tirto.id - Saat Natal, anak-anak kecil akrab dengan ritual menyambut hari raya ini dengan menggantung kaus kaki di depan beranda rumah, tak lupa juga dengan menyediakan sepiring kue untuk Sinterklas dan beberapa buah wortel untuk rusa-rusanya. Mereka percaya, Sinterklas akan berbaik hati kepada anak-anak kecil manis dan penurut.
Esok paginya, anak-anak akan memeriksa kembali kaus-kaus kaki tersebut dan berteriak girang menemukan hadiah di dalamnya. Tentu saja kita tahu, Sinterklas tidak ada dan hadiah tersebut diisi oleh ibu, ayah, atau anggota-anggota keluarga yang lainnya.
Sepintas, tradisi menyatakan kepada anak-anak bahwa Sinterklas itu nyata merupakan suatu kebohongan kecil.
Manfaat Mengenalkan Sinterklas pada Anak
Beberapa orang tua di zaman modern mempertanyakannya: apakah berbohong kepada anak-anak akan berpengaruh buruk bagi kepribadian mereka di masa depan?
Dua peneliti anak, Elena Merenda dan Nikki Martyn dalam artikelnya Why it’s OK for kids to believe in Santa memaparkan bahwa menyatakan Sinterklas itu nyata menciptakan kebahagiaan dan pengalaman menggembirakan bagi keluarga, khususnya anak-anak.
Kesempatan ini penting untuk menumbuhkan aspek-aspek kepercayaan, bermain, dan membagi kenangan masa kecil. Jika mereka tumbuh besar, hal ini akan mendorong mereka belajar empati, bijak, dan mengasihi orang lain.
Percaya kepada Sinterklas di masa kecil juga baik bagi perkembangan anak-anak, terutama perkembangan kreativitas, bermain, dan imajinasi mereka.
Dilansir dari Science Blog, imajinasi di masa kanak-kanak mengaburkan batas antara fantasi dan kenyataan. Ide untuk mempercayai hal-hal yang tak bisa dilihat adalah hal mendasar yang harus ditanamkan kepada manusia. Fantasi juga merupakan hal yang normal, bahkan dianjurkan sebagai bagian dari perkembangan anak-anak.
Salah satu tanda bahwa anak-anak mengembangkan kemampuan imajinasinya, mereka akan bermain "pura-pura" yang biasanya dimulai di umur dua tahun, serta terus antusias hingga usia lima dan delapan tahun.
Melalui imajinasi pula, anak-anak mengembangkan keterampilan emosi dan psikologis mereka untuk memahami orang lain. Kapasitas berfantasi dan bermain "pura-pura" mendorong anak-anak untuk fokus, menguatkan kepandaian logika dan pemecahan masalah, melatih keterampilan sosial, hingga belajar negosiasi dan kerja tim.
Menceritakan tentang keberadaan Sinterklas kepada anak-anak merupakan salah satu cara untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan positif di atas.
Sejalan dengan pergantian usia, seiring mereka mengembangkan kemampuan logikanya, psikolog Jean Piaget mengajukan teori perkembangan kognitif bahwa di antara usia empat dan delapan tahun, akan-anak memasuki fase operasional konkrit.
Di fase ini, anak-anak menjadi skeptis dan mulai bertanya-tanya tentang hal-hal yang ditemuinya. Mereka bereksperimen, mengevaluasi bukti, dan menganalisanya dengan logika sederhana.
Anak-anak juga akan menggunakan logika sederhana mereka mempertanyakan keberadaan Sinterklas. Ketika anak-anak bertanya, apakah Sinterklas itu nyata, penting bagi orang tua memutuskan apakah mereka sudah paham dan cukup usianya melepaskan fantasi mereka terhadap Sinterklas.
Jika anak-anak sudah mulai tahu dan sadar, berbohong akan jadi bumerang bagi orang tua. Di fase ini, penting bagi anak-anak untuk mengembangkan kepercayaan dengan orang tua mereka, termasuk untuk tidak menerima informasi bohong tentang Sinterklas.
Di usia ini, jika anak-anak mulai bertanya tentang keberadaan Sinterklas, orang tua dapat mendiskusikannya dan mengajak mereka untuk percaya sebagai bagian dari tradisi keluarga.
Menjaga suatu tradisi agar terus hidup amat krusial untuk perkembangan anak-anak dan bisa menyatukan keluarga besar. Bahkan, Anda akan terpukau pada usaha mereka untuk terus berpura-pura percaya seolah-olah Sinterklas itu benar-benar ada.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Yulaika Ramadhani
Penyelaras: Ibnu Azis