tirto.id - Di suatu hari pada Oktober 2010, Larry Page mengirim email pada seluruh karyawannya, mengumumkan bahwa Google hendak melakukan restrukturisasi organisasi. Page merombak pucuk pimpinan Google, seperti mempromosikan Udi Manber, Lead Engineer of Google Search, menjadi Head of Product Management and Engineering--suatu jabatan yang bukan sebatas menakhodai Google Search, tetapi juga memimpin bisnis periklanan Google. Dan atas promosi ini, Marissa Mayer, pemegang jabatan sebelumnya (dan kelak menjadi CEO Yahoo), harus rela dimutasi.
Titah Page, Mayer akan ditempatkan pada "divisi yang menjadi passion-nya selama ini," yakni Google Geo.
Membaca email tersebut, Bill Kilday, dalam memoirnya berjudul Never Lost Again: The Google Mapping Revolution That Sparked New Industries and Augmented Our Reality (2018), menyebut bahwa "pengumuman ini sangat mengecewakan bagi John."
John yang dimaksud adalah John Hanke, mantan diplomat Amerika Serikat untuk Myanmar yang bertransformasi menjadi teknisi software dan mendirikan startup bernama Keyhole. Ketika Google membeli Keyhole senilai USD35 juta pada 2004, Hanke menciptakan produk paling revolusioner untuk Google (yang kelak menjadi pondasi dasar Uber, Grab, hingga Gojek dapat bekerja), yakni Google Maps dan Google Earth alias Google Geo. Atas jasa ini, pikir Kilday, Hanke-lah yang seharusnya mengepalai Google Geo, bukan Mayer.
Karena kecewa, Hanke ingin hengkang dari Google dan mendirikan perusahaan rintisan baru. Namun Mayer dan Page menahannya.
"Ngapain, sih, pake mundur segala? Sudah, kamu di sini saja. Kalau memang mau mendirikan startup, buat aja di dalam Google," pinta Page pada Hanke.
Page berjanji untuk mendukung keinginan Hanke mendirikan startup, entah dalam bentuk dukungan teknis atau dana. Hanke akhirnya manut. Berstatus karyawan Google, ia mendirikan Niantic Labs --perusahaan di balik fenomena Pokemon Go. Dan sering dengan berjalannya waktu, seiring dibentuknya Alphabet sebagai induk usaha Google, Niantic dimerdekakan Google, menjadi startup mandiri. Tentu, dengan DNA Google termuat di dalamnya.
Niantic, atau Hanke, tak sendirian. Melalui mantan karyawannya, DNA Google menyebar ke ribuan startup di dunia.
"Big Brothers"
"Pada dekade 1980-an, Head & Shoulders membuat iklan dengan tagline berbunyi 'Anda tidak akan pernah mendapatkan kesempatan kedua untuk membuat kesan pertama'," tutur Laszlo Bock dalam bukunya Work Rules: Insights from Google that Will Transform How You Live and Lead (2015).
Menurut Bock, mantan Senior Vice President of People Operations Google yang kini mendirikan startup bernama Humu, tagline perusahaan sampo itu juga terjadi di HRD. Pihak yang mewawancara calon pekerja ini umumnya menentukan apakah ia diterima atau tidak hanya berbekal "lima menit kesan pertama" atau "thin slice" yang menjadi penentu "thick slice." Ketika lima menit pertama berakhir dengan kesan buruk, tak ada kesempatan kedua.
Bagi Bock ini masalah. Menukil penelitian yang dilakukan ahli psikologi bernama Tricia Prickett, Neha Gada-Jain, dan Frank Scmidt, Bock menyebut bahwa menit-menit awal wawancara kerja umumnya tidak berguna. Aneka pertanyaan HRD, semisal soal keunggulan dan kelemahan si calon pekerja, lebih merupakan cara HRD meyakinkan diri sendiri bahwa dia benar-benar memanggil orang yang tepat untuk diwawancara, bukan menguji si pelamar.
Singkat kata, Bock ingin mengungkap bahwa di menit-menit pertama wawancara kerja, bias HRD lebih menonjol dibandingkan kemampuan si pelamar. Masalahnya, bias ini kerap menjadi rujukan utama calon pekerja diterima atau tidak.
Google tidak melakukan kesalahan ini (meskipun dalam bukunya Bock mengakui bahwa Google pun acap kali melakukan bias soal kesan pertama karena begitu banyaknya pelamar). Apakah seorang pelamar akhirnya menjadi Googler--sebutan karyawan Google--atau tidak ditentukan melalui wawancara yang mengedepankan "solve engineering problems" dan "work sample test," bukan impresi awal.
Google, singkat cerita, menyeleksi calon pekerjanya dengan memberikan pertanyaan yang membuat pelamar berpikir, seperti apa yang akan ia lakukan ketika server tiba-tiba mati di tengah malam. Dengan cara ini, sebut Bock, Google memperoleh pekerja-pekerja berkualitas. Saking berkualitasnya, ketika karyawan Google memilih mengundurkan diri, Xoogler --sebutan mantan karyawan Google-- lebih banyak yang memilih mendirikan startup, alih-alih bekerja pada perusahaan lain.
Hingga saat ini, merujuk data Crunchbase, terdapat 1.587 startup yang didirikan mantan karyawan Google, 20 di antaranya berstatus sebagai perusahaan non-profit, dan dengan 26 di antaranya telah berstatus sebagai perusahaan terbuka. Secara keseluruhan, startup yang dibentuk Xoogler mendulang modal dari berbagai venture capital hingga mencapai USD64 miliar.
Selain Niantic, perusahaan besar yang dibentuk oleh tangan dingin mantan karyawan Google adalah Twitter. Evan Williams, yang menjadi karyawan Google usai startup buatannya bernama Blogger dibeli Google, ikut mendirikan Twitter pada 2006. Lalu, karena Williams pada 2012 mendirikan Medium, platform publikasi tersebut pun dianggap pula didirikan oleh seorang Xoogler.
Perusahaan lain yang berstatus "Google alumni-founded companies" ialah PayPlay, yang terjadi karena Yu Pan, salah satu pendirinya, merupakan karyawan pertama Youtube, yang tentu saja berstatus Googler. Tak ketinggalan, Xiaomi pun memperoleh titel yang sama gara-gara Lin Bin, co-founder Xiaomi, merupakan mantan Direktur Teknik Google.
Clubhouse, aplikasi yang tengah populer saat ini, pun didirikan oleh seorang Xoogler bernama Rohan Seth (dan istri Seth hari ini masih berstatus karyawan Google). Instagram juga didirikan oleh seorang mantan copywriter Google bernama Kevin Systrom.
Tentu, Google tak sendirian soal bekas karyawan yang mendirikan startup. Mantan-mantan karyawan Facebook, misalnya, mendirikan 471 startup. Pun dengan Apple (721 startup), dan Microsoft (1.817 startup).
Tentu, mengesampingkan kecerdasan, ada alasan mengapa banyak alumni Google memilih mendirikan startup. Yang paling utama adalah soal uang, soal modal. Tatkala Google melakukan penawaran saham perdana (IPO) pada 2004 silam, Google memberikan 3,5 juta lembar saham pada 2.292 karyawannya saat itu sebagai bonus, atau jika dirata-ratakan tiap karyawan Google memperoleh 1.527 lembar saham. Ketika IPO terjadi, harga per lembar saham Google hanya berada di angka USD85.
Nilai saham Google lantas meningkat secara eksponensial. Maka, andai saja seorang karyawan Google tetap mempertahankan kepemilikan sahamnya hingga hari ini, bonus tersebut bernilai USD3,15 juta atau hampir setara Rp50 miliar. Angka yang cukup untuk mendirikan startup.
Bagi karyawannya yang baru bergabung usai Google melalukan IPO, perusahaan yang didirikan Larry Page dan Sergey Brin dari disertasi untuk memperoleh Ph.D dari Stanford University ini memberikan gaji rata-rata sebesar USD133 ribu per tahun--untuk teknisi softwarenya--alias hampir setara dengan Rp1,9 miliar. Dan bagi karyawannya yang bergabung melalui aksi akuisisi startup, Google umumnya memberikan bonus yang amat besar--dengan mengecualikan uang yang diperoleh dari nilai pembelian startup.
Ditambah dengan kenyataan bahwa Google berada di Silicon Valley, yang membuat karyawan Google memperoleh akses ke para pemodal dan talenta muda di Stanford University, maka bukan hal sulit bagi eks-Google mendirikan startup. Dan begitulah, bagaimana mantan karyawan Google berjaya di mana-mana.
Editor: Nuran Wibisono