tirto.id - Amerika Serikat mendukung melepas paten vaksin COVID-19 sehingga negara lain bisa memproduksinya jika mampu. Kebijakan ini membuka peluang bagi negara berpendapatan kecil dan menengah untuk membuat vaksin sendiri, sebuah kesempatan yang semestinya juga tak dilewatkan Indonesia.
"Pemerintah sangat percaya dengan perlindungan kekayaan intelektual, tetapi demi kontribusi untuk mengakhiri pandemi ini, maka kami mendukung pengabaian perlindungan hak paten untuk vaksin COVID-19," kata Perwakilan Dagang AS, Katherine Tai, dalam keterangan tertulis, Rabu (5/5/2021) waktu Indonesia.
Tai mengatakan sikap itu diambil setelah Amerika Serikat berhasil mengamankan pasokan vaksin untuk negaranya sendiri. Setelahnya mereka akan bernegosiasi dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk merealisasikan wacana.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyambut baik sikap tersebut. Ia menyebut keputusan itu monumental dan Amerika Serikat memberikan contoh dalam menghadapi masalah kesehatan global.
"Dukungan Gedung Putih untuk pengabaian sementara atas hak paten vaksin COVID-19 menunjukkan kebijaksanaan dan kepemimpinan moral dari Amerika Serikat dalam mendukung kesetaraan vaksin dan kerja untuk mengakhiri pandemi ini," kata Tedros, Kamis (6/5/2021) waktu Indonesia.
Pemerintah Indonesia pun menyambut baik sikap itu. Juru Bicara Vaksinasi Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan dukungan ini berpotensi membuka akses lebih luas bagi produksi vaksin. Meskipun belum resmi diputuskan--setidaknya saat naskah ini ditulis, Sabtu 8 Mei--pemerintah menurutnya siap menyambut pengabaian vaksin itu dengan meningkatkan kapasitas produksi.
"Kita harus siap. Biofarma sendiri merupakan BUMN yang memang telah lama menjadi produsen vaksin," kata Nadia kepada reporter Tirto, Jumat (7/5/2021).
Proposal untuk pengabaian paten vaksin COVID-19 pertama kali diajukan oleh Afrika Selatan dan India. Mereka mengajukan itu sebab menyadari bahwa perusahaan farmasi barat dianggap menjadi dalang kelangkaan vaksin dunia saat ini karena hanya memberikan izin produksi kepada sejumlah kecil negara, padahal banyak yang berpenghasilan kecil dan menengah juga mampu memproduksi vaksin.
Kedua negara itu juga berpendapat pengabaian paten bisa menekan harga vaksin jadi lebih terjangkau. Selain itu, nasionalisme vaksin juga dianggap akan membuat pandemi sulit diakhiri mengingat virus tidak mengenal batas geografis.
Saat itu proposal ditolak oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris. Namun, kini, seiring perubahan sikap Amerika Serikat, WTO menantikan proposal baru soal pengangkatan paten vaksin COVID-19, dan Uni Eropa pun menyatakan siap kembali bernegosiasi.
Kesempatan Tak Boleh Dilewatkan
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono mengatakan pelepasan paten adalah kesempatan bagi Indonesia mencapai kemandirian vaksin. Ia mencontohkan India yang sejak awal menjalin kerja sama dengan produsen vaksin asal Inggris, AstraZeneca, sehingga bisa memproduksi vaksin sendiri.
"Dari dulu saya bilang, Indonesia bisa jadi pabrik vaksin. Kalau dari dulu Indonesia menyiapkan sebagai industri vaksin, maka teknologi vaksin apa pun dipelajari," kata Pandu kepada reporter Tirto, Jumat.
Ia mengakui pemerintah memang telah mengamankan stok vaksin lebih dari 300 juta dosis, tetapi segala kemungkinan masih bisa terjadi. Ia mencontohkan India yang tiba-tiba mengembargo ekspor vaksin untuk kebutuhan negaranya sendiri, padahal mereka telah terikat komitmen dengan Covax untuk menyediakan vaksin AstraZeneca bagi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun mengakui embargo membuat pasokan vaksin ke Indonesia terganggu dan proses vaksinasi terhambat.
Menurut Pandu, kejadian serupa bisa saja terjadi terhadap Sinovac yang merupakan penyuplai utama vaksin COVID-19 ke Indonesia, dan Indonesia tak bisa melakukan apa-apa. Selain itu, vaksin Merah Putih pun masih belum bisa diharapkan dalam waktu dekat. Kendati diproyeksikan, vaksin Merah Putih bisa digunakan pada awal 2022, nyatanya saat ini vaksin tersebut belum masuk fase uji klinis.
"Dalam jangka panjang oke, tapi untuk mengatasi pandemi itu harus realistis," kata Pandu.
Sosiolog Kebencanaan dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura Sulfikar Amir mengatakan transfer teknologi pembuatan memang tidak bisa dilakukan dalam waktu cepat dan membutuhkan investasi besar. Namun, menurutnya, penting bagi Indonesia untuk menguasai berbagai teknologi vaksin khususnya teknologi messenger RNA (mRNA) yang digunakan Moderna dan Pfizer.
Alasan pertama, efikasi vaksin dengan teknologi mRNA terbukti lebih tinggi dibanding vaksin lain. Selain itu, Sulfikar mengatakan vaksin mRNA menggunakan studi biologi sintetis, yakni bidang studi untuk merekayasa sistem biologis dan organisme hidup untuk tujuan meningkatkan aplikasi pada industri atau penelitian biologi. Bidang studi ini juga bisa diterapkan untuk industri pangan, energi, dan riset lingkungan.
"Jadi kalau pemerintah sekarang cukup cerdas melihat peluang ini, maka kesempatan ini harusnya diambil," kata Sulfikar kepada reporter Tirto, Jumat.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino