tirto.id - Minggu ini, sebuah unggahan terkait pesawat tempur Indonesia muncul di Facebook. Laman Facebook Dunia Militer membagikan video berdurasi 4:58 menit tersebut pada 7 November 2022. Judul video, serta tulisan di video, mengklaim bahwa Australia mencurigai bahwa Indonesia menyembunyikan jet tempur "siluman" Eropa.
Hingga 9 November, video ini telah ditonton hingga 140 ribu kali, mendapat 138 komentar, serta mendapat reaksi dari 3,9 ribu pengguna Facebook.
Lantas, bagaimana kebenaran informasi yang disampaikan oleh video tersebut?
Penelusuran Fakta
Kami menelusuri laman Facebook Dunia Militer. Laman ini memang kerap membagikan video bermuatan politik dan militer, di antaranya sebuah video yang mengklaim bahwa Indonesia siap luncurkan rudal tercanggih atau klaim bahwa Pulau Pasir diserahkan ke pemiliknya.
Sebagai tambahan informasi, laman ini diikuti oleh 43 ribu orang dan disukai oleh 5,1 ribu pengguna Facebook.
Kembali lagi ke video yang mengklaim Australia mencurigai Indonesia yang sembunyikan jet tempur milik Eropa. Narator video menyebut bahwa ia membacakan berita dari Kompas.com. Melalui pencarian, ditemukan bahwa berita tersebut adalah tulisan di Kompas.com oleh mantan kepala staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Chappy Hakim tertanggal 4 November 2022, dengan judul berjudul “Menyongsong Kedatangan Pesawat Baru Angkatan Udara”.
Tulisan Chappy di Kompas sendiri membahas Kementerian Pertahanan yang telah menandatangani kontrak pengadaan 42 pesawat terbang jenis Rafale dengan Dassault Aviation, produsen pesawat terbang kenamaan milik Perancis. Penandatanganan kontrak dilakukan pada Februari 2022 di kantor Kemenhan, Jakarta.
Narator video juga menyebutkan bahwa penandatanganan kontrak ini disaksikan langsung oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri Pertahanan Perancis Florence Parly.
Indonesia sendiri berniat mendatangkan 42 Rafale, namun sebagai langkah awal akan mengakuisisi enam unit terlebih dahulu. Kompas juga menyebutkan bahwa kontrak pengadaan 42 pesawat Rafale menjadi proses pengadaan terbesar pesawat terbang dari Perancis sejauh ini.
Narasi video sendiri tidak berubah dari apa yang ditulis Kompas, yakni Rafale yang telah terbang pertama kali pada 1986 dan diperkenalkan mulai 2001. Hingga 2022, pesawat itu telah diproduksi sebanyak 240 unit.
Isi tulisan Kompas dibacakan oleh narator video dari awal hingga akhir. Tidak ada satu pun informasi mengenai Australia yang disampaikan.
Sementara itu, belakangan, memang banyak video yang tersebar di Facebook yang mengklaim terganggunya hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia terkait sengketa Pulau Pasir.
Namun, hal ini tidak benar. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI juga telah menjelaskan bahwa tidak ada sengketa kepemilikan Kepulauan Pasir antara Indonesia dan Australia. Pemerintah mengakui bahwa gugusan pulau itu memang milik Australia.
Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Laurentius Amrih Jinangkung menegaskan Pulau Pasir atau Ashmore Reef bukan milik Indonesia, melainkan Australia.
Amrih menuturkan, Pulau Pasir tidak pernah menjadi bagian dari wilayah Hindia Belanda, yang setelah Indonesia merdeka menjadi NKRI.
Pemerintah Hindia Belanda juga disebut tidak pernah memprotes klaim atau kepemilikan Pulau Pasir oleh Inggris yang mewariskan wilayah tersebut kepada Australia.
"Dalam konteks ini, Indonesia tidak pernah memiliki atau tidak punya klaim terhadap Pulau Pasir," kata Amrih seperti dikutip Tirto dari Antara pada Jumat (28/10/2022).
Sebagai tambahan informasi, Pulau Pasir atau Ashmore Reef terletak 840 kilometer sebelah barat Darwin dan 610 kilometer sebelah utara Broome.
Keterangan Pulau Pasir bukan bagian dari NKRI tertuang dalam Deklarasi Juanda 1957 yang kemudian diundangkan melalui UU Nomor 4 Tahun 1960.
Di dalam beleid itu disebutkan Pulau Pasir tidak masuk dalam wilayah atau peta NKRI sejak tahun 1957, 1960, maupun pada peta-peta yang dibuat setelah periode itu.
Sementara untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat, nelayan tradisional dari Nusa Tenggara Timur (NTT) diizinkan menangkap ikan di sekitar perairan Pulau Pasir dan gugusan pulau lain di sekitarnya.
Ketentuan itu diteken melalui memorandum of understanding (MoU) antara Indonesia dan Australia pada 1974. Selanjutnya, nota kesepahaman ini disempurnakan lagi melalui perjanjian pada 1981 dan 1989.
"Jadi perjanjian itu memang memberikan kesempatan kepada nelayan tradisional untuk menjalankan hak tradisional mereka di perairan tersebut," tutur Amrih lagi.
Sebelumnya, sengketa Pulau Pasir naik ke permukaan setelah masyarakat adat Laut Timor mengancam melayangkan gugatan kepemilikan Pulau Pasir oleh Australia ke Pengadilan Commonwealth Australia di Canberra.
“Kalau Australia tidak mau keluar dari gugusan Pulau Pasir, kami terpaksa membawa kasus tentang hak masyarakat adat kami ke Pengadilan Commonwealth Australia di Canberra," kata Pemegang Mandat Hak Ulayat Masyarakat Adat Laut Timor Ferdi Tanoni dinukil dari Antara.
Ferdi menuturkan bahwa kawasan tersebut adalah milik masyarakat adat Timor, Rote, dan Alor.
Mengenai hal ini, Dirjen Amrih meminta masyarakat adat Laut Timor untuk terlebih dahulu memeriksa kembali apakah mungkin pengadilan Australia mengakomodasi gugatan dari warga negara asing, dengan berdasarkan pada hukum Australia.
"Ini di luar isu kedaulatan atau kepemilikan karena sudah jelas (Pulau Pasir) milik siapa. Tetapi kalau ada WNI yang ingin menggunakan suatu hak yang mungkin diperbolehkan atau tidak diperbolehkan, kita belum tahu berdasarkan hukum Australia," tegas Amrih.
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran fakta yang telah dilakukan, klaim bahwa Australia mencurigai Indonesia karena pesawat tempur milik Eropa tidak tepat. Belakangan, banyak video yang tersebar di Facebook dan mengklaim terganggunya hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia terkait sengketa Pulau Pasir. Namun, hal ini tidak benar.
Pulau Pasir sendiri tidak pernah menjadi milik Indonesia. Video yang tersebar dan mengklaim kecurigaan Australia pada Indonesia bersifat salah sebagian (partly false). Perlu diperjelas bahwa berita Kompas.com yang dikutipoleh narator video tidak salah.
Editor: Farida Susanty