tirto.id - Pada 1918 Flu Spanyol muncul dari balik kabut perang dan membuat dunia tampak lebih muram. Saat sirine-sirine Perang Dunia I masih berbunyi nyaring, flu ini lebih banyak menumpas orang daripada rudal dan peluru yang beterbangan. Sejarah mencatat, flu yang disebabkan oleh virus influenza tipe A subtipe H1N1 ini berhasil menginfeksi sekitar 500 juta orang dan membunuh sekitar 20-50 juta orang di seluruh penjuru dunia.
Menurut History, Flu Spanyol mirip dengan flu musiman yang menyerang sistem pernafasan. Ketika orang yang terinfeksi batuk, bersin, atau berbicara, virus bisa menular ke orang di sekitar melalui udara. Orang-orang yang menyentuh sesuatu yang mengandung virus penyebab flu, lalu menyentuh mata, hidung, serta mulut secara langsung, juga rentan terinfeksi. Namun Flu Spanyol jelas jauh lebih berbahaya ketimbang flu musiman.
Sebagaimana dicatat History, Flu Spanyol “bisa menular lebih cepat dan sangat mematikan”. Bahkan, terutama pada gelombang kedua penyebarannya, flu ini tidak hanya membunuh orang dengan imunitas rendah, seperti balita dan lansia, melainkan juga orang-orang dewasa yang punya daya imunitas tinggi.
Meski titik mula penyebaran flu ini masih misterius hingga sekarang, perang tentu saja mempunyai andil besar menjadikannya sebagai wabah. Diam-diam, flu ini menyelinap dalam setiap mobilisasi tentara dan penduduk selama perang, ikut pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Parahnya, walaupun tahu bahwa flu ini membahayakan, negara-negara yang sedang sibuk berperang mula-mula memilih merahasiakannya. Alasannya: pemberitaan tentang adanya wabah bisa menurunkan semangat serdadu selama perang. Dari situlah flu ini lantas dikenal sebagai Flu Spanyol. Sebab, Negeri Matador yang kala itu tak ikut campur urusan perang merupakan satu-satunya negara yang membicarakan wabah dengan gencar.
Masalah kian pelik ketika negara-negara yang terlibat perang tersebut tidak hanya menyensor pemberitaan wabah. Untuk menjaga moral bangsa, mereka juga tetap melangsungkan acara olahraga yang dapat mengakibatkan orang berkumpul dalam skala besar di satu tempat dan waktu yang sama. Padahal, di kerumunan seperti itulah sebuah wabah bisa menyebar dan langsung menghajar manusia nyaris tanpa jeda.
Apa yang terjadi di Amerika Serikat dan Inggris bisa menjadi contohnya.
Boston Red Sox dan Tinju
Babe Ruth adalah seorang petarung tangguh. Saat wabah Flu Spanyol melanda AS, mantan pemain bisbol andalan Boston Red Sox itu dua kali tumbang dibuatnya. Ia pertama kali terinfeksi Flu Spanyol pada Mei 1918, sedangkan yang kedua terjadi pada September 1918. Ia berhasil bangkit dan lolos dari kematian. Namun, lewat sebuah pengandaian, ia mengingatkan bahwa Flu Spanyol benar-benar berbahaya:
“Setiap pukulan semakin mendekatkanku ke home-run berikutnya.”
Menurut laporan Callum Rise-Coates dari Independent, Liga Bisbol AS (MLB) tetap berjalan selama perang. Sebagai salah satu olahraga terbesar di AS, bisbol saat itu sangat dibutuhkan sebagai pengalihan dan pelarian bagi prajurit serta masyarakat AS. Meski begitu, karena Flu Spanyol mulai menyerang AS pada Maret 1918, liga itu tak berlangsung seperti biasanya.
MLB 1918, menurut Callum, berlangsung lebih singkat—dari April hingga September 1918. Para pemain dan semua perangkat pertandingan diwajibkan mengenakan masker. Jumlah penonton pun dibatasi. Namun sayangnya, aturan-aturan itu kelak tak menolong dan tak semua orang AS bisa setangguh Babe Ruth.
Mass Live melaporkan bahwa puncak MLB 1918 mempertemukan antara Boston Red Sox melawan Chicago Cubs. Gim keenam, yang digelar pada September 1918, akan berlangsung di Fenway Park, markas Boston. Tempat itu sendiri dipilih untuk menggelar gim pamungkas karena memiliki kapasitas besar. Padahal, sekitar sebulan sebelumnya, para prajurit perang AS yang sebagian besar terinfeksi Flu Spanyol pulang dan berlabuh di kota Boston.
Singkat cerita, pertandingan itu akhirnya tetap digelar, Boston Red Sox menang, dan kota Boston berpesta. Dari situlah, sejarawan AS Johnny Smith menyebut bahwa Flu Spanyol gelombang kedua mulai menghantam AS.
“Boston,” kata Smith, “adalah pusat penyebaran wabah pada September 1918.” Hingga akhir tahun 1918, setidaknya ada sekitar 4800 warga Boston yang meninggal karena Flu Spanyol.
Yang menarik, bisbol ternyata bukan satu-satunya acara olahraga yang ikut membantu penyebaran wabah Flu Spanyol di AS. Ada olahraga lain, seperti hoki dan American Football. Lain itu, ada pula tinju, yang para pelakunya bahkan ikut menjadi korban keganasan Flu Spanyol.
Penyelenggara pertandingan tinju, yang pernah ditanggap secara khusus untuk menghibur prajurit AS selama perang, memang sempat bimbang ketika Flu Spanyol melanda AS. Saat itu hampir semua sasana tinju di segala penjuru Paman Sam ditutup dan pertandingan yang sudah direncanakan batal digelar. Namun, hal tidak bertahan lama. Pada 27 Oktober 1918, Cleveland Plan Dealer menulis: “Pertandingan tinju kembali berlangsung di bagian timur sementara larangan masih berlaku di daerah lainnya.”
Gong pembuka pertandingan tinju selama pandemik digelar pada 6 November 1918, di Philadelphia, kota yang saat menjadi salah satu pusat penyebaran wabah. Pertandingan ini kelas berat, antara Jack Dempsey melawan Battling Levinsky. Dempsey menang, dan setelah itu pertandingan tinju lain berderet-deret mengikutinya.
Masalahnya, seiring jumlah korban Flu Spanyol yang terus bertambah, pertandingan-pertandingan ini ternyata gagal menjadi hiburan selepas perang. Malahan, selain ikut menyebarkan wabah, tak sedikit pula para pelaku tinju yang ikut menjadi korban. Sebagian dari petinju ini bahkan tidak hanya keok di kanvas, tapi juga untuk selama-lamanya.
Beberapa petinju yang meninggal, menurut laporan Guardian, adalah petinju kelas berat: Jim Johnson, Terry Martin, Matty Baldwin, Jim Steward, hingga Joe Tuber. Lain itu, Flu Spanyol juga merenggut nyawa Paddy Carroll, promotor tinju, dan Lorenzo Snow, pemilik klub tinju di AS.
Untuk semua itu, AS lantas mendapatkan pukulan telak. Olahraga, yang seharusnya membuat orang bugar dan melupakan perang, justru membantu penyebaran flu secara masif. Flu Spanyol akhirnya membunuh sekitar 675 ribu warga AS, dan olahraga tentu saja punya andil di dalamnya.
Sepakbola Inggris
Dalam salah satu tulisannya di majalah FourFourTwo (edisi September 2013), Paul Brown mengisahkan bahwa masyarakat Inggris tak pernah bisa meninggalkan sepakbola selama Perang Dunia II. Meski liga nasional resmi dihentikan, pertandingan-pertandingan regional tetap digelar dan ditonton banyak orang.
Puncaknya, tulis Brown, adalah pertandingan final The Football League War Cup yang berlangsung pada 1941. Pertandingan itu digelar di Wembley, ditonton 60 ribu orang, di tengah-tengah gempuran Luftwaffe yang nyaris tanpa jeda.
Menurut Brown, masyarakat Inggris melakukan hal nekat tersebut bukan tanpa alasan. Perang mengakibatkan luka, di mana orang-orang terdekat tewas, rumah-rumah hancur, dan belum lagi kenangan buruk yang akan selalu menancap di ingatan. Luka itu setidaknya dapat sedikit terobati oleh sepak bola.
Penyebabnya, kata mantan pemain sayap Inggris Tom Finney: “Sepakbola mampu memberikan eskapisme yang sangat dibutuhkan dan sungguh bisa dinikmati bahkan di tengah bombardir musuh.”
Yang menarik, pernyataan Finney tersebut juga menjadi alasan utama mengapa sepakbola tetap berlangsung di Inggris selama Perang Dunia I. Bahkan, saat perang itu dibarengi dengan wabah Flu Spanyol, pertandingan sepakbola tetap didatangi banyak orang. Mereka tak takut wabah. Sebagaimana diceritakan Brown, sebagian besar dari mereka menganggap bahwa mati karena wabah adalah cara yang kelewat buruk.
Apa yang terjadi di borough Chelsea lantas bisa menjadi contoh. Saat otoritas tertinggi sepakbola Inggris ancang-ancang mengembalikan liga pasca perang, klub-klub asal daerah tersebut terus memainkan pertandingan regional yang bertajuk London Combination League. Liga regional itu tak nyaris tak pernah sepi penonton.
“Dari September 1819 hingga April 1919, pertandingan Chelsea di Stamford Bridge rata-rata mampu mendatangkan 20 ribu penonton… Bahkan pada pertandingan final antara Chelsea melawan Fulham di Highbury, ada 36 ribu penonton yang datang ke pertandingan,” tulis Rick Glanvill di situs resmi Chelsea.
Pendekatan itu akhirnya membuat wabah Flu Spanyol semakin menjadi-jadi di Inggris. Pada Oktober 1918, flu tersebut menumpas sekitar 100 orang di borough Chelsea, mengakibatkan London jadi salah satu sumber utama wabah di Inggris. Saat wabah berakhir, Flu Spanyol total membunuh sekitar 228 ribu di Inggris.
Nahasnya, dua di antara banyaknya korban tersebut adalah pesepakbola yang sedang berada di usia emas: Angus Douglas (29 tahun) dan John Pattison (31 tahun).
Editor: Windu Jusuf