tirto.id - Pernyataan Presiden Joko Widodo yang tak ingin bergantung pada energi fosil dinilai belum cukup memberikan kepastian bahwa Energi Baru Terbarukan (EBT) akan mendapat perhatian.
Anggota Masyarakat Energi Terbarukan (METI) yang membidangi panas bumi, Sanusi Satar mengatakan PP No. 79 Tahun 2014 memberi amanat target 23 persen EBT pada tahun 2025.
Menurutnya, jika pemerintah memang serius ingin membuktikan komitmennya, maka perlu membeberkan strategi konkret untuk mencapai target itu.
Sebab saat ini capaian EBT pemerintah Indonesia masih tergolong rendah atau berkisar di angka 10-20 persen bauran energi.
“Sekarang sudah 2019 tinggal lima sampai enam tahun lagi. Harusnya pemerintah menjawab komitmen itu dengan strategi gimana paling enggak 18-20 persen EBT bisa terwujud di 2025,” ucap Sanusi saat dihubungi reporter Tirto pada Selasa (26/2).
Sanusi merespons janji Jokowi yang diucapkan saat meresmikan PLTU Cilacap untuk ekspansi kapasitas pembangkit sebanyak 660 MW pada Senin (25/2) lalu.
Pada saat itu Jokowi mengatakan ingin Indonesia tidak lagi mengandalkan energi fosil seperti batu bara dalam memenuhi kebutuhan energi nasional.
Hal itu menurutnya terlihat dari minimnya capaian EBT di bidang panas bumi. Dari data Badan Geologi, potensi panas bumi Indonesia mencapai 28,5 GW atau sekitar 28.500 MW. Namun, kenyataannya baru terpasang sekitar 1.948 MW.
Di saat yang sama menurut Sanusi, jika pemerintah Indonesia serius maka angka itu dapat melampaui capaian pemerintah Amerika yang berada di 3.300 MW sebagai produsen energi dari panas bumi.
Namun, hal ini kembali lagi pada mau tidaknya pemerintah mendukung pengembangan panas bumi yang memerlukan 8-10 tahun sebelum listriknya dapat dialirkan secara komersil.
“Indonesia saat ini posisi ke-2 sebagai produsen panas bumi dunia setelah USA. Padahal sejauh ini panas bumi dapat diandalkan untuk bisa jalan 24 jam/hari tanpa shut down,” ucap Sanusi.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Nur Hidayah Perwitasari