tirto.id - Medium berita boleh berubah. Koran dan majalah cetak disebut memasuki masa senjakala, perlahan digantikan oleh media digital yang aksesnya jauh lebih effortless dan kilat.
Apapun mediumnya, aneka berita yang sehari-hari kamu konsumsi ini tak sekadar menambah wawasan atau membentuk pola pikir, melainkan juga berpotensi memengaruhi tindakanmu sehari-hari.
Aulia Zita, seorang mahasiswi di Depok, pernah menemukan unggahan dari selebgram di media sosial tentang kasus penculikan anak. Di unggahan itu, disematkan pula tautan beritanya. Cerita yang sama kemudian beredar di grup-grup aplikasi perpesanan, diikuti konten berisi imbauan pentingnya menjaga diri.
Gelombang informasi itu kelak mempengaruhi sikap Zita saat diajak ngobrol oleh laki-laki tak dikenal dalam perjalanan kereta menuju BSD, Tangerang Selatan.
Diberondong pertanyaan tentang alamat rumah dan detil perkuliahan, Zita sengaja merespons dengan informasi palsu. Kontak mata dengan lawan bicara dibuat minimal, ditambah gestur cuek seperti sibuk memainkan ponsel.
Awalnya, Zita tak begitu terpengaruh oleh berita-berita yang dibacanya. Terkait berita pelecehan seksual misalnya, Zita tetap santai naik kereta pada siang maupun malam hari, saat gerbong kosong atau padat.
“Tapi begitu membaca berita soal penculikan, saya merasa terdampak dari hal itu, khususnya pada interaksi saya dengan orang lain,” jabar Zita.
Pengalaman Zita sebenarnya lumrah. Berita dari media massa memang dapat memicu stres bagi pembaca maupun penonton, terutama berita negatif yang bisa menimbulkan ketakutan, kecemasan, bahkan prasangka buruk.
Menurut survei American Psychological Association terhadap 3.440 warga dewasa AS pada 2017, terungkap 95 persen responden membaca berita secara rutin.
Sebanyak 56 persen di antaranya menyatakan aktivitas tersebut memicu stres dalam diri mereka dan 72 persennya merasa pemberitaan di media dikemas secara berlebihan.
Selain itu, mengutip BBC, riset oleh tim peneliti dari McGill University, Canada mendapati kecenderungan orang-orang untuk lebih memilih membaca berita negatif atau berita buruk dibanding berita netral atau positif. Hal ini lebih terlihat pada mereka yang tertarik pada isu terbaru atau politik.
Meskipun sebagian orang bisa merasa bersedih, gelisah, atau bersalah usai menonton berita tragedi, masih banyak orang yang mengonsumsi berita buruk seakan-akan terobsesi. Video kecelakaan, atau video tabrakan, maupun cuplikan jambret dipukuli, tak jarang ditonton berkali-kali.
Kecenderungan orang untuk mengakses berita buruk dapat didasari oleh cara kerja otak.
Loretta Breuning, penulis buku Habits of a Happy Brain, menyampaikan pada Time bahwa ketahanan hidup manusia bergantung pada pencarian hal-hal menguntungkan dan upaya menghindari marabahaya. Berita-berita buruk merefleksikan informasi tentang ancaman bahaya sehingga menurut Breuning, hal ini sulit untuk diabaikan.
Kendati ada riset yang menyebut berita tragis atau kriminal bisa memberikan efek psikis negatif, temuan ini bukan kesimpulan umum. Sifat konsumen berita dan cara setiap orang menghubungkan berita satu sama lain bisa menjadi faktor spesifik yang menentukan seberapa besar efek psikisnya. Belum lagi pengaruh internet atau bias algoritma terhadap seleksi berita yang dikonsumsi.
Menurut pengajar dan peneliti dari Pusat Kajian Komunikasi UI, Clara Endah Triastuti, Ph.D yang biasa disapa Titut, internet adalah media cerdas.
Algoritma internet bisa menyimpan data dan informasi apa yang kamu konsumsi. Semisal kamu menggemari isu feminisme, isi linimasa media sosialmu akan dipenuhi oleh berita-berita terkait.
Bekal pengetahuan, keyakinan, atau pengalaman masing-masing orang jelas akan memengaruhi kapan mereka mau membaca suatu berita atau tidak.
Soal efek berita negatif terhadap psikologi dan pilihan tindakan seseorang, Titut mengambil contoh dari pengalamannya semasa studi di Australia.
“Saya suka bushwalking—istilah bahasa Australia untuk menyebut jalan-jalan di daerah yang masih liar, banyak semak-semak—sendirian dan tidak pernah terjadi hal-hal mengerikan apa pun.”
Titut melanjutkan, “Lalu, suatu hari ada berita tentang pembunuh yang suka mengincar korban yang sedang bushwalking.”
Setelah membaca berita itu, Titut lebih berhati-hati meskipun tak sampai merasa cemas.
Akan tetapi, seorang kawan Titut yang menggemari kegiatan yang sama, pernah mendapat serangan fisik di kampus. Walaupun tidak terjadi saat bushwalking, hal itu meninggalkan trauma sehingga ia menghentikan kegiatannya. Pasalnya, pelaku penyerangan di kampus dan pembunuh pengincar bushwalker sama-sama berasal dari Lebanon.
“Irisan ini yang memengaruhi pilihannya untuk tidak bushwalking lagi sama sekali,” ujar Titut.
Ragam efek berita terhadap setiap individu membuat Titut yakin bahwa media tak melulu menciptakan efek. Ia lebih percaya pada teori bahwa media hanya memperkuat efek yang sudah ada.
Seperti pengalaman temannya, apabila seseorang sudah punya pengalaman buruk terhadap sekelompok masyarakat tertentu, berita negatif tentang kelompok tersebut hanya akan menebalkan trauma atau rasa takutnya.
“Apa yang dimuat di media itu akan berefek kuat jika orang sudah memiliki nilai atau kepercayaan tertentu dari sumber lain,” pungkas Titut.
* Artikel ini pernah tayang di tirto.id pada 28 Maret 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional Diajeng.
Editor: Nuran Wibisono & Sekar Kinasih