tirto.id - Saat menjabat Ketua Cabang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat periode 1981-1982, Azyumardi Azra getol mengkritik kebijakan kampus IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hal ini membuat Harun Nasution sebagai rektor saat itu berang dan memanggil Azra ke ruangannya.
Di ruangan Pak Rektor, mereka terlibat perdebatan sengit soal kebijakan kampus. Keduanya sama-sama keras kepala mempertahankan pandangan masing-masing.
"Kamu pikir gampang jadi rektor?"
"Gampang. Tinggal duduk dan memberi perintah."
Mendengar jawaban itu, Harun lantas meminta lawan bicaranya bertukar tempat duduk. Permintaan tersebut dituruti Azra. Ia duduk di kursi kerja rektor.
"Saya doakan kamu jadi rektor."
Di kalangan mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah, cerita itu jadi legenda. Saya sendiri mendengarnya pada 2011, ketika menjalani Orientasi Pendidikan Kampus (Ospek) untuk mahasiswa baru.
"Itulah enaknya jadi aktivis. Bisa jadi rektor," begitu kata senior saya yang jadi narasumber cerita.
Emam belas tahun setelah peristiwa itu, Azra memang benar-benar menjadi rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama dua periode (1998-2006), menggantikan Quraish Shihab. Saat itu, usianya cukup muda: 43 tahun.
Mengikuti Jejak Harun Nasution
Sebagai rektor, Azra bisa dibilang mengikuti jejak Harun. Ia melakukan modernisasi kampus dengan mengubah IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) pada 20 Mei 2002. Konsekuensinya, kurikulum dirombak secara mendasar; tidak lagi berfokus pada ilmu-ilmu Islam, tapi juga ilmu umum, misalnya kedokteran, sains dan teknologi, serta ilmu sosial dan politik.
Hal ini selaras dengan pemikiran Azra tentang modernisasi pendidikan Islam. Dalam sebuah wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla yang disiarkan radio 68 H pada 25 Juli 2002, Azra menyatakan, syarat pendidikan Islam modern adalah memiliki rasionalitas, demokratis, toleran terhadap perbedaan, berorientasi ke depan, dan tidak backward looking.
Tujuannya, kata Azra, menciptakan "orang yang di dalam dirinya terintegrasi keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan."
Untuk mencapai hal itu, seperti yang tertulis dalam "Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru", Azra menyatakan pendidikan Islam harus mengalami pembaruan dengan mengubah sistem dan kelembagaan pendidikan Islam menjadi lebih profesional dan terbuka pada perkembangan zaman (hal. 59-60).
Selain mengubah kurikulum, Azra juga melakukan demokratisasi kampus. Ia menyetujui pendirian Student Government (SG) yang diusulkan elemen-elemen mahasiswa di UIN sebagai pengejawantahan reformasi di dalam kampus. Salah satu yang mengusulkan adalah TB Ace Hasan Syadzily (kini Wakil Ketua Komisi VIII DPR) yang akhirnya menjadi presiden BEM UIN pertama versi SG.
Azra juga membuka peluang bagi organisasi ekstra kampus, seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Islam Indonesia (IMM) dan HMI untuk melakukan kaderisasi di UIN dan turut berperan dalam kehidupan kampus.
Namun, sistem keorganisasian mahasiswa UIN di era Rektor Komarudin Hidayat berubah lagi menjadi Senat, seperti halnya pada era sebelum Azra. Organisasi mahasiswa ekstra juga dilarang melakukan kaderisasi di kampus sebagaimana dikehendaki oleh surat edaran rektor pada 11 Juni 2010 yang merupakan pengejawantahan keputusan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (DIKTI) Nomor: 26/Dikti/Kep/2002.
Melalui cuitan di akun Twitter pribadinya pada 5 Juni 2018, Azra kembali mengingatkan pentingnya keberadaan organisasi mahasiswa ekstra kampus. "Kembalikan organisasi ekstra mahasiswa seperti HMI, PMII dan IMM ke kampus, sehingga mengurangi dominasi organisasi Islam kanan," tulisnya.
Sejarawan Islam dan "Sir" Pertama dari Indonesia
Lahir di Lubuk Alung, Sumatera Barat, 4 Maret 1955, Azra tumbuh menjadi akademisi dan intelektual tersohor. Lulus dari Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah pada 1982, ia melanjutkan studi ke Columbia University dan meraih dua gelar Master of Arts di Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah (1988) dan Master of Philosophy di Departemen Sejarah (1990).
Azra juga mendapatkan gelar Doctor of Philosophy di kampus yang sama pada 1992 dengan disertasi berjudul "The Transformation of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian 'Ulama in the Seventeenth and Eighteent Centuries".
Disertasinya kemudian diterbitkan oleh Allen Unwin, Asosiasi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Amerika (AAAS), Hawai University Press, dan KITLV Press. Di Indonesia, disertasi tersebut diterbitkan Mizan dengan judul "Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII pada 1994.
Dengan penelitian serius terhadap historiografi klasik dan lima teori utama masuknya Islam ke Nusantara, Azra membantah anggapan peneliti-peneliti Barat bahwa hubungan Islam di Nusantara dan di Timur Tengah sebatas politik tanpa melibatkan unsur keagamaan.
Teori pertama mengatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari India karena terdapat kesamaan mazhab dengan yang dianut muslim di Gujarat dan Malabar, yakni mazhab Syafii. Teori ini diungkapkan ilmuwan Belanda, Pijnappel yang didukung Indonesianis Kolonial, Snouck Hugronje (hal. 24).
Teori kedua mengatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari pantai Coromandel pada abad ke-13, bukan dari Gujarat seperti yang diungkapkan Pijnappel. Teori ini diungkapkan Marrison. Teori ketiga, Islam di Nusantara berasal langsung dari Arab. Meski begitu, Azra tetap menganggap interaksi masyarakat Nusantara dengan masyarakat di Pantai Timur India tetap menjadi faktor penting masuknya Islam ke Nusantara (hal. 26-27).
Teori keempat dikemukakan oleh Keijzer. Menurut teori ini, Islam di Nusantara berasal dari Mesir lantaran kesamaan mazhab yang dianut pemeluknya. Teori kelima, Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dan sufi pada abad ke-13. Teori ini didapatkan melalui studi atas sejarah literatur Melayu-Indonesia (hal. 32).
Azra mengungkapkan, terdapat hubungan politik dan keagamaan antara muslim di Nusantara dan di Timur Tengah, persisnya antara kerajaan di Nusantara (Kahuripan, Pajang, Aceh) dengan Kekhalifahan Utsmani dan Haramain (Mekah dan Madinah).
Azra juga mengungkap peran ulama Nusantara, seperti Syekh Katib Minagkabawi dan Syekh Nawawi al-Bantani yang menjadi salah dua ulama terkemuka di Haramain pada abad ke-17.
Uniknya, Azra mampu menuliskan penelitian ini secara dengan cara bertutur yang menarik dan kronologis. Hal ini tidak lepas dari pengalamannya sebagai wartawan PanjiMasyarakat (1979-1985). Akibat temuan ini, Azra dipandang sebagai salah satu sejarawan Islam terkemuka di Indonesia. Bahkan, karyanya ini menjadi salah satu rujukan paling penting perihal sejarah Islam di Indonesia, selain karya-karya sejarawan Islam lain seperti Deliar Noer dan Hamka.
Selain disertasi tersebut, Azra juga menulis sejumlah buku lainnya. Di antaranya adalah Mengenal Ajaran Kaum Sufi (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984); Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1985); Agama di Tengah Sekularisasi Politik (Jakarta: Panjimas, 1985), Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1985); Pergolakan Politik Islam (Jakarta : Paramadina, 1996); Islam Reformis, Dinamika Intelektual dan Gerakan (Bandung:Rosdakarya, 1999); Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta : Paramadina, 1999); Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta : Logos, 1999); Esei-Esei Pendidikan Islam dan Cendikiawan Muslim (Jakarta: Logos, 1999); Renaisans Islam di Asia Tenggara (Bandung: Rosdakarya, 1999). Karya yang disebut terakhir ini memenangi penghargaan nasional sebagai buku terbaik untuk kategori ilmu-ilmu sosial dan humaniora pada 1999.
Produktivitas Azra dalam menulis membuatnya diganjar Mizan Award sebagai penulis paling produktif pada 2002.
Bapak dari empat anak ini tercatat menjadi profesor tamu di sejumlah universitas luar negeri, seperti University of Philippines, Filipina (1997); University Malaya, Malaysia (1997); New York University (2001); Harvard University; dan Columbia University. Tak cuma itu, Azra juga tercatat menjadi anggota Selection Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP) Toyota Foundation dan Japan Center, Tokyo, Jepang (1997-1999).
Pada 10 Juni 2010, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Martin Hatfull menghubunginya melalui telepon dan mengatakan bahwa Azra mendapat gelar Commander of the Order of British Empire (CBE) dari Ratu Elizabeth.
"Gelar apa itu?", tanya Azra polos.
"Salah satu gelar dan kehormatan tertinggi yang diberikan Ratu," jawab Hatfull.
Hatfull kemudian menjelaskan, gelar tersebut didapatkan Azra lantaran sumbangsihnya untuk membentuk UK-Indonesia Islamic Advisory Group (UK-Indonesia AIG). Penghargaan tersebut secara resmi dikukuhkan pada 28 September 2010 dan menjadikan Azra orang Indonesia pertama yang menyandang gelar 'Sir'.
Belakangan, Azra tahu bahwa gelar itu lebih beken dari yang pernah diterima David Beckham. Mantan kapten Manchester United itu 'hanya' mendapat gelar Officer of the Order of British Empire (OBE).
====================
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, redaksi menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan dan pembaharu Muslim zaman Orde Baru dari berbagai spektrum ideologi. Kami percaya bahwa gagasan mereka bukan hanya mewarnai wacana keislaman, tapi juga memberi kontribusi penting bagi peradaban Islam Indonesia. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Windu Jusuf