tirto.id - Konflik dan perang saudara di Sudan masih terjadi sampai hari ini, Kamis, 27 April 2023. Lantas apa penyebabnya dan bagaimana update situasi terkininya?
Seperti diberitakan Al-Jazeera hari ini, pertempuran terus berlangsung meskipun telah disepakati perjanjian gencatan senjata selama 72 jam antara tentara Sudan dengan paramiliter Rapid Support Forces (RSF).
Perang saudara ini sudah menelan korban tewas sebanyak 512 orang. Perpanjangan masa gencatan senjata masih dirancang bersama Sudan Selatan, Kenya dan Djibouti.
Pertempuran kedua belah pihak itu dilaporkan masih terjadi di pinggiran ibukota Sudan, Khartoum.
Sehari sebelumnya, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, pemimpin militer Sudan telah memberikan sinyal positif terkait masa perpanjangan gencatan senjata untuk 72 jam berikutnya.
Bahkan, Abdel Fattah juga mengirim perwakilan ke Juba, Sudan Selatan, demi menjalankan perundingan damai yang diinisiasi IGAD (Intergovernmental Authority on Development).
Bersama Presiden Sudan Selatan, Kenya dan Djibouti, pihak militer Sudan masih menyusun rancangan perpanjangan gencatan senjata dengan pasukan RSF kendati hal ini masih belum ditanggapi oleh kubu paramiliter.
Update Korban Perang Sudan: 512 Orang Tewas
Konflik Sudan yang muncul sejak 15 April 2023 itu telah menelan korban tewas sebanyak 512 orang. Demikian menurut catatan Kementerian Kesehatan Sudan dikutipBBC, selama meletusnya perang saudara dalam kurun waktu 11 hari terakhir.
Selain korban meninggal akibat serangan udara dan artileri, ribuan warga juga mengalami luka-luka dengan kondisi rumah sakit yang hancur.
Situasi tersebut menyebabkan ratusan ribu warga kini meninggalkan Sudan demi menghindari perang yang melibatkan pihak militer SAF (Sudan’s Armed Forces) pimpinan Abdel Fattah al-Burhan dengan pasukan paramiliter RSF (Rapid Support Forces) yang dikomandoi Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo.
Menurut catatan PBB, sekitar 20 ribu orang sudah memasuki wilayah Chad, sebelah barat Sudan, dan sekitar 100 ribu orang lainnya diperkirakan akan segera datang.
Idriss Mahmat Ali Abdallah Nassouri, kepala CNARR (Chad’s National Commission for Reception, Reintegration and Returnees) bahkan menyatakan lebih dari setengah juta pengungsi asal Sudan sudah tersebar di 13 kamp sebelum meletusnya perang tersebut.
"Jumlah kedatangan meningkat hingga ribuan dan mengkhawatirkan," ujar Nassouri.
UNHCR (The United Nations High Commissioner for Refugees) melaporkan, para pengungsi lainnya juga telah menyeberang ke Mesir dan berharap mereka dapat diterima serta mendapatkan perlindungan secara internasional.
Sementara WHO menambahkan 60 persen fasilitas kesehatan di ibukota Khartoum kini telah tutup. Hal ini diprediksi bisa mengakibatkan bertambahnya angka kematian akibat wabah yang muncul karena kurangnya layanan kesehatan.
Selama beberapa pekan kedepan, WHO memperkirakan bakal ada 24 ribu ibu hamil yang akan melahirkan di wilayah Khartoum.
Apa Penyebab Konflik Sudan?
The Guardian mewartakan, perang meletus sejak pertengahan April lalu akibat perebutan kekuasaan antara dua faksi utama rezim militer, yakni antara angkatan bersenjata dan paramiliter.
Angkatan bersenjata Sudan dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, penguasa de facto negara itu. Sementara paramiliter Rapid Support Forces (RSF), yang terdiri dari kumpulan milisi, dipimpin oleh mantan panglima perang Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, atau dikenal sebagai Hemedti.
International Crisis Group melihat ketegangan yang berkembang antara pasukan bersenjata dan RSF sudah terjadi sejak pemberontakan rakyat Sudan tahun 2019, terutama sejak kudeta tahun 2021, ketika Burhan dan Hemedti merebut kendali penuh atas negara dari warga sipil, mereka berbagi kekuasaan sejak saat itu.
Namun, stabilitas dualitas kekuasaan tidak berlangsung lama karena goyah akibat perselisihan mengenai wacana integrasi RSF ke dalam jajaran tentara reguler, yang akhirnya membuat perang saudara tidak bisa dielakkan.
Penulis: Beni Jo
Editor: Alexander Haryanto