Menuju konten utama

Apa Saja yang Akan Dilakukan Joe Biden Jika Menang Pilpres AS?

Biden ingin melakukan perubahan kecil-kecilan di bidang ekonomi. Apa saja programnya.

Apa Saja yang Akan Dilakukan Joe Biden Jika Menang Pilpres AS?
Wakil Presiden Joe Biden berbicara tentang pengaruh investasi Undang-Undang Pemulihan dalam inovasi, sains dan teknologi, di Gedung Kantor Eksekutif Eisenhower di kompleks Gedung Putih di Washington. AP / Pablo Martinez Monsivais

tirto.id - Sedikitnya seribu ekonom dari berbagai institusi pendidikan di Amerika Serikat, termasuk peraih Nobel, mendesak pemilih suara agar tidak memilih Donald Trump sebagai presiden dalam sebuah surat terbuka. Trump dianggap sudah moncoreng lembaga-lembaga demokratis, serta mengacaukan jalan menuju pemulihan ekonomi dengan perilakunya yang “egois dan gegabah”.

Menurut para ekonom ini, di bawah administrasi Trump, relasi dagang jadi rusak karena pendekatan Trump yang “tidak efektif dan semrawut”. Serapan tenaga kerja di sektor manufaktur tetap rendah, defisit perdagangan dan keuangan justru meningkat. Mereka juga kecewa atas sikap Trump yang meremehkan rekomendasi dari berbagai institusi kesehatan terkait penanganan COVID-19.

Selain itu, berdasarkan pengamatan para ekonom, setelah 3 tahun Trump memimpin Amerika, pertumbuhan ekonomi nasional gagal mencapai 3 persen, di bawah angka 4 sampai 6 persen yang diklaim Trump mampu diraihnya. Mereka pun menyampaikan proyeksi dari perusahaan jasa finansial Goldman Sachs dan Moody’s Analytics, bahwa rencana ekonomi yang ditawarkan kandidat capres dari Partai Demokrat, Joe Biden, jika diterapkan nantinya bisa mendorong pertumbuhan lapangan pekerjaan dan Produk Domestik Bruto lebih cepat.

Pernyataan di atas bukanlah kali pertama kalangan intelektual menyuarakan pandangannya tentang Biden. Pada September silam, tiga belas peraih Nobel ekonomi, di antaranya George Akerlof, Peter Diamond dan Oliver Hart, menyatakan dukungan terhadap prinsip ekonomi Biden. Menurut mereka, agenda ekonomi Biden akan “jauh lebih unggul” daripada milik Trump, dan kelak “menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, kuat dan adil”.

Tidak seperti Biden yang menjabarkan proposalnya secara spesifik, Presiden Trump menyampaikan rencananya dengan cara yang terlampau sederhana dan singkat, sehingga malah terkesan dangkal dan kurang jelas. Sampai menjelang hari pemilu, dilansir dari situs resmi kampanye Trump, kebijakan untuk periode kedua disampaikan melalui poin-poin pendek, tanpa penjelasan tentang cara mengimplementasikannya.

Pada sektor lapangan kerja misalnya, Trump akan “menciptakan 10 juta pekerjaan baru dalam 10 bulan” dan “memberikan potongan pajak untuk meningkatkan gaji bersih dan mempertahankan pekerjaan di Amerika”. Upaya mengakhiri ketergantungan terhadap Cina pun disampaikan dalam sejumlah poin singkat, seperti “membawa pulang 1 juta pekerjaan manufaktur dari Cina” dan “meminta Cina bertanggung jawab sepenuhnya karena membiarkan virus menyebar ke seluruh dunia”. Terlepas dari ketidakjelasan rencananya, poin-poin Trump masih merefleksikan strategi-strategi agresif untuk memelihara eksepsionalisme Amerika, seperti yang dikampanyekannya sejak pemilu 2016.

Biden si Pragmatis

The Economist menilai Biden sebagai seorang pragmatis. Artinya, Biden berkeinginan memperbaiki pelan-pelan kondisi ekonomi yang diwariskan Trump, alih-alih menawarkan visi tentang transformasi besar-besaran terhadap ekonomi Amerika.

Masih dilansir dari The Economist, terdapat tiga dorongan eksternal yang bisa mengarahkan Biden untuk mengambil langkah-langkah penyelamatan ekonomi. Dorongan pertama adalah resesi yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19, yang semakin memperlebar jurang ketimpangan pendapatan, mengubah cara kerja industri dan bisnis, serta memperbesar defisit keuangan bertambah besar.

Dorongan kedua berasal dari kekuatan gerakan sayap kiri di Partai Demokrat, terutama mantan barisan pro-Sanders dan Warren, yang mendukung proposal anggaran belanja bombastis misalnya untuk layanan kesehatan universal, kebijakan lingkungan, serta kesejahteraan sosial “Green New Deal”. Meskipun Biden sudah menegaskan bahwa dirinya bukan pengusung agenda-agenda kiri yang kerap dicap “sosialis” oleh Trump, isu lingkungan dan kesejahteraan sosial tetap mendapat porsi besar dan anggaran signifikan dalam porposalnya.

Faktor pendorong terakhir yang dapat mempengaruhi Biden untuk melaksanakan program-program kampanyenya adalah adalah Kongres yang terdiri atas Dewan Perwakilan dan Senat. Jika Partai Demokrat berhasil menguasai sampai 59 dari 100 kursi Senat, maka RUU tentang anggaran belanja dan pajak hanya bisa diloloskan dengan suara bipartisan atau proses rekonsiliasi. Meskipun ada kemungkinan kubu Demokrat bisa mengakali batasan-batasan tersebut, The Economist memperkirakan proposal anggaran dari Biden tidak akan seutuhnya diloloskan alih-alih hanya separuhnya.

Berkaca pada dorongan-dorongan tersebut, tampaknya Biden akan berusaha fokus pada langkah-langkah praktis untuk memulihkan ekonomi Amerika yang tersungkur karena pandemi. Hal tersebut dilakukannya dengan cara meningkatkan investasi pada industri manufaktur, termasuk infrastruktur dan energi ramah lingkungan, serta menebar jaring pengaman sosial yang lebih kuat untuk rumah tangga kelas menengah ke bawah dan kalangan pekerja.

Langkah Awal, Stimulus Ekonomi

Rencana perbaikan ekonomi Biden diawali dengan strategi penanganan COVID-19, seperti perluasan akses terhadap tes gratis, talangan biaya perawatan dan pengembangan vaksin. Salah satu poin penting yang diajukan Biden terkait COVID-19 dan pemulihan ekonomi adalah memberikan cuti darurat berbayar untuk individu-individu yang terdampak COVID-19, tak terkecuali pelaku bisnis kecil yang merugi selama pandemi.

Suntikan dana atau stimulus menjadi andalan Biden untuk pertama-tama memulihkan kesehatan warga Amerika. Pada waktu sama, investasi bernilai besar juga ditanamkan untuk perlahan mengangkat kembali kepercayaan diri ekonomi makro, terutama melalui sektor manufaktur. Meskipun sama-sama punya pandangan proteksionis seperti “America First” atau “Make America Great Again” yang dikoar-koarkan dalam kampanye Trump, bahasa yang digunakan Biden cenderung lebih halus.

Merujuk pada kerangka kebijakan besar “Build Back Better”, Biden ingin membuat industri manufaktur “Made in All of America” kembali berjaya, disokong oleh infrastruktur ramah lingkungan dan angkatan kerja inklusif agar setiap warga Amerika bisa “menikmati balasan setimpal atas usaha mereka dan kesempatan setara untuk maju”. Upaya tersebut diharapkan bisa menelurkan 5 juta lapangan pekerjaan baru.

Dilansir dari situs resmi kampanye Biden, 400 milyar dolar AS akan digelontorkan sebagai investasi untuk pengadaan barang dan jasa. Melalui slogan “Buy American”, pemerintahan Biden berkomitmen mendukung kegiatan belanja produk buatan dalam negeri yang melibatkan pelaku bisnis kecil dalam rantai pasokannya. Anggaran ini bertujuan mendorong lahirnya barisan produsen lokal untuk memenuhi permintaan barang dari publik Amerika, mulai dari kendaraan bermotor dan pembangkit energi ramah lingkungan, sampai bahan bangunan.

Dana sebesar 300 milyar dolar AS rencananya juga dikucurkan untuk inovasi teknologi serta Riset dan Pengembangan, misalnya pada bidang medis, bioteknologi, energi terbarukan, telekomunikasi, dan kecerdasan buatan. Dikutip dari laman kampanye Biden, selama ini Cina berusaha untuk mengungguli Amerika dalam bidang teknologi dan industri masa depan, terbukti sepanjang 1991-2016 Cina menaikkan anggaran risetnya sampai 30 kali lipat. Amerika pun membutuhkan anggaran riset yang cukup agar nantinya bisa menyediakan lapangan kerja sekaligus mengembalikan kedudukannya sebagai pionir dunia teknologi.

Biden dan Pekerja Kelas Menengah

Berbeda dari Trump yang lahir dari keluarga pebisnis, Biden tumbuh dewasa dan meniti karier politik di Delaware, negara bagian yang dihuni banyak pekerja manufaktur--salah satunya diwakili oleh perusahaan bahan kimia terbesar di dunia, DuPont. Berangkat dari kacamata itulah, tampak betapa kebijakan-kebijakan Biden ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan kaum pekerja dan kelas menengah, sebagaimana ia selama ini kerap membanggakan dirinya sebagai “"Middle-class Joe”.

Untuk memberdayakan kaum pekerja, Biden berjanji meningkatkan standar upah mereka sekurangnya jadi 15 dolar AS per jam, mengatur jadwal kerja dan bayaran lembur yang manusiawi, serta menjamin kebebasan pekerja untuk berserikat.

Terkait perpajakan, Biden mengkritik sikap lunak Presiden Trump terhadap pebisis besar dan orang kaya. Ia menyasar kebijakan keringanan pajak untuk kepada korporat multinasional, yang berdampak pada bergesernya aktivitas produksi ke luar AS dan meningkatnya bisnis, investasi dan kekayaan pemegang modal di luar negeri.

Biden terlihat ingin menunjukkan sikap lebih tegas terhadap elite bisnis. Pajak perusahaan akan dinaikkan menjadi 28 persen dari yang awalnya 21 persen. Selain itu, perusahaan yang melakukan offshore dan mengalihkan lapangan pekerjaan ke luar negeri harus membayar pajak penghasilan lebih banyak (sebesar 21 persen atau dua kali lipat dari yang selama ini ditarik oleh Trump) serta penalti pajak yang sesuai.

Kenaikan pajak tidak akan dibebankan pada mereka yang menghasilkan kurang dari 400.000 dolar (sekitar 5,9 milyar rupiah) per tahun. Rumah tangga dari kalangan menengah ke bawah justru akan mendapat keringanan, di antaranya dalam bentuk pengembalian pajak bagi keluarga yang memiliki anak dan pasangan yang baru membeli rumah pertama kali, serta bantuan kredit bagi industri manufaktur domestik.

Implementasi kebijakan pajak Biden dapat dipelajari dari analisis yang salah satunya dilakukan oleh lembaga riset independen Tax Policy Center pada pertengahan Oktober kemarin.

Melansir laporan tersebut, pada tahun 2022, ketika keringanan pajak untuk pemilik anak diterapkan sementara waktu, beban pajak akan naik bagi rumah tangga dengan pendapatan di atas 788.000 dolar AS (sekitar 11,6 milyar rupiah) per tahun, yang presentasenya mencapai 1 persen kelompok berpenghasilan tertinggi di Amerika. Kenaikan pajak mereka rata-rata bisa mencapai 266.000 dolar AS (hampir 4 milyar rupiah). Di atas mereka, masih ada lagi 0,1 persen kelompok berpenghasilan tertinggi yang harus membayar pajak di kisaran 1,6 juta dolar AS (sekitar Rp23 milyar).

Sebaliknya, rumah tangga yang penghasilannya berada pada level menengah ke bawah justru mendapatkan keringanan pajak. Misalnya, rumah tangga dengan penghasilan di antara 50.000-89.000 dolar AS (Rp700 juta sampai Rp1,3 milyar) per tahun akan dapat potongan pajak rata-rata 620 dolar (Rp9 juta), dan yang pendapatannya di bawah 25.000 dolar AS (Rp360 juta rupiah) per tahun akan menerima potongan pajak sekitar 750 dolar AS (Rp11 juta).

Menilik hasil sensus 2019 (PDF), median pendapatan rumah tangga di Amerika berada pada kisaran 68.703 dolar AS atau Rp1 milyar per tahun. Dengan kata lain, kebijakan ekonomi Biden bakal meringankan masyarakat yang penghasilannya berada pada ambang tengah dan di bawah median gaji nasional.

Infografik Joe Biden

Infografik Kembalinya Politikus Medioker bernama Joe Biden. tirto.id/Quita

Defisit Anggaran yang Besar

Masih dikutip dari Tax Policy Center, kebijakan pajak Biden diperkirakan akan menyumbang pendapatan negara sebesar 2,4 triliun dolar AS selama sepuluh tahun ke depan. Angka tersebut berada di bawah perkiraan Penn Wharton Budget Model dari University of Pennsylvania, yang memprediksi pemasukan pajak 3,375 triliun dolar, sekaligus memperkirakan bahwa dalam satu dekade ke depan, investasi yang diajukan Biden akan menelan biaya sedikitnya 5,37 triliun dolar. Pengeluaran terbesar adalah 1,9 triliun dolar AS untuk pendidikan, diikuti nominal 1,6 triliun dolar AS untuk infrastruktur dan pengembangan riset termasuk proyek-proyek ramah lingkungan.

Pengeluaran tersebut dikhawatirkan semakin memperbesar defisit keuangan pemerintah yang tahun ini diperkirakan mencapai 3,3 triliun dolar AS atau 16 persen dari Produk Domestik Bruto. Terlepas dari itu, seperti disampaikan oleh kepala ekonom di Moody’s Analytics, Mark Zandi, masalah terkait kenaikan defisit anggaran bisa ditangani segera oleh Biden begitu ekonomi negara sudah kembali prima.

Menurut Zandi, kenaikan defisit anggaran berakibat pada naiknya suku bunga yang bisa mengurangi manfaat dari tingginya biaya belanja pemerintah. Namun hal itu tidak jadi masalah buat sekarang, mengingat resesi COVID-19 mendorong suku bunga tetap rendah selama beberapa waktu ke depan. Justru, bagi Zandi, sekarang adalah waktu yang tepat untuk memiliki defisit anggaran belanja besar, supaya aktivitas ekonomi bisa dipulihkan secepatnya.

Relasi Dagang Luar Negeri

Sebagai presiden kelak, Biden menaruh prioritas pada perbaikan ekonomi dan peningkatan investasi di dalam negeri. Akan tetapi, dunia tidak bisa menunggu Biden untuk menuntaskan masalah ekonomi domestik terlebih dahulu, sebagaimana diutarakan di Foreign Policy oleh Edward Alden, profesor ilmu hubungan internasional dari Western Washington University.

Setelah empat tahun kepemimpinan Trump, tatanan perdagangan global berubah kacau. World Trade Organization tak lagi berdaya, relasi dagang luar negeri Amerika rusak, hubungan dengan Cina semakin tegang.

Namun, menurut Alden, proposal ekonomi Biden justru membuat konflik perdagangan jadi lebih parah, setidaknya untuk jangka pendek. Alasannya, kebijakan-kebijakan Biden pada dasarnya tetaplah proteksionis, seperti melindungi terhadap produksi barang dalam negeri atau insentif industri manufaktur domestik. Alden menambahkan, terlepas dari indikasi bahwa Biden ingin rehat sejenak dari perang dagang dengan Cina, ia tetap melihat Cina sebagai ancaman terhadap ekonomi AS.

Sementara itu, Alex Doherty berpendapat di The Guardian bahwa kemenangan Biden bisa jadi menimbulkan kelegaan di kalangan progresif baik di dalam Amerika dan luar negeri. Biden memang tidak sefrontal Trump yang suka perkelahian terbuka. Di bawah kendali Demokrat pula, lebih kecil kemungkinannya terjadi peningkatan aktivitas militer di Laut Cina Selatan. Namun demikian, Doherty mewaspadai “kubu Demokrat akan lebih menyanggupi, dan mungkin lebih bersedia, untuk membangun persekutuan internasional anti-Cina yang membuat relasi Cina-Amerika semakin rusak”.

Baca juga artikel terkait PILPRES AS 2020 atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf