tirto.id - Suatu malam, Akbar Pradopo mengajak anak lelakinya untuk pergi ke sebuah kedai baru di kawasan Tegalboto, Jember. Kedai itu biasa saja, menyajikan aneka macam sate yang dimasak ala Tegal, Jawa Tengah. Tapi yang tak biasa, kata Akbar, adalah tehnya.
"Bedanya apa dengan teh yang biasa kita minum tiap pagi?"
"Banyak bedanya. Dari cara penyajian, hingga gula yang dipakai," balas Akbar.
Sampailah mereka di kedai sederhana itu. Sang ayah memesan dua porsi sate kambing, dua nasi putih, seporsi tempe mendoan ala-ala, dan dua teh poci. Tak lama kemudian, datanglah seorang pelayan yang membawa nampan. Di atasnya, ada satu poci berwarna cokelat, dan dua gelas yang terbuat dari tanah liat. Di sampingnya, ada beberapa bongkah gula batu.
Akbar kemudian memasukkan dua bongkah kecil ke dalam gelas, lalu menuanginya dengan teh. Sang anak takjub karena tehnya lebih gelap ketimbang yang biasa ia minum tiap pagi. Setelah mengaduk dan gula tampak larut, ia mencoba satu seruput. Ada rasa yang aneh di lidah dan dinding tenggorokan. Campuran sepat, sedikit pahit, dan legit dari gula batu.
"Itu namanya nasgitel. Panas, legi, kentel," kata Akbar.
Sang anak hanya manggut-manggut. Ia mencecap berkali-kali. Rasa itu tertinggal lama, kemudian menjelma jadi kenangan yang membuatnya selalu menyukai teh dari Jawa Tengah hingga sekarang. Teh yang meninggalkan rasa sepat nan berkesan.
Tegal memang salah satu daerah yang dikenal punya kultur ngeteh. Penulis Puthut EA pernah menceritakan kisah tentang Pendi, seorang kawan dari Tegal yang mengenalkan kultur minum teh dari poci. Pendi pula yang mengajari Puthut cara mengolah poci supaya wadah teh itu tidak berbau tanah liat.
Caranya begini: Pada pagi hari, jerang air hingga mendidih. Isilah poci dengan teh, lalu tuangi air mendidih. Tutup. Baru pada sore atau malam, teh dikeluarkan melalui leher. Dengan menggunakan tangan, seka sisa-sisa teh hingga bersih. Ulangi proses yang sama selama seminggu dengan membiarkan poci terbuka di malam hari supaya terkena embun. Di hari ketujuh, poci sudah bisa digunakan dan tak akan meninggalkan aroma tanah.
Kultur Minum Teh di Indonesia
Sejatinya, kultur meminum teh di Indonesia bisa dibilang bukan hal yang baru, walau tak setua kultur teh di Cina. Minuman ini memang dianggap berasal dari Cina. Shennong, dewa pertanian Cina, dianggap sebagai yang pertama kali meracik teh sebagai obat pada 2737 Sebelum Masehi. Baru ribuan tahun kemudian, tepatnya pada 1684, teh dari Jepang mulai ditanam di Jawa, walau gagal karena perbedaan iklim.
Pada 1824, teh ditanam juga di Buitenzorg, yang sekarang dikenal sebagai Kebun Raya Bogor. Kali ini bibit teh yang ditanam berasal dari Cina. Penanaman ini bisa berkembang dengan baik. Kemudian pada 1827 teh mulai ditanam di Limbangan, Garut, Jawa Barat. Karena sukses, perkebunan teh kemudian meluas hingga Cisurupan, Garut; hingga Wanayasa, Purwakarta.
Hingga sekarang, Jawa Barat masih menjadi provinsi dengan luas kebun teh terbesar di Indonesia dan penghasil teh terbesar pula. Menurut Indonesia Tea Board, pada 2015, luas area kebun teh di Jawa Barat adalah 93,6 ribu hektare. Kebun itu menghasilkan teh 104 ribu ton. Di tempat kedua ada Provinsi Jawa Tengah dengan luas kebun 9,6 ribu hektare dan produksi teh 13,5 ribu ton.
Dengan total produksi berkisar di angka 130 ribu ton, Indonesia menempati posisi 7 dalam daftar negara produsen teh terbesar di dunia. Namun secara konsumsi, orang Indonesia hanya minum sedikit teh. Pada 2014, konsumsi teh per kapita orang Indonesia hanya 0,32 kilogram per tahun. Rata-rata orang di dunia mengonsumsi 0,57 kilogram per kapita per tahun, terbanyak adalah orang Turki, yang mencapai 7,5 kilogram per kapita per tahun.
Memang, konsumsi teh di Indonesia tidak merata. Jika menengok peta lokasi perkebunan teh di Indonesia yang dirilis oleh Indonesia Tea Board, tampak kalau perkebunan teh di Indonesia dominan berada di kawasan Indonesia Barat dan Indonesia Tengah. Di Indonesia bagian timur, setelah Jawa Timur, nyaris tak ditemukan perkebunan teh. Masih dari sumber yang sama, hanya ada 11 provinsi di Indonesia yang menghasilkan teh. Itu sebabnya kenapa konsumsi teh masih rendah, salah satu penyebabnya karena tak meratanya perkebunan teh di Indonesia. Apalagi teh masih harus bersaing dengan minuman yang lebih populer: kopi.
Penulis Puthut EA punya idiom menarik terkait hal ini. Dalam bukunya, Para Bajingan yang Menyenangkan, Puthut menceritakan ulang kisah Bagor, seorang kawan penikmat teh, yang berkisah tentang teh di Indonesia. Menurutnya teh yang bening itu disebut sebagai teh Bali. Tempat itu dirujuk sebagai pengandaian: semakin ke timur Indonesia, teh makin tak kental. Di lidah penikmat teh nasgitel, teh macam begini adalah teh tak enak.
Menariknya, apa yang enak di lidah kita, terkadang tak cocok dengan standar enak di seluruh dunia. Bagi penikmat teh nasgitel, teh enak adalah yang punya rasa sedikit pahit dan sepat. Ternyata rasa sepat itu berasal dari zat bernama katekin yang memiliki khasiat antioksidan yang baik. Zat ini juga berpengaruh pada rasa: semakin tinggi katekin, semakin tinggi pula rasa pahit dan sepatnya. Teh di Indonesia memiliki kandungan katekin tertinggi di dunia, melampaui teh dari Jepang, Cina, atau Sri Lanka.
Sayangnya, menurut tea connoiseur Bambang Laresolo, rasa sepat ini kurang disukai oleh penikmat teh dunia. Teh dengan katekin yang tinggi mempunyai rasa sepat yang dominan dan warna seduhannya cokelat tua. Sejalan dengan citra teh nasgitel yang enak bukan? Dengan rasa sepat yang kuat itu, wajar kalau penikmat teh ini menambahkan banyak gula. Ini amat dihindari di kalangan penikmat teh karena dianggap bisa mengurangi rasa dan khasiat teh.
"Dari pengamatan sekilas, saya sementara menyimpulkan bahwa tingginya kadar katekin tidak memberikan kontribusi positif terhadap kualitas rasa dari teh," tulis Bambang dalam blognya.
Tapi tentu saja banyak penikmat teh di Indonesia yang tidak peduli pada katekin. Termasuk Akbar dan anak lelakinya, juga Puthut, Bagor, dan Pandi. Mereka suka teh nasgitel. Panas, legit, kentel. Rasa seduhan teh yang gelap, dan rasa sepat yang pekat, itu adalah definisi teh enak.
Teh dan Gaya Hidup Kelas Menengah
Di kota besar seperti Jakarta, teh mulai menjelma jadi gaya hidup. Bisa dibilang ia datang terlambat sebagai gaya hidup, kalah cepat dibandingkan dengan kopi yang sudah jadi gaya hidup sejak belasan tahun lalu.
Salah satu ciri teh mulai menjadi gaya hidup adalah: bermunculan kedai, kafe, restoran, yang khusus menyajikan teh. Biasanya mereka mengenalkan berbagai jenis dan merek teh. Mereka mulai mengenalkan teh sebagai produk pertanian yang kompleks dan punya kekayaan cita rasa. Tentu saja, harganya pun jadi meningkat. Mirip dengan third wave dalam dunia kopi.
Di Jakarta, ada beberapa tempat yang menyajikan teh premium. Tak hanya pemain lokal, ada pula perusahaan internasional yang turut menjajal pasar teh premium di Indonesia. Misalkan TWG, restoran teh dari Singapura yang sudah ada sejak 1837. Kedai ini sudah punya cabang di 15 negara seluruh dunia. Mereka punya sekitar 800 jenis teh. Bayangkan, 800! Mereka menjual teh dari berbagai kawasan. Mulai dari Himalaya, Darjeeling, Sikkim, Fujian, Jepang, hingga Laos. Harga tehnya beragam. Mulai Rp55 ribu hingga Rp400 ribu.
Selain TWG, ada nama-nama seperti Lady Alice Tea Room, Lewis & Carroll, Tea Addict Lounge, hingga Caswell's. Semua punya produk teh unggulan, dengan harga bervariasi.
Sama seperti selera yang berbeda, perkara menikmati teh juga bisa menempuh jalan yang berbeda pula. Bagi banyak orang kota besar, menikmati teh bisa jadi paripurna dengan jenis teh langka, disesap di ruangan berpendingin udara, dan ditingkahi obrolan terkait jenis dan kandungan zat dalam teh. Namun ada juga orang-orang yang lebih menikmati suasana minum teh yang sederhana, di bilik temaram dengan obrolan gayeng. Atau di depan rumah sembari bercengkerama dengan orang terkasih. Kalau sudah begitu, siapa yang peduli pada katekin atau kandungan gizi dalam teh?
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani