Spiritual Materialism karya Chogan Trungpa.
Usai membaca buku-buku tersebut, Jobs dibantu teman sekampusnya bernama Daniel Kottke untuk mempraktikkan Zen, bermeditasi untuk "menemukan jati dirinya", selain bersama-sama mengkonsumsi LSD. Untuk menyempurnakan meditasinya, Jobs pun sempat "berziarah" berbulan-bulan ke India. "Saya mulai sadar bahwa memahami intuisi dan kesadaran ternyata jauh lebih berharga dibandingkan pemikiran abstrak dan analisis logis intelektual," aku Jobs.
Tak ketinggalan, melalui buku berjudul Diet for a Small Planet karya Frances Moore Lappe, Jobs mempraktikkan pola makan vegetarian dan diet ketat. Pun, Jobs mempraktekkan gaya hidup seadanya.
Jobs, melalui LSD, meditasi, vegetarian, serta gaya hidup seadanya, tulis Walter Isaacson, melakukan 'turn on' dan 'tune in'." Jobs pun melakoni "drop out": keluar dari Reed University. Namun, alih-alih menghilang sepenuhnya dari kampus, Jobs memilih tetap di Reed dan nongkrong di kelas-kelas yang disukainya tanpa bayar uang SPP (dan tentu, tanpa gelar apapun).
Jobs tentu tak sendirian jadi hippie melek teknologi. Ada juga Stewart Brand. Merujuk kembali buku John Markoff, Brand merupakan seorang hippie yang percaya bahwa "kesadaran" bukan hanya dapat diperoleh melalui LSD dan meditasi, tetapi juga komputer. Bagi Brand, dengan semakin murah dan bertenaga komputer karena semakin menciutnya transistor (Moore's Law), komputer dapat dijadikan alat "pembebasan", alat untuk membentuk dunia baru tanpa perlu campur tangan negara.
"Kebanyakan dari generasi kita menilai bahwa komputer merupakan perwujudan kendali terpusat (negara), tetapi segelintir orang--kemudian disebut 'hacker'--membebaskan komputer untuk menjadi alat pembebasan," ucap Brand.
Brand mewujudkan ambisinya menjadikan komputer sebagai alat pembebasan melalui Whole Earth Truck Store, toko berupa truk yang menjual berbagai modul elektronik untuk merakit "personal" computer. Dan pada 1968, truk tersebut bertransformasi menjadi Whole Earth Catalog, majalah berbagi ilmu atau tutorial tentang bagaimana membangun komputer serta berisi tulisan-tulisan filosofis tentang "access to tools".
Jobs adalah pelanggan Whole Earth Catalog.
Seiring waktu, Whole Earth Catalog berubah menjadi Homebrew Computer Club, tempat bagi komunitas pehobi komputer untuk saling bertukar pengetahuan. Ya, di tempat inilah ide Apple 1 lahir. Dan tentu, di tempat ini pula, yang berpijak pada laku hidup ala hippie, kata "personal" akhirnya tersemat pada "komputer." Komputer akhirnya menjadi PC, mesin yang menurut motto yang digaungkan Brand, "give power to the people".
Editor: Windu Jusuf