Menuju konten utama

Arca Buddha Dipangkara, Artefak Istimewa yang Celaka di Paris

Arca Buddha Dipangkara kemungkinan hasil kebudayaan Amarawati dari India. Rusak saat dipamerkan di Paris.

Arca Buddha Dipangkara, Artefak Istimewa yang Celaka di Paris
Header Mozaik Arca Buddha Dipangkara. tirto.id/Mojo

tirto.id - Masa Klasik atau Hindu-Buddha di Indonesia meninggalkan banyak tinggalan artefak yang kaya, baik makna juga seninya. Tak hanya berupa bangunan candi, sisa-sisa situs pemukiman, atau prasasti, kita hari ini juga diwarisi ribuan arca kuno.

Di antara ribuan itu, beberapa arca punya status istimewa. Salah satunya adalah arca yang dikenal sebagai arca Buddha Dipangkara.

Keistimewaan yang segera terlihat dari arca ini adalah lokasi penemuannya, Sulawesi. Jika dibandingkan dengan Jawa, Sumatra, dan Kalimantan, Sulawesi jelas kalah dari segi kuantitas temuan artefak dari era Hindu-Buddha. Pun ia adalah satu-satunya arca Buddha yang terbuat dari perunggu yang ditemukan di Indonesia.

Tak habis itu, arca Buddha Dipangkara merupakan arca Buddha tertua di Indonesia—atau setidaknya yang terdata oleh Museum Nasional. Para arkeolog memperkirakan, arca ini paling tidak berasal dari abad ke-2 Masehi.

"Patung Buddha Dipangkara berbahan baku perunggu ini merupakan koleksi tertua di antara 141 ribu koleksi patung di Museum Nasional," kata Edukator Museum Nasional Asep Firman Yahdiana, seperti dikutip laman Kompas.com.

Arca ini juga dikenal sebagai arca Buddha Sempaga, sesuai dengan nama lokasi kecamatan tempat ia ditemukan. Jessy Oey-Blom dalam artikel “Arca Buddha Perunggu dari Sulawesi” yang terbit dalam jurnal Amerta (Vol. 1, 1985) menyebut arca Buddha Dipangkara itu ditemukan secara tak sengaja pada 1921.

“Arca itu didapatkan pada kaki sebuah bukit di tebing kanan Sungai Karama dekat Sikendeng pada waktu orang membuat jalan,” tulis Oey-Blom.

Arca itu sekarang tersimpan di Museum Nasional. Namun, arca yang sekarang—tingginya 58 cm—merupakan fragmen yang tersisa dari sebuah kecelakaan fatal di masa lalu.

Semula, arca Buddha Dipangkara punya tinggi 75 cm. Ia menggambarkan sosok Buddha berjubah dalam posisi berdiri. Kedua tangannya sudah tidak ada ketika ditemukan, tapi bukan karena patah. Menurut Oey-Blom, tangan yang hilang itu mungkin merupakan fragmen tersendiri.

Meski begitu, para arkeolog menaksir tangan kanannya menampakkan gestur yang lazim dikenal dengan sebutan abhaya mudra—menghalau sumber ketakutan.

“Jenis arca itu ialah yang sering dinamakan Dipangkara, pelindung para pelaut,” tulis Oey-Blom.

Misteri Asal-usul

Penemuan arca itu lantas memunculkan hipotesis adanya bangunan bercorak Buddha di sekitar lokasi itu. Maka penggalian lanjutan pun dilakukan. Namun, tidak ada temuan arca lain atau temuan benda yang berkaitan dengan tinggalan agama Buddha. Para penggali justru menemukan hal lain.

“Sayangnya, (dari hasil penggalian) tidak ditemukan barang antik tinggalan masa Hindu-Buddha, tapi beberapa batu dan pecahan tembikar yang berasal dari zaman Neolitikum Akhir,” tulis F.D.K. Bosch dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land, en Volkenkunde (1933, hlm. 495-496).

Artefak-artefak itu kebanyakan adalah pecahan tembikar dan alat-alat batu. Menurut Bosch, temuan-temuan macam itu juga terdapat di situs Kalumpang yang lokasinya tak jauh dari Sempaga.

Temuan tersebut membuktikan bahwa wilayah tersebut pernah menjadi suatu daerah hunian pada zaman yang lebih tua. Ia tetap bernilai bagi ilmu pengetahuan, tapi bukan itu yang ingin mereka dapatkan. Karenanya, asal-usul arca Buddha Dipangkara itu sulit dipastikan hingga sekarang.

Infografik Mozaik Arca Buddha Dipangkara

Infografik Mozaik Arca Buddha Dipangkara. tirto.id/Mojo

Meski begitu, satu taksiran tetap bisa ditarik dari langgam seni dan jenis arca itu. Dari ikonografi yang kasat mata, arca ini bukan buatan orang Nusantara pada zamannya, melainkan hasil kebudayaan India Selatan.

“Arca Sempaga ini berasal dari seni Amarawati yang rupanya dibuat di sana (India), kemudian dibawa ke Indonesia. Mungkin, sebagai barang dagangan atau sebagai barang persembahan untuk bangunan suci agama Buddha,” demikian menurut para penyusun Sejarah Nasional Indonesia (Edisi Pemutakhiran) Jilid II:Zaman Kuno (2010, hlm. 35).

Sementara itu dalam buku Kesenian Indonesia Purba: Zaman Djawa Tengah dan Djawa Timur (1972), disebutkan bahwa arca Buddha Dipangkara lazim dijadikan azimat oleh para pelaut. Mereka biasanya meletakkan arca itu di haluan kapalnya ketika berlayar.

Oey-Blom menengarai kegiatan maritimlah yang memungkinkan arca Buddha Dipangkara dari India itu sampai ke Sulawesi. Lokasi Sempaga sendiri memang berada di pinggir Selat Sulawesi yang menjadi salah satu pintu masuk para pedagang untuk menuju ke wilayah Indonesia bagian timur.

“Mungkin terbawa oleh sebuah kapal yang tersesat, kemudian entah mendapat kecelakaan entah bagaimana, sampai ke tempat itu,” jelas Oey-Blom.

Terbakar di Paris

Tak lama setelah ditemukan, arca Buddha Dipangkara dibawa ke Makassar dan kemudian disimpan di museum milik Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang sekarang menjadi Museum Nasional Indonesia.

Pada 1931, arca ini dibawa ke Paris untuk dipamerkan dalam Exposition Coloniale International. Selain arca itu, otoritas Hindia Belanda juga membawa segala macam benda-benda hasil budaya Nusantara. Di antaranya arca batu tinggalan era Singasari dan Majapahit, patung perunggu dari Nganjuk dan Klaten, juga patung emas dari Wonosobo dan Demak.

Pameran kolonial skala global itu dibuka pada 6 Mei 1931 dan berlangsung hingga November 1931. Di sini pulalah, patung istimewa ini mengalami kerusakan dan berubah bentuknya sebagaimana yang kita lihat sekarang.

Pada 28 Juni 1931, anjungan Hindia Belanda terbakar tanpa diketahui apa penyebabnya. Si jago merah melalap bangunan anjungan dan tentu saja merusak banyak koleksi yang dipamerkan, termasuk Arca Buddha Dipangkara.

Api membuat Arca Buddha Dipangkara kehilangan bagian kakinya hingga sebatas paha. Kini, tingginya hanya tersisa 58 cm saja.

Koleksi-koleksi purbakala yang rusak kembali ke Hindia Belanda tiga bulan setelah kejadian dan arkeolog F.D.K. Bosch amat menyesalkan kejadian itu.

“Seseorang yang melihat kerusakan yang ditimbulkan akan menyadari bahwa ini merupakan sebuah kerugian dan koleksi purbakala yang telah rusak itu tidak mungkin tergantikan,” tulisnya dalam Tijdschrift voor Indische Taal Land en Volkenkunde (1931, hlm.663).

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Omar Mohtar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Omar Mohtar
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi