tirto.id - Semakin meningkatnya angka positif COVID-19 di berbagai daerah telah memicu reaksi masyarakat yang membeli suatu barang secara berlebihan atau pembelian barang karena panik.
Belum lama ini beredar video yang memperlihatkan adanya fenomena panic buying yang dilakukan masyarakat saat berebut produk susu kemasan. Bahkan harga susu kemasan tersebut sempat melambung dan stok di beberapa supermarket kosong.
Pembelian produk susu secara berlebihan itu karena beredar informasi yang menyebutkan produk susu tersebut bisa mencegah dan mengobati COVID-19 padahal belum ada penjelasan ilmiah tentang hal tersebut.
Lantas apa sebenarnya yang dimaksud dengan fenomena panic buying dan penyebabnya?
Arti panic buying dan penyebabnya
Panic buying adalah pembelian secara berlebihan atau penimbunan suatu barang karena didasari rasa panik dan takut berlebih. Tindakan membeli produk atau komoditas tertentu dalam jumlah besar ini karena ketakutan tiba-tiba akan kekurangan atau kenaikan harga pada barang tersebut.
Panic buying biasanya terjadi untuk mengantisipasi suatu bencana atau setelah terjadinya suatu bencana.
Melansir laman Forbes,panic buying atau pembelian karena panik dikaitkan dengan pendapatan yang lebih tinggi, kehadiran anak-anak di rumah tangga, depresi dan kecemasan kematian, dan ketidakpercayaan orang lain atau paranoia.
Panic buying atau penimbunan barang-barang penting jarang dicatat sebelum awal abad ke-20. Ketika flu Spanyol tiba di Inggris segera setelah Perang Dunia Pertama, orang-orang panik dan bergegas membeli kina dan obat-obatan lain yang menyebabkan ancaman kekurangan pada tahun 1918.
Sejak itu, telah diamati berulang kali selama terjadinya banyak krisis, panic buying lebih sering terjadi di negara maju atau industri di mana orang berharap mereka dapat mengakses makanan dan barang-barang penting lainnya dengan mudah di supermarket.
Sebelum pandemi COVID-19, kasus panic buying juga terjadi selama pandemi SARS 2003 di China dan Hong Kong serta menyebabkan kekurangan garam, beras, cuka, minyak sayur, masker, dan obat-obatan untuk waktu yang singkat.
Penyebab terjadinya panic buying di Indonesia
Psikolog klinis dewasa dari Universitas Indonesia Mega Tala Harimukthi berpendapat ada beberapa hal yang menyebakan fenomena panic buying terjadi di Indonesia.
Menurutnya, kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat di Jawa dan Bali pada 3 Juli-20 Juli 2021, yang sebetulnya tidak perlu ditanggapi masyarakat dengan sikap panik.
Kebijakan yang dijalankan setelah setahun lebih pandemi COVID-19 bertujuan untuk menekan angka penyebaran kasus penyakit akibat virus corona (SARS-CoV-2) itu di Indonesia.
Menurutnya, masyarakat sebenarnya sudah punya pengalaman dibatasi kegiatannya pada tahun lalu melalui kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan baik-baik saja selama aturan dipatuhi.
Dalam kasus PPKM kali ini, mereka pun tidak perlu panik sehingga menimbulkan persepsi akan terjadi kelangkaan produk-produk kebutuhan sehari-hari di masa mendatang, kemudian mendorong keinginan memborong atau panic buying.
"Kondisi ini kami hanya dibatasi untuk tidak keluar kalau tidak ada kepentingan. Ini untuk kebaikan kita dan keluarga. Sebenarnya kita tahu kebutuhan bulanan keluarga apa saja, kita punya list-nya, semisal vitamin, makanan, cukup ikuti list itu, jadi tidak perlu bersikap cemas sampai panik," kata Tala melansir Antara.
Padahal menurutnya memborong barang belum tentu membuat seseorang merasa lebih baik. Tindakan ini justru bisa menyebabkan kelangkaan produk yang semestinya tidak perlu terjadi atau kalaupun tersedia harganya melambung tinggi dari biasanya.
Selain PPKM, panic buying yang terjadi saat ini juga karena masyarakat cemas pada angka kasus COVID-19 yang masih terjadi, bahkan meningkat dalam sebulan terakhir. Menurut Tala, panic buying saat ini pun tidak lagi logis atau benar-benar irasional.
"Gimana enggak, nyari vitamin saja susah, bahkan oximeter jadi harganya melambung dan akhirnya karena tidak semua berpikir positif dan baik. Akhirnya ada pihak-pihak yang memanfaatkan peluang ini untuk menjadi sebuah peluang bisnis," kata Tala.
Menurut Tala, banyak orang yang sehat pun terserang mentalnya. Mereka cemas akan terkena COVID-19 suatu hari nanti, misalnya. Saat mengalami sakit kepala, dia otomatis berpikir soal gejala COVID-19, padahal bisa jadi karena kebiasaan begadangnya. Pada akhirnya, kecemasan meningkat dan membuat sistem imunnya turun lalu terkena COVID-19 seperti apa yang dia pikirkan.
"Di kondisi second wave ini bukan hanya sakit fisik, tetapi sakit mental bertambah. Sakit mental ini yang jelas psikosomatis, kecemasan meningkat. Misal, karena begadang misal karena bekerja terus pegal, dia langsung asosiasikan itu dengan gejala COVID-19, yang akhirnya membuat imunnya drop dan jadi sakit beneran," pungkasnya.
Editor: Iswara N Raditya