tirto.id - Perolehan suara Ganjar Pranowo-Mahfud MD hanya menyentuh angka 16,27 persen berdasarkan hasil hitung cepat Litbang Kompas per Kamis (15/2/2024) pukul 17.12 WIB. Apakah PDIP siap jadi oposisi jika capres yang mereka usung, Ganjar Pranowo, kalah Pilpres 2024?
Dari hasil quick count sementara Litbang Kompas, suara yang dikantongi Ganjar-Mahfud memang relatif kecil. Capres-cawapres nomor urut 3 itu tertinggal jauh dari Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang mendulang suara di atas 50 persen, sedangkan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar mencatatkan 25,22 persen suara.
Hasil quick count memang belum menunjukkan perolehan suara resmi masing-masing paslon. Raihan suara resmi hanya akan diumumkan oleh KPU selaku penyelenggara Pemilu 2024. Ini menimbulkan pertanyaan terkait ketersediaan PDIP sebagai oposisi jika Ganjar Pranowo kalah dalam kontestasi Pilpres 2024.
Apakah PDIP Siap Jadi Oposisi Jika Ganjar Kalah Pilpres 2024?
Pertanyaan terkait posisi PDI Perjuangan jika Ganjar Pranowo kalah di Pilpres 2024 telah dijawab oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPD PDIP, Hasto Kristiyanto. Hasto menyebut bahwa PDIP siap menjadi oposisi di luar pemerintahan dan DPR.
Menurut Hasto, check and balance diperlukan terhadap pemegang kekuasaan. Pasalnya, mereka bertanggung jawab atas segala kebijakan dan implementasinya. Karena itu, Hasto menyatakan bahwa PDIP bakal berjuang sebagai oposisi.
“Ketika PDI Perjuangan berada di luar pemerintahan tahun 2004 dan 2009, kami banyak diapresiasi karena peran serta meningkatkan kualitas demokrasi. Bahkan, tugas di luar pemerintahan, suatu tugas yang patriotik bagi pembelaan kepentingan rakyat itu sendiri,” kata Hasto kepada wartawan, Rabu (14/2/2024).
Dalam pandangan Hasto, periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah membuat kekuasaan menjadi terpusat. Hal ini berpotensi menimbulkan kemampuan untuk melakukan manipulasi.
Terlepas dari dinamika politik nasional, Hasto mengatakan bahwa partainya memiliki kewajiban untuk menyampaikan apa yang terjadi kepada rakyat. PDIP disebut akan berkomitmen untuk tetap berjuang bersama gerakan masyarakat sipil prodemokrasi.
Jika raihan suara Ganjar Pranowo-Mahfud MD di Pilpres 2024 menjadi yang terkecil dibanding 2 paslon lain, perolehan suara PDIP di tingkat Pileg (Pemilihan Legislatif) justru paling tinggi.
Merujuk pada quick count Litbang Kompas, suara PDIP sudah mencapai 16,29 persen. Catatan tersebut mengungguli partai besar lain, seperti Golkar (14,65%) dan Partai Gerindra (13,55%).
Dengan persentase suara PDIP saat ini di Pileg, partai berlambang banteng itu punya peluang besar untuk melebihi parliamentary threshold atau ambang batas perolehan suara partai politik untuk masuk ke parlemen.
Ambang batas dalam parliamentary threshold telah diatur di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Dalam pasal 414 UU tersebut, parpol setidaknya harus memenuhi ambang batas raihan suara sedikitnya 4% dari jumlah suara sah secara nasional.
Dengan raihan suara minimal 4 persen, parpol peserta Pemilu 2024 dapat lolos ke parlemen. Ini membuat parpol bisa mengirim wakilnya untuk duduk di kursi parlemen.
Pengalaman PDIP Jadi Oposisi
Peran PDIP sebagai oposisi sejatinya pernah dijalani partai tersebut dalam sejarah politik Indonesia. Partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu pernah berdiri di seberang kekuasaan dari masa Orde Baru hingga reformasi.
Ketika masih menyandang nama Partai Demokrasi Indonesia (PDI), parpol tersebut hampir selalu meraih suara yang kecil dalam pemilihan umum masa Orde Baru. Suara PDI kerap tertinggal dari partai penguasa kala itu, yaitu Golkar.
Pada Pemilu 1977, PDI hanya meraup 8,5 persen suara atau setara 29 kursi parlemen. Adapun ppada Pemilu 1982, raihan suara mereka justru turun menjadi 6,66 persen atau 24 kursi.
Kehadiran PDI sebagai oposisi rezim Soeharto mulai terlihat di Pemilu 1987. PDI mampu mendulang 10 persen suara yang setara 40 kursi di parlemen. Suara itu melonjak menjadi 14 persen (56 kursi) di Pemilu 1992.
Naiknya suara PDI di Pemilu 1987 dan 1992 tak lepas dari bergabungnya trah Sukarno ke dalam parpol tersebut. Megawati dan Guruh Sukarno merapat ke PDI dan mengangkat elektabilitas partai.
Keberadaan Megawati membuat waswas rezim Orde Baru. Putri presiden pertama RI itu akhirnya menjadi ketua umum PDI secara de facto pada periode 1993-1998.
Akan tetapi, melalui perangkat-perangkatnya, pemerintah Orde Baru membelah PDI. Muncul fraksi Soerjadi dan Megawati. Meski begitu, pemerintah hanya mengakui fraksi Soerjadi.
Setelah tumbangnya Soeharto pada 1998, Megawati Soekarnoputri mendeklarasikan nama PDI menjadi PDI Perjuangan pada 1 Februari 1999. PDIP sempat membawa Megawati sebagai Presiden RI setelah Presiden Abdurrahman Wahid meletakkan jabatannya.
Akan tetapi, Megawati tak mampu mempertahankan jabatannya sebagai Presiden RI setelah Pemilu 2004. Dari hasil pemilihan presiden tersebut, Megawati kalah bersaing dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari Partai Demokrat.
PDIP juga tak bisa mengembalikan Megawati ke kursi kepresidenan pada Pemilu 2009. Berpasangan dengan Prabowo Subianto, Megawati hanya mendulang 26,79 persen suara. Adapun suara SBY-Boediono mampu mencapai 60,80 persen suara. Hasil itu membuat SBY memegang jabatan presiden RI untuk periode kedua (2009-2014).
Pada Kongres III PDIP di Bali pada 6-9 April 2010, Megawati menegaskan bahwa partainya tak akan tergoda dengan kekuasaan, apalagi memutuskan untuk berkoalisi. Sikap oposisi itu ditunjukkan dalam kebijakan kenaikan harga BBM di masa SBY.
Penulis: Ahmad Yasin
Editor: Iswara N Raditya