tirto.id - Ghibah adalah membicarakan kejelekan orang lain ketika sosok yang dibicarakan itu tidak sedang bersama orang-orang yang menggunjingnya. Islam melarang keras ghibah dan menggolongkannya sebagai dosa besar. Lantas, apa pengertian dan hukum ghibah? Bagaimana contohnya dalam kehidupan sehari-hari?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gibah artinya kegiatan membicarakan keburukan orang lain. Bahan gunjingan tersebut mestilah sesuai dengan cela orang yang digunjingkan, jika dibuat-buat, maka bukan gibah lagi namanya, melainkan fitnah dan kebohongan.
Pengertian dan Hukum Ghibah dalam Islam
Dalam bahasa Arab, gibah berasal dari kata غا بَ (ghaaba) atau ألغيبَة (al-ghaibah) yang artinya sesuatu yang terhalang dari pandangan. Dari sisi bahasa, gibah mengisyaratkan ketidakhadiran orang yang dibicarakan.
Definisi gibah adalah membicarakan kejelekan dan aib seseorang, sementara sosok bersangkutan tidak berada di tempat tersebut. Pembicaraan yang dilakukan berkaitan dengan aib yang tak disukai orang tersebut, mulai dari kekurangan fisik, keturunan, akhlak, tingkah laku, hingga urusan agama atau duniawinya.
Pengertian gibah di atas disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah RA, ia berkata:
“Tahukah kalian apa itu gibah?' Para sahabat menjawab: 'Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu'. Kemudian, beliau bersabda: 'Gibah adalah engkau membicarakan tentang saudaramu sesuatu yang dia benci'.
Ada yang bertanya: 'Wahai Rasulullah, bagaimana kalau yang kami katakan itu betul-betul ada pada dirinya?' Beliau menjawab: 'Jika yang kalian katakan itu betul, berarti kalian telah berbuat ghibah. Dan jika apa yang kalian katakan tidak betul, berarti kalian telah memfitnahnya [mengucapkan suatu kedustaan],” (H.R. Muslim).
Hukum melakukan gibah adalah haram dan terlarang dalam Islam. Hal itu tergambar dalam firman Allah SWT dalam surah Al-Hujurat ayat 11-12 sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.
Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim,” (QS. Al-Hujurat [49] : 11).
Pada ayat selanjutnya, Allah melanjutkan:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik ... " (QS. Al-Hujurat [49]: 12).
Pada ayat di atas, Allah SWT mengibaratkan orang yang bergibah seakan-akan memakan bangkai saudaranya.
Metafora bangkai menunjukkan bahwa cela yang dibicarakan itu adalah aib yang seharusnya ditutupi, bukan dibincangkan dengan orang lain.
Sebagaimana bangkai, layaknya harus segera dikubur, demikian juga cela dan kekurangan orang lain, semestinya harus disembunyikan.
Contoh Berghibah dalam Kehidupan Sehari-hari
Terdapat banyak contoh gibah dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ibu-ibu menggunjing selama acara arisan tentang tetangga-tetangganya.
Di kasus lain, bapak-bapak membicarakan keburukan rekan atau koleganya sewaktu berjaga di pos ronda.
Gibah juga dapat terjadi saat siswa membicarakan keburukan guru atau dosen di ruang kelas ketika sosok yang digunjingkan tidak berada di sana.
Selain itu, di masa sekarang, gibah dapat terjadi dalam pelbagai bentuk, misalnya melalui tayangan Infotainment di televisi, sampai dengan akun gosip di media sosial. Karena itulah, baik MUI dan NU mengharamkan Infotainment karena dianggap bagian dari gibah.
Editor: Iswara N Raditya