tirto.id - Baru-baru ini masyarakat ramai membahas soal penggunaan ganja untuk keperluan pengobatan medis.
Isu ini muncul setelah seorang ibu bernama Santi Warastuti yang viral karena menyuarakan legalisasi ganja di Indonesia, untuk mengobati anaknya yang sedang menderita Cerebral Palsy.
Cerebral Palsy adalah penyakit yang menyebabkan gangguan pada otot, gerak, dan koordinasi tubuh, yang dapat menyebabkan kelumpuhan.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengaku akan meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membuat fatwa soal ganja untuk kepentingan medis.
"Saya kira penting MUI harus membuat fatwanya, membuat fatwa baru. Pembolehannya itu artinya ada kriterianya," kata Maruf Amin di acara MUI, Jakarta, Selasa (28/6/2022).
Ma'ruf mengakui bahwa ganja dilarang secara undang-undang. Namun, ia akan meminta MUI untuk membuat fatwa tentang penggunaan ganja untuk keperluan medis.
Ia berharap fatwa tersebut bisa digunakan batasan agar ganja tidak digunakan berlebihan hingga merusak masyarakat.
Apa Manfaat Ganja untuk Pengobatan Medis?
Ganja atau istilah medisnya Cannabis Sativa merupakan tumbuhan budidaya penghasil serat. Ganja dikenal karena kandungan zat narkotika pada bijinya, tetrahidrokanabinol (THC, tetra-hydro-cannabinol).
Biji ganja yang bisa menciptakan pemakainya mengalami euforia atau rasa senang yang berkepanjangan tanpa sebab. Tanaman ganja biasanya dijadikan rokok mariyuana.
Dilansir WebMD, THC menghasilkan perasaan "tinggi" ketika digunakan oleh perokok ganja atau mereka yang makan makanan mengandung ganja.
Sementara CBD, adalah komponen non-euforia yang tidak memabukkan, yang mungkin pernah Anda lihat dalam bentuk minyak, permen karet, minuman, dan produk lain untuk tujuan medis.
Bagaimana penggunaan ganja untuk Obati Cerebral Palsy?
Menurut Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati, Ph.D., ganja bisa digunakan untuk terapi atau obat karena di dalamnya mengandung beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi.
Ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari berbagai senyawa lainnya, yang utama adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.
“Psikoaktif artinya bisa memengaruhi psikis yang menyebabkan ketergantungan dan efeknya kearah mental,” jelasnya dalam rilis yang diterima Tirto, Kamis (30/6).
Lalu, senyawa lainnya adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif. CBD ini dikatakan Zullies memiliki efek salah satunya adalah anti kejang.
Ia menuturkan bahwa CBD telah dikembangkan sebagai obat dan disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika.
Misalnya epidiolex yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup. Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), yang sudah tidak berespon terhadap obat lain.
“Di kasus yang viral untuk penyakit Cerebral Palsy, maka gejala kejang itulah yang akan dicoba diatasi dengan ganja,” ucapnya.
Zullies menjelaskan CBD memang telah teruji klinis dappat mengatasi kejang. Kendati demikian, untuk terapi antikejang yang dibutuhkan adalah CBD-nya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja.
Sebab, ganja jika masih dalam bentuk tanaman maka masih akan bercampur dengan THC. Kondisi ini akan menimbulkan berbagai efek samping pada mental.
“Dikatakan ganja medis, istilah medis ini mengacu pada suatu terapi yang terukur dan dosis tertentu. Kalau ganja biasa dipakai, missal dengan diseduh itu kan ukurannya tidak terstandarisasi, tapi saat dibuat dalam bentuk obat bisa disebut ganja medis,” paparnya.
Guru Besar Fakultas Farmasi UGM ini menuturkan jika ganja bukanlah satu-satunya obat untuk mengatasi penyakit termasuk cerebral palsy. Namun, masih ada obat lain yang dapat digunakan untuk mengatasi kejang.
“Ganja bisa jadi alternatif namun bukan pilihan pertama karena ada aspek lain yang harus dipertimbangkan. Namun jika sudah jadi senyawa murni seperti CBD, terukur dosisinya dan diawasi pengobatannya oleh dokter yang kompeten itu tidak masalah,” tegasnya.
Lalu terkait legaliasai ganja medis, Zullies mengungkapkan obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat seperti BPOM dan disetujui untuk dapat digunakan sebagai terapi.
“Menurut saya, semestinya bukan melegalisasi tanaman ganja karena potensi untuk penyalahgunaannya sangat besar. Siapa yang akan mengontrol takarannya, cara penggunaannya, dan lainnya walaupun alasannya adalah untuk terapi,” urainya.
Lebih lanjut ia mengatakan untuk penggunaan ganja medis ini dapat melihat dari obat-obatan golongan morfin.
Morfin juga berasal dari tanaman opium dan menjadi obat legal selama diresepkan dokter. Selain itu, digunakan sesuai indikasi seperti nyeri kanker yang sudah tidak respons lagi terhadap analgesik lain dengan pengawasan distribusi yang ketat.
“Tanamannya yakni opium tetap masuk dalam narkotika golongan 1 karena berpotensi penyalahgunaan yang besar, begitupun dengan ganja. Oleh sebab itu semestinya yang dilegalkan bukan tanaman ganjanya, tetapi obat yang diturunkan dari ganja dan telah teruji klinis dengan evaluasi yang komperehensif akan risiko dan manfaatnya,” pungkasnya.
Editor: Addi M Idhom