Menuju konten utama

Artis Terjun di Pilkada, Modal Kualitas atau Hanya Popularitas?

Semua warga berhak ikut pilkada, termasuk para artis. Tapi jika mereka hanya menjadi pendongkrak suara tanpa kaderisasi, maka itu bentuk kemalasan parpol.

Artis Terjun di Pilkada, Modal Kualitas atau Hanya Popularitas?
Pengendara motor melintas di samping pohon yang dipasangi alat peraga kampanye berupa poster pasangan kontestan pilkada di Desa Megawon, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (12//2018). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho

tirto.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat jumlah pasangan yang mendaftar mengikuti Pilkada 2024 mencapai 1.479 pasangan calon. Jumlah tersebut terdiri dari pencalonan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk gubernur dan wakil gubernur: 102 pasangan calon, bupati dan wakil pupati: 1.121 pasangan calon, dan wali kota dan wakil wali kota: 274 Pasangan Calon.

Dari total tersebut, ada sejumlah nama beken atau figur publik yang mencoba bertarung di pilkada tahun ini. Mereka maju setelah mendapat restu dari partai politik masing-masing. Di Pilgub Jakarta, misalnya, ada aktor senior, Rano Karno, yang maju menjadi calon wakil gubernur berpasangan dengan Pramono Anung. Pasangan ini diusung oleh PDIP.

Bergeser ke Jawa Barat, ada dua artis yang ikut berlaga di Pilgub. Pertama, penyanyi dangdut, Gita KDI, yang maju sebagai calon wakil gubernur mendampingi Acep Adang Ruhiat. Keduanya diusung oleh PKB. Kemudian Ronal Surapradja, presenter sekaligus eks pemain Extravaganza yang maju menjadi Calon Wakil gubernur Jawa Barat mendampingi Jeje Wiradinata. Pasangan ini diusung oleh PDIP

Di Kabupaten Bandung Barat juga terjadi perang artis. Ada Jeje Govinda, Hengky Kurniawan, dan Gilang Dirga yang sama-sama maju di pemilihan Calon Bupati Bandung Barat. Jeje yang merupakan pemain drum dari band Govinda maju sebagai Calon Bupati Bandung Barat berpasangan dengan Asep Ismail.

Sementara Hengky Kurniawan yang merupakan petahana kembali mencalonkan diri sebagai Calon Bupati Bandung Barat. Pada Pilkada kali ini ia berpasangan dengan Ade Sudrajat. Hengki maju diusung PDIP, Nasdem, Partai Buruh, dan Perindo. Sedangkan Gilang Dirga memutuskan maju sebagai Calon Wakil Bupati Bandung Barat mendampingi Didik Agus. Gilang maju diusung Partai Demokrat dan PKS.

Di luar Kabupaten Bandung Barat, ada juga nama Sahrul Gunawan yang maju sebagai Calon Bupati Bandung. Ia maju bersama Gun Gun Gunawan dan diusung oleh enam partai, yaitu Golkar, PKS, PPP, Hanura, Partai Ummat, dan Partai Garuda.

Lalu ada nama-nama lain seperti Vicky Prasetyo dan Kris Dayanti. Vicky Prasetyo maju sebagai Calon Bupati Pemalang berpasangan dengan Mochamad Suwendi yang diusung oleh PKB. Sementara Kris Dayanti maju sebagau Calon Wali kota Batu berpasangan dengan dengan Kresna Dewanata Phrosakh.

Keterlibatan para artis yang terjun mengikuti pilkada dinilai sebagai bentuk kemalasan partai politik (parpol). Parpol tidak dapat investasi jangka panjang untuk menempa kadernya, namun memilih jalur cepat dengan mengusung sosok yang sudah populer dengan harapan menarik suara pemilih.

“Ini buah dari fenomena yang disebut dengan 'politik selebritas', yang mana popularitas disamakan dengan elektabilitas dan kualitas. Kalau kita bicara politik pemenangan, mengusung artis adalah strategi tumpul yang anehnya terus diulangi,” ujar Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, kepada Tirto, Jumat (6/9/2024).

Musfi mengatakan, dalam tangga political branding, popularitas hanya tangga pertama. Setelah populer atau dikenal, kandidat harus membuat dirinya diterima oleh masyarakat, baru kemudian ke tangga terakhir, yakni membuat masyarakat mencoblos di kertas suara.

Karena menurut Musfi, yang paling menentukan pilihan masyarakat itu adalah figur si kandidat. Dia mencontohkan kasus Anies Baswedan yang tidak sekadar populer, tapi mampu menciptakan diferensiasi dengan politikus lainnya. Menurutnya, Anies berani tampil sebagai sosok yang mengusung politik gagasan.

“Kalau bicara kasus, padahal ada banyak contoh kegagalan artis ketika terjun di pilkada. Karena itu tadi, popularitas hanya tangga pertama. Setelah itu si kandidat harus menunjukkan diferensiasi dan kekuatan figurnya,” ujarnya.

Paslon Acep Adang Ruhiyat-Gitalis Dwi

pasangan Acep Adang Ruhiyat dan Gitalis Dwi Natarina sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat 2024 di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat, Kota Bandung, pada Kamis (29/8/2024). tirto.id/Dini Putri Rahmayanti

Popularitas Bukan Jaminan Menang Pilkada

Pengajar hukum tata negara sekaligus pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, mengatakan artis tidak jadi jaminan bisa menang di pilkada. Sebab pilkada diikuti calon yang jumlahnya sedikit dan faktor figur lebih dominan menentukan keterpilihan. Alias popularitas saja, kata dia, tidak cukup.

“Terbukti, banyak juga artis yang kalah pemilu legislatif dan pilkada dalam pemilihan sebelumnya,” ujarnya kepada Tirto, Jumat.

Titi menuturkan, pada dasarnya artis sama berhaknya dengan profesi lain untuk terjun ke politik dan mengikuti pemilihan. Sama seperti aktivis, dosen, dokter, ataupun beragam profesi lainnya.

Namun, yang jadi stigma dan pandangan minor di tengah masyarakat adalah artis lebih banyak menjadi alat penggaet suara dan pendongkrak popularitas, ketimbang itikad baiknya untuk mengabdi bagi pelayanan publik dan pembangunan daerah.

“Ini terbukti saat menjabat malah lebih sibuk menekuni dua keartisannya ketimbang bekerja sesuai tupoksinya,” ujar dia.

Mestinya, kata Titi, artis kalau ingin berpolitik mengikuti proses kaderisasi dulu bersama partai atau betul-betul mempersiapkan diri. Baik secara mental maupun kapasitas personal. Ini penting agar bisa memiliki penguasaan yang mumpuni soal persoalan, tantangan, dan dinamika yang dihadapi daerah.

“Dengan demikian, saat memimpin nanti, si artis betul-betul menjadi pemimpin yang bisa memajukan daerah dan optimal dalam mencapai tujuan pembangunan yang telah diprogramkan,” pungkasnya.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, melihat bahwa popularitas memang tidak menjamin kemampuan dalam memimpin. Karena popularitas adalah modal komunikasi, tapi tidak berarti calon memiliki kompetensi atau pemahaman yang mendalam terkait kebijakan publik, tata kelola pemerintahan, atau persoalan sosial-ekonomi yang lebih kompleks.

“Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pemilih hanya terpengaruh oleh citra luar calon, bukan oleh kapasitasnya untuk memimpin,” ujarnya kepada Tirto, Jumat.

Annisa menekankan, jika popularitas menjadi modal utama tanpa dibarengi dengan kapabilitas manajerial, pengetahuan tentang tata kelola yang baik, serta kemampuan mengatasi persoalan daerah, maka ada risiko mereka tidak akan mampu memenuhi harapan rakyat dalam mengemban amanah.

Dalam beberapa kasus, kata Annisa, selebritas yang terpilih tanpa keahlian politik atau administratif yang cukup sering kali bergantung pada tim di sekitarnya untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Ini bisa mengarah pada pemerintahan yang tidak efektif atau bahkan koruptif, terutama jika tim yang mendukungnya juga tidak kompeten.

“Biasanya artis dijadikan ‘ban serep’ untuk mengisi posisi calon wakil kepala daerah, sementara untuk posisi calon kepala daerah diberikan kepada politikus,” ujar dia.

Pramono-Rano temui Fauzi Bowo

Pasangan bakal calon Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung (tengah) dan bakal calon Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno (kanan) berfoto bersama dengan mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo (kiri) di Museum MH. Thamrin, Jakarta, Selasa (3/9/2024). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/Spt.

Annisa membaca tugas artis di gelanggang pilkada hanya difungsikan sebagai pendongkrak suara. Risikonya, apabila artis dengan nirkapasitas ini yang menjadi wakil kepala daerah harus menggantikan kepala daerah ketika telah terpilih dengan alasan kepala daerah OTT, sakit, atau alasan lainnya.

“Di sana ada pertaruhan nasib suatu daerah yang dipimpin oleh orang yang tidak memiliki kapasitas,” katanya.

Menurut dia, masyarakat sekarang sudah kritis untuk memilih calon pemimpinnya bukan hanya sekadar dari sisi popularitas, namun juga dari sisi kapasitas dan pengalaman. Para artis diperbolehkan untuk mencalonkan diri, namun jangan sampai menyampaikan gagasan yang kosong.

“Harus betul-betul mempelajari kebutuhan masyarakat, bagaimana tawaran program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan bagaimana cara implementasi program yang disusun,” pungkasnya.

Ujian Bagi Para Artis

Manajer Riset dan Program dari The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono, melihat fenomena banyaknya para artis yang maju dalam pilkada sebenarnya bukan hal baru. Fenomena ini sudah terjadi sejak 2005 lalu.

“Awalnya kan Pilkada 2005, bahkan untuk pileg juga ikut serta,” katanya kepada Tirto, Jumat.

Tentu dengan ikut sertanya para artis di pilkada, kata Afrianto, menjadi ujian tersendiri bagi mereka. Artinya di tengah popularitas yang tinggi, para artis juga harus bisa menjawab keraguan publik untuk menunjukkan kapasitasnya dalam memimpin.

“Tapi kan yang menjadi tantangan adalah bagaimana sebenarnya kapasitas dan kapabilitas dari artis tersebut,” kata dia.

Pada akhirnya, lanjut Arfianto, ujian sesungguhnya para artis ini adalah ketika melakukan kampanye mendatang. Dalam hal ini, masyarakat, kelompok sipil, dan peran media massa bisa ikut mengawal dan menanyakan pandangan-pandangan langsung terhadap mereka.

“Bahasanya, diuji bagaimana mereka bisa nantinya untuk memimpin daerah tersebut. Ujiannya itu kan ada di kampanye bagaimana nantinya misalkan ada visi-misi gitu ya, itu juga harus disimak,” jelasnya.

Selain itu, masyarakat juga bisa melihat kapasitas para artis dalam debat publik yang diselenggarakan KPU. Ini menjadi kesempatan bagi para kandidat pasangan calon terutama artis-artis ini untuk diuji bagaimana kapasitas mereka dalam melihat suatu masalah dalam suatu daerah.

“Nah, ini sangat penting untuk bagaimana nantinya masyarakat bisa menilai kapasitas sang artis tersebut,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2024 atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Politik
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi