Menuju konten utama

Apakah Ilmu Ekonomi Harus 'Bebas Nilai'?

Ilmu ekonomi dan perekonomian, yang melibatkan manusia sebagai aktor utama, tak pernah lepas dari nilai dan etika.

Apakah Ilmu Ekonomi Harus 'Bebas Nilai'?
Header Andi Yoga Trihartanto. tirto.id/Ecun

tirto.id - Salah satu diktum ilmu ekonomi yang terkenal ialah “keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.” Lalu di manakah aspek nilai-etika diposisikan dalam berbagai postulat yang mengemuka dan proses pengujian ilmiahnya?

Ilmu pengetahuan–baik sains ataupun ilmu sosial–pada dasarnya, antara lain, harus bersifat empiris yaitu dapat diukur dan dibuktikan dalam eksperimen atau observasi. Hal ini salah satunya yang membuat ilmu pengetahuan secara natural bebas atau netral dari nilai (value free/value neutral).

Dalam matematika, misalnya, 1+1 adalah 2 bukan karena “1+1=2” adalah sebuah hal yang baik, tapi memang demikian kebenaran dan fakta ilmiahnya.

Sebagai disiplin ilmu, ekonomi pun tunduk pada batasan-batasan ilmiah demikian. Ada “hukum besi” ilmu ekonomi atas permintaan-penawaran yang dianggap value-neutral. Ia tak memandang barang tersebut baik apa tidak.

Ilmu ekonomi melihat manusia sebagai Homo economicus yang berperilaku sebagai rational maximizer. Hal ini, salah satunya, terlihat dalam dasar ilmu ekonomi yang didalilkan oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nations.

Dengan pemikirannya yang menelurkan mekanisme pasar bebas—yang bekerja otonom dengan invisible hand-nya dan tak perlu banyak intervensi pemerintah, pembagian kerja (division of labor) dan spesialisasi, memposisikan pelaku ekonomi sebagai aktor bermotif kepentingan pribadi (self-interest).

Figur Smith pun seolah-olah menjadi mahluk berdarah dingin dalam meletakkan pasar di atas segalanya dalam sistem ekonomi.

Namun, tak banyak yang tahu bahwa sebelum Bapak Ilmu Ekonomi dunia asal Skotlandia tersebut meluncurkan magnum opus-nya (The Wealth of Nations) pada tahun 1776, tujuh belas tahun sebelumnya (yakni pada 1759) dia menerbitkan The Theory of Moral Sentiments.

Smith, sebagai salah satu intelektual terbaik di zamannya, ternyata juga merupakan seorang profesor di bidang filosofi moral dan berkawan dekat dengan David Hume (filosof, ekonom, dan sejarawan Skotlandia yang brilian).

Sebagai salah satu filosof terbaik di zamannya, Smith ditakdirkan bertemu dengan dua orang filosof lain yakni Voltaire (salah satu pemikir dan seniman terbaik Prancis) di Swiss dan Benjamin Franklin (salah seorang founding fathers Amerika Serikat/AS) dalam suatu jamuan makan malam di Skotlandia.

Dalam Theory of Moral Sentiments, Smith mendalilkan antara lain pentingnya mutual sympathy-yaitu kemampuan untuk melihat diri kita di posisi/penderitaan orang lain--atau yang dalam bahasa abad ke-20 lebih dikenal sebagai “empati”.

Artinya, di saat yang sama, ilmu pengetahuan juga tak dapat dipisahkan dari nilai-nilai. Contohnya saja, ilmu pengetahuan mewajibkan adanya: presisi dan konsistensi metodologi, akurasi data, obyektivitas, integritas/orisinalitas ilmuwan dan karenanya mengharamkan plagiarisme.

Oleh karena itu, sebagaimana dikemukakan Alan J. Kimmel dalam Ethics and Values in Applied Social Research (1988) sebagaimana diangkat di Value-neutrality and Criticism oleh Gerhard Zecha (1992), nilai-nilai bersifat inheren dalam ilmu pengetahuan, termasuk dalam ilmu-ilmu sosial di mana ilmu ekonomi ada di dalamnya. Pertanyaannya: sampai batas mana?

Tarik-Ulur (Ilmu) Ekonomi dan Etika

Ilmu ekonomi, dalam sejarah perkembangannya, berevolusi dari waktu ke waktu. Pada awalnya–saat masih dikenal dengan nama Political Economy—ia mengedepankan kepentingan pribadi, rasionalitas, serta supremasi pasar bebas dengan “tangan tak terlihat”-nya.

Pada akhirnya ia harus berubah ketika mengakui bahwa pasar tidak bisa dibiarkan begitu saja mengatur dirinya. Kegagalan mekanisme pasar murni tersebut memicu bencana finansial terbesar dalam sejarah modern umat manusia, yakni Great Depression.

Resesi yang begitu parah mengguncang dunia, memangkas perekonomian AS hingga sepertiga nilainya di tahun 1930-an, akhirnya merambat menjadi krisis ekonomi global yang teramat dahsyat. Jika ditarik lebih jauh, situasi ini mencuatkan sosok Adolf Hitler di Jerman yang memicu Perang Dunia II.

Hal ini menjadikan Depresi Besar sebagai contoh terbaik sekaligus “terburuk” gagalnya mekanisme pasar dan betapa tidak rasional manusia yang dapat menuhankan ketamakan, menimbun kekayaan, serta dapat menciptakan panik massal dan meluluhlantakkan perekonomian banyak negara.

John Maynard Keynes, salah satu tokoh ilmu ekonomi terpenting setelah Adam Smith, mengadvokasi ide revolusioner dalam masterpiece-nya The General Theory of Employment, Interest and Money tahun 1936.

Ia menyatakan bahwa, antara lain, pemerintah harus turun tangan dalam memitigasi risiko perekonomian, termasuk melakukan stabilisasi ketika ekonomi dalam (potensi) resesi ataupun krisis, termasuk yang disebabkan oleh kegagalan mekanisme pasar.

Peran pemerintah dalam perekonomian yang dihantam syok raksasa seperti pandemi Covid-19—yang kental dengan nuansa dan nilai kemanusiaan, kesehatan, dan ekonomi secara berbarengan—memperlihatkan pentingnya peran pemerintah terutama ketika pasar tidak bisa menjadi lokomotif.

Jika dilepaskan dari disiplin ilmunya, dalam jejak perekonomian dan transaksi ekonomi yang secara realita lebih membumi dan kasat mata, aktivitas ekonomi jelas sangat berlandaskan nilai-nilai sosial dan etika, setidaknya dalam konteks sosiokultural dan agama di tempat dan waktu tertentu.

Dalam artikel bertajuk "Money & Morality" (2014) di publikasi Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), Timothy Taylor misalnya memaparkan bahwa penjualan asuransi jiwa di AS, pada abad ke-19 dinilai melawan Tuhan (gambling against God), sehingga sempat dilarang.

Baru kemudian setelah terjadi perubahan narasi dan persepsi bahwa asuransi jiwa merupakan salah satu tanda kasih sayang manusia kepada keluarga (yang berpotensi ditinggalkan), akhirnya asuransi jiwa pun dilegalkan.

Taylor melanjutkan, pun dengan minuman alkohol yang sempat menjadi komoditas haram selama 14 tahun pada awal abad 20 di AS, akhirnya menjadi barang yang sah secara etis dan diperjualbelikan mulai tahun 1933.

Lebih jauh, di luar dari nilai budaya dan agama setempat, saya rasa tak ada satu pun ekonom yang sepakat melegalkan perdagangan manusia (human trafficking), jual-beli narkoba, dan eksploitasi anak di bawah umur sebagai buruh.

(Ilmu) Ekonomi Dituntut Semakin Etis

Peraih Nobel Ilmu Ekonomi tahun 1982, George Stigler, suatu saat pernah berkata: “The economist does not need ethics; only arithmetic. His task is to clear up social mistakes.” (Ekonom tak perlu memakai etika, cukup aritmetika saja. Tugasnya (hanyalah) menjelaskan kesalahan-kesalahan sosial).

Jika ekonom hanya bersandar total pada positive economics–istilah yang dipopulerkan oleh Milton Friedman, peraih nobel ilmu ekonomi tahun 1953—maka pandangan Stigler bisa saja betul. Positive economics pada dasarnya hanya bersifat deskriptif dan prediktif atas kondisi ekonomi yang ada dan menganalisis hubungan kausalitas atas keputusan/aktivitas ekonomi.

Namun, normative economics yang berpegang pada nilai dan seringkali subyektif—seperti polemik pengurangan dan pengalihan subsidi BBM—dalam memandang apa-apa yang seharusnya terjadi (prescriptive) atas suatu kondisi/permasalahan ekonomi, juga tetap dibutuhkan.

Keduanya mesti dipakai secara berbarengan. Normative economics, sebagaimana juga disinggung dalam esai Friedman, tetap perlu ditopang oleh positive economics.

Jikalau ekonom ialah Homo economicus tulen yang super rasional, bisa saja ide Stigler diterima. Namun pada kenyataannya, ekonom juga manusia. Seorang Homo sapiens, yang secara literal berarti Manusa yang Bijak.

Ekonom juga manusia yang beradab, yang hidup dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan etika. Ekonom, menurut saya, juga perlu berpikir bagaimana berkontribusi membangun peradaban yang beretika, dan bukan peradaban yang hanya efisien secara ekonomi.

Dengan problematika sosio-ekonomi yang tinggi seperti ketimpangan (inequality) yang memburuk, kemiskinan ekstrem yang masih jauh dari lenyap, serta permasalahan lingkungan dan perubahan iklim, semakin penting pula aspek nilai dan etika dalam pengembangan ilmu ekonomi dan terapannya.

Irisan antara nilai-etika dan ilmu ekonomi sebenarnya terdapat pada normative economics yang telah dijelaskan di atas.

Salah satu ekonom Harvard yang menekankan agar ilmu ekonomi lebih merangkul nilai-etika untuk memanifestasikan peradaban yang ideal ialah Amartya Sen. Ekonom masyhur asal India dan penerima nobel ekonomi tahun 1998, ini memang terkenal akan kepakarannya di area welfare economics.

“Berpikir bahwa kita tak punya kewajiban kepada manusia lain di luar lingkaran (tetangga) kita walaupun kita mampu dan mulia dalam membantunya, akan membuat batasan kewajiban kita menjadi sangat sempit,” tutur Sen dalam Idea of Justice (2009).

Pertanyaan dalam judul artikel ini sejatinya tak bisa dijawab secara hitam-putih. Namun dalam pemahaman penulis, ilmu pengetahuan termasuk ilmu ekonomi pada dasarnya berlandaskan nilai-etika, walaupun dalam banyak bagian terlihat jelas netralitasnya terhadap nilai-etika.

Ilmu ekonomi dan perekonomian, yang melibatkan manusia sebagai aktor utama (baik masyarakat, penduduk dunia, pemerintah, ataupun pemimpin perusahaan), tak pernah lepas dari nilai dan etika dalam pengambilan keputusan atas segala aktivitas ekonominya.

Manusia tidak selalu bisa menjadi Homo economicus yang senantiasa rasional.

***

Tentang penulis:

Andi Yoga Trihartanto adalah Staf Kementerian Keuangan RI.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.