tirto.id - Sejak tayang perdana di YouTube pada 30 Juni 2018 silam, lagu tema Asian Games 2018, “Meraih Bintang,” telah menyedot perhatian masyarakat Indonesia. Sejauh ini, video klip dari lagu yang dinyanyikan Via Vallen itu telah ditonton lebih dari 32 juta kali.
Lagu gubahan Parlin Burman Siburian—atau biasa disapa Pay—itu kini terdengar di mana-mana; dari radio, televisi, hingga pusat perbelanjaan. Musik bertempo cepat yang memadukan warna pop dan dangdut itu cepat booming saking gampangnya dinikmati.
Salah satu bagian yang paling menarik dalam lagu tersebut adalah bagian reff, ketika lirik berbunyi “Yo yo ayo, Yo ayo yo yo ayo,” dinyanyikan dengan sedikit patah-patah dan diiringi suara gendang.
Diberitakan oleh Antara, popularitas “Meraih Bintang” kian moncer saat sejumlah artis dari berbagai negara turut serta untuk membawakan dan mengaransemen ulang lagu tersebut dengan versinya masing-masing. Beberapa penyanyi luar yang tercatat melakukannya antara lain Janniene Weigel (Thailand), Jason Chen (Mandarin), Siddharth Slathia (India), sampai Kim Ji-hoon (Korea Selatan).
Haramnya Musik Pop
Hal unik lainnya yang muncul dari pembicaraan seputar lagu Asian Games 2018 ini adalah keberadaan penyanyi asal Arab Saudi bernama Aseel Omran. Dia tampil membawakan "Meraih Bintang" versi bahasa Arab yang dijuduli “Alhalmi Haan.” Lagu ini dibawakan tak jauh beda dari bentuk aslinya. Yang bikin “Alhalmi Haan” terasa istimewa adalah cengkok khas tembang-tembang Arabia yang menyelimuti seluruh lagu. Di YouTube, “Alhalmi Haan” sudah ditonton lebih dari 6 juta kali.
Kehadiran Aseel jadi menarik sebab di Saudi, interpretasi Wahabisme menyatakan bahwa musik—apalagi pop—tak ubahnya barang haram. Ia identik dengan citra buruk, dosa, dan neraka sebagai imbas dari aturan-aturan syariah yang dikeluarkan para ulama konservatif.
Sebetulnya, musik tidak selalu dianggap tabu di Saudi. Musik tradisional, khususnya, masih bisa mendapatkan tempat di hati para pembuat kebijakan. Ia diizinkan diputar di publik lewat pelbagai festival musim panas di kota-kota besar seperti Jeddah.
“Secara historis, masyarakat Saudi kaya budaya. Ada banyak tradisi musik, dengan variasi dan subkultur yang berbeda,” jelas Abdulsalam al-Wayel, profesor sosiologi di King Saud University, dalam “Quietly at First, Music Comes Back to Saudi Arabia” yang dipublikasikan Reuters.
“Orang-orang dari seluruh negara muslim di dunia membawa tradisinya ke Mekkah, sama ketika masyarakat Afro-America membawa jazz. Ini bagian dari identitas masyarakat selama berabad-abad.”
Tapi, semuanya berubah tatkala Raja Fahd bin Abdulaziz Al Saud duduk di singgasana pada 1990-an. Reuters mencatat, para ulama yang berdiri di belakang Raja Fahd kala itu mendorong pembentukan Komite Kerajaan untuk Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan (CPVPV). Tujuannya: menindak segala hal yang dipandang “tak bermoral.” Musik pop, yang acapkali dinilai sebagai produk Barat, ikut jadi sasaran.
Aparat CPVPV lantas disibukkan dengan agenda sweeping atas orang-orang yang mendengarkan musik di tempat terbuka. Mereka juga membakar alat musik dan ribuan keping kaset. Musik pop hanya diperbolehkan diputar di ruang-ruang tertentu, misalnya di ranah militer untuk kepentingan pendidikan dan pawai-pawai resmi.
Kondisi ini membuat masyarakat tak bisa leluasa menikmati musik pop. Namun, bukan berarti tak ada jalan. Laporan Arwa Haider bertajuk “Saudi Arabia’s Bootleg Music Shops” yang terbit di BBC menyatakan bahwa sejak represi aparat terhadap produk musik dari Barat merajalela, masyarakat Saudi sembunyi-sembunyi mendengarkan musik pop.
Tak terkecuali sebuah toko kaset di kawasan King Khalid. Rak di sudut dalam toko itu memajang rilisan bermacam genre, dari pop sampai elektronik. Namun, semua produknya ditutup dengan kotak plastik tahan panas yang tebal. Pembeli bisa membawa pulang kaset dengan mahar 10 riyal. Tentu kaset-kaset ini merupakan hasil bajakan.
Tak cuma menggeliat di King Khalid, tampilan sampul album pop juga juga disamarkan di pusat-pusat perbelanjaan di sekitar Riyadh atau Jeddah. Para penjual menggelar lapaknya tiap hari. Namun, ketika adzan berkumandang, mereka segera membereskan dagangannya, sebelum nantinya kembali berjualan dalam sunyi dan senyap.
Masih mengutip laporan Haider, referensi musik pop juga menyebar melalui majalah-majalah impor seperti Smash Hits serta New Musical Express (NME) yang harganya cukup mahal. Gambar album dan sampul majalah-majalah ini pun sudah disensor karena dianggap cabul. Cara lain masyarakat Saudi mendengarkan musik pop adalah mengakses siaran radio dari Bahrain yang kerap memutar tembang-tembang Britpop.
Konsumsi musik pop secara masif mulai tumbuh ketika internet masuk Saudi. Para musisi memanfaatkan internet untuk melebarkan relasi dan memperluas distribusi. Seperti dicatat Quartz, para musisi menyebarkan karyanya ke luar Saudi dan berjejaring dengan musisi lainnya lewat internet.
Dampak Reformasi Sosial?
Pangeran Muhammad bin Salman, yang digadang-gadang meneruskan estafet kepemimpinan Kerajaan Arab Saudi, percaya bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan terjadi jika reformasi sosial terjadi di negaranya. Ia pun berjanji mengembalikan Saudi ke jalur “Islam moderat” dan meminta dukungan global untuk mewujudkan masyarakat Saudi yang lebih terbuka. Cita-cita akhirnya: investor juga lebih tertarik datang ke Saudi.
Dalam wawancaranya dengan The Guardian, sang pewaris takhta Saudi menyatakan bahwa ultra-konservatisme Saudi adalah penghalang utama visi modernisasi negeri padang pasir itu. Salman juga juga menyindir orang-orang Saudi terdahulu yang terlalu terpengaruh oleh Revolusi Iran yang kaku sehingga generasi muda Saudi kini terpaksa menerima akibatnya.
“Apa yang terjadi dalam 30 tahun terakhir ini bukan Arab Saudi. Yang terjadi di wilayah ini selama 30 tahun terakhir bukanlah Timur Tengah. Setelah Revolusi Iran pada 1979, orang ingin menyalin model [negara ultra-konservatif] ini ke berbagai negara, salah satunya Arab Saudi. Kami tidak tahu bagaimana mengatasinya. Dan masalahnya tersebar di seluruh dunia. Sekarang saatnya hal-hal semacam itu disingkirkan,” jelas pangeran berusia 32 tahun tersebut.
Demi mewujudkan misinya itu, Pangeran Salman mengumumkan rencana jangka panjang (15 tahun) bernama Saudi Vision 2030 yang melibatkan lebih dari 80 proyek. Tujuannya: mengurangi ketergantungan terhadap minyak, diversifikasi ekonomi, serta mengembangkan sektor pelayanan publik, misalnya kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi, dan pariwisata. Kerajaan Arab Saudi siap menggelontorkan dana sebesar hingga 20 juta dolar untuk tiap proyek.
Salah satu sektor yang rencananya bakal dibesarkan oleh pemerintah Saudi adalah industri hiburan dan pariwisata. Pangeran Salman menegaskan sektor ini sebagai andalan ketiga. Dalam wawancara denganAl-Arabiya, Salman menyebut bahwa nilai industri pariwisata dan hiburan amatlah besar. Warga Arab Saudi menghabiskan 22 miliar dolar per tahun untuk mengakses hiburan dan melancong. Sayang, milyaran dolar itu mereka habiskan di luar negeri. Apa boleh buat, Arab Saudi dicap tak ramah terhadap industri hiburan.
Sektor tersebut ditangani khusus oleh lembaga bernama General Entertainment Authority (GEA). Tugasnya antara lain membikin rencana dan standar manajemen fasilitas untuk tempat acara dan kegiatan, mengembangkan fasilitas hiburan, mewakili kerajaan Saudi di perhelatan-perhelatan global, hingga mendorong investasi di sektor hiburan.
Reformasi sosial yang dicetuskan sang pangeran juga berdampak bagi kancah musik pop Saudi. Talenta-talenta pop yang menjanjikan perlahan mencuat ke permukaan. Mereka tak lagi takut akan represi aparat, seperti halnya yang terjadi beberapa dekade silam. Aseel, yang sudah merilis tiga album selama kariernya, hanyalah satu dari sekian contoh.
Selain Aseel, muncul pula potensi-potensi lainnya seperti Khamsa Adwaa (Five Lights), girlband yang sempat bikin heboh jagat media sosial lewat lagu berjudul “HUSH.” Al-Arabiya juga menyebut nama Saad Lamjarred, Nasr Al Bahhar, Aymane Serhani, Cairokee & Tarek El Sheikh, sampai Asma Lmnawar.
Tak ketinggalan, gelombang baru pop Saudi juga hadir melalui sosok Rotana Tarabzouni, penyanyi muda yang sedang naik daun. Banyak yang menilai, kemampuan olah vokal Tarabzouni adalah perpaduan Taylor Swift dan Lana Del Rey. Terdengar berlebihan, tentunya. Namun, yang jelas, kemunculan Tarabzouni menunjukkan betapa suburnya kancah musik pop Saudi belakangan ini.
Upaya reformasi sosial Pangeran Salman bukan satu-satunya faktor pendorong kemunculan talenta-talenta pop Saudi. Diya Azzony, musisi Saudi yang telah malang melintang di Inggris dan AS, menyebutkan bahwa media sosial seperti YouTube sampai SoundCloud turut berandil besar dalam memicu "bangkitnya skena musik Saudi".
“Media sosial itu gratis,” katanya seperti ditulis dalam “The Emerging Indie Music Industry in Saudi Arabia” yang dipublikasikan World Policy Journal pada 2017. “Jadi, siapapun bisa terkenal dalam waktu yang cepat.”
Namun, bukan berarti perjalanan musik pop Saudi senantiasa mulus. Konservatisme yang terlanjur mendarah daging di tubuh pemerintahan masih mengganjal penyebaran musik pop dengan maksimal. Pada Juli silam, Billboard memberitakan seorang wanita ditahan aparat karena ketahuan melompat ke atas panggung dan berusaha memeluk Majid Al Mohandis, penyanyi kelahiran Iraq yang sedang tampil di barat kota Taif. Perempuan yang identitasnya disembunyikan itu, tulis Billboard, berpotensi dihukum penjara dua tahun dan didenda 100,000 riyal.
Diwartakan The New York Times, beberapa bulan sebelum insiden tersebut, menjelang konser penyanyi Mesir Tamer Hosny, muncul aturan yang melarang penonton dan penampil menari maupun bergoyang. Peraturan itu dikeluarkan oleh otoritas Kerajaan Saudi untuk urusan hiburan, dengan dalih bahwa Tamer dikenal sebagai penyanyi yang menggelorakan dorongan seksual lewat lirik-liriknya.
Kendati mulai punya nama di Saudi, akan tetapi para penyanyi ini justru berkembang di luar negeri. Tarabzouni, contohnya, memilih hengkang dari Saudi untuk meniti karier di Los Angeles. Bagi Tarabzouni, Saudi tidak menyediakan kesempatan untuk jadi penyanyi.
"Ketika kamu memutuskan untuk jadi penyanyi, kamu tidak bisa melakukannya di Saudi," ungkapnya seperti dilansir LA Weekly. "Bermimpi jadi penyanyi [di Saudi] tidaklah mudah."
Pada akhirnya, konservatisme tetap menghantui reformasi sosial ala Pangeran Salman. Tak hanya dalam urusan musik semata, tapi juga yang lainnya seperti pemenuhan hak dan kesetaraan perempuan serta upaya-upaya lain yang dilakukan demi memenuhi mimpi menjadikan Saudi negara Islam moderat.
Setidaknya Aseel Omran, yang tampil dengan busana sekuler dan lagu yang mendunia (atau meng-Asia), telah memberi sinyal soal kuatnya dorongan reformasi di kalangan muda Saudi. Dan sinyal itu terdengar sampai Indonesia, yang kebetulan tengah melaju cepat ke arah konservatisme.
Editor: Windu Jusuf