tirto.id - Dunia sastra mengenang nama Jean Arthur Rimbaud sebagai bocah ajaib dengan puisi luar biasa meski masa produktifnya tidak lama.
“Rimbaud adalah seorang inovator hebat dalam puisi Perancis,” tulis Harold Bloom dalam Poets and Poems (2009: 227).
Sebagian besar usianya tampaknya lebih banyak dihabiskan untuk petualangan, bukan puisi. Usai putus hubungan dengan Paul Verlaine setelah sempat menjalani kehidupan miskin bareng di London, Rimbaud memutuskan untuk berkelana.
Tanpa banyak uang, satu-satunya jalan bertualang bagi pemuda Eropa kere untuk bisa mencapai tempat yang jauh adalah dengan menjadi serdadu. Perancis, tanah air Rimbaud, sebetulnya punya Legiun Asing Perancis, namun bukan di situ Rimbaud memilih. Legiun Asing hanya bisa membawanya ke sekitar Afrika, yang tidak sejauh Asia, tanah yang menarik hatinya. Dan Rimbaud nampaknya tahu bahwa Belanda punya jajahan jauh di Timur, Hindia.
Maka Rimbaud pun pergi ke Haderwijk yang dikenal sebagai “Got Eropa” dan mendaftarkan diri sebagai calon serdadu kerajaan Hindia Belanda, Koninlijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL), pada 18 Mei 1876, dan diterima. Rimbaud pun dapat uang panjar “jual kepala” yang lumayan besar, 300 gulden.
Seperti ditulis Bernard Dorleans, dalam buku Orang Indonesia & orang Perancis, dari abad XVI sampai dengan abad XX (2006: 474), pada 10 Juni 1876 Rimbaud bersama calon serdadu lain dikapalkan dengan kapal uap Prins van Oranje. Sudah pasti menanti masa keberangkatan itu, Rimbaud mengamburkan uangnya untuk minum-minum minuman keras bersama kenalan-kenalannya.
“Rimbaud ditempatkan di subsistem di Harderwijk, yaitu, ditempatkan dan diberi makan di barak,” sebut Ernst Verbeek dalam Arthur Rimbaud: een pathografie (1957: 118).
Rimbaud, bersama dengan calon serdadu lain tentu dalam pengawasan militer Belanda karena uang panjar sudah mereka terima. Militer Belanda menjaga mereka dengan senapan siap tembak dan bayonet sudah terpasang. Tidak sedikit ada percobaan kabur dari calon serdadu-serdadu bule itu selama di Negeri Belanda dan di kapal. Ketika di Eropa, para calon serdadu diberi seragam yang menghangatkan tubuh.
Selama pelayaran di Kapal Prins van Oranje, para calon serdadu itu dapat jatah makanan ringan dan minuman. Soal tidur, mereka diberi tempat tidur gantung. Mereka hanya perlu bikin kegiatan melawan bosan.
Ketika kapal mencapai daerah panas, seragam lebih tipis pun diberikan kepada para serdadu. Kapal mereka mencapai Padang pada 19 Juli 1876. Beberapa hari kemudian mereka diturunkan di Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia. Dari Tanjung Priok, mereka naik trem yang ditarik kuda, untuk menuju kamp militer yang dulu disebut Meester Cornelis (kini: Jatinegara).
Sehari di Batavia, calon serdadu itu lalu diperiksa dan dipilih siapa saja yang masuk zeni, musik, senjata berat, pasukan jalan kaki, atau bagian lain. Pasukan jalan kaki (infanteri) tentu jadi porsi terbesar. Akhir bulan Juli 1876, Rimbaud dan lainnya diberangkatkan ke Semarang dengan kapal Minister Fransen van de Putte. Dari Semarang mereka naik kereta api ke Kedung Jati. Setelahnya Rimbaud dan kawan-kawan dibawa ke Salatiga. Di sana, dia turun di Stasiun Tuntang, yang masih berdiri hingga kini. Rimbaud lantas bertugas di Benteng Willem I yang terletak di sekitar Salatiga-Ambarawa.
Sebenarnya, dengan “jual kepala” pada kompeni (sebutan orang-orang tua di Jawa untuk KNIL), Rimbaud harus siap mati demi Kerajaan Belanda. Memang, risiko mati Rimbaud tentu tidak lebih besar dari musuh-musuh KNIL yang kebanyakan cuma bersenjata golok saja. Rimbaud hanya perlu arahkan senapannya saja ke musuh.
Rimbaud belum sempat dikirim lebih jauh dari Ambarawa. Sejak awal Agustus, dia tampaknya hanya latihan saja. Tentara normal di masa damai memang hanya bisa latihan saja, dan tidak jauh-jauh dari baraknya. Darah petualangnya membuat Rimbaud sudah mulai bosan di tangsi, bahkan sejak bulan pertamanya di Ambarawa.
Pilihannya adalah kabur dari kesatuannya. Ini bukannya tanpa risiko. Jika tertangkap akan ada hukuman kurungan untuk dirinya, bahkan bisa saja dia dihukum tembak. Meski risikonya besar, Rimbaud akhirnya menempuh jalan ini, menuju dunia bebas.
Rimbaud tak muncul dalam apel. Tanggal 30 Agustus 1876, dia dianggap hilang. Diperkirakan, setelah diam-diam kabur dari tangsinya, Rimbaud berjalan kaki dari Salatiga ke Semarang, yang berjarak sekitar 48 km. Rimbaud, tidak bisa bahasa Belanda, apalagi bahasa Jawa atau Melayu. Sulit berinteraksi dengan orang-orang Indonesia asli di dalam pelariannya. Tampil sebagai orang pendiam dan terus berjalan lebih baik baginya untuk menghindari masuknya laporan seorang bule berkeliaran tanpa tujuan.
Tak ada catatan sejarah yang mengisahkan detail bagaimana bisa Rimbaud kembali ke Eropa. Satu yang pasti, demi menghindari aparat Belanda mau tidak mau dia harus naik kapal non-Belanda. Namun, setidaknya, jelang tahun baru 1877, Rimbaud sudah berada di rumah, Charleville-Mezieres.
“Apapun alasan desersinya jelas Arthur Rimbaud tidak memiliki temperamen yang cocok untuk kehidupan militer,” tulis Dorleans (2006:478).
Lagipula, dengan menginjak Pulau Jawa, Rimbaud sudah cukup memenuhi hasrat bertualangnya. Satu setengah bulan di Jawa tampaknya sudah cukup baginya. Ketika sampai di kampung halamannya pun, Rimbaud enggan diam. Kelak, dia dicatat juga melanglang ke Siprus, Yaman, hingga Ethiopia. Ia meninggal pada 10 November 1891, tepat hari ini 128 tahun lalu.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 29 Maret 2019 dengan judul "Rimbaud: Penyair-Petualang yang Mampir dan Jadi Desertir di Jawa". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Nuran Wibisono & Ivan Aulia Ahsan