Menuju konten utama

Apa Itu Katapleksi, Risiko & Cara Menanganinya Menurut Pakar

Ketahui apa itu katapleksi, dari gejala, penyebab, risiko dan cara menanganinya menurut dokter.

Apa Itu Katapleksi, Risiko & Cara Menanganinya Menurut Pakar
Ilustrasi. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Katapleksi adalah suatu kondisi yang menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan otot secara singkat.

Menurut National Institute of Neurological Disorder and Stroke (NINDS) seperti dilansir dari Everyday Health, kondisi ini merupakan gangguan pada otak yang menyebabkan hilangnya tonus dan kontrol otot secara tiba-tiba, dan bersifat sementara.

Katapleksi bisa terjadi pada orang yang hidup dengan gangguan tidur narkolepsi.

Beberapa orang, menurut WebMD, akan mengalami episode katapleksi hanya sekali atau dua kali dalam hidup mereka.

Sementara yang lain, bisa mengalami hingga 20 kali dalam sehari. Satu kali episode katapleksi biasanya hanya berlangsung beberapa menit dan akan hilang dengan sendirinya.

Katapleksi dipicu oleh emosi-emosi yang kuat dan menyenangkan, seperti tertawa, lelucon, serta kejutan.

Namun, emosi negatif, seperti frustasi, kemarahan, stres, atau ketakutan juga dapat memicu katapleksi, walaupun lebih jarang.

Gejala Katapleksi

Menurut WebMD, gejala katapleksi bervariasi mulai dari ringan hingga parah.

Jika mengalami gejala ringan, maka biasanya penderita akan mengalami kelemahan otot kecil di wajah, leher, atau lengannya yang terasa secara singkat. Misalnya, alis mungkin terkulai, dan ucapan Anda mungkin menjadi tidak jelas.

Sementara itu, jika mengalami serangan katapleksi yang parah, maka Anda akan merasa sangat lemas, drop tiba-tiba, lalu akan kehilangan kemampuan untuk bergerak, berbicara, atau membuka mata selama beberapa menit.

Pada saat itu terjadi, Anda akan tetap sadar. Namun, kemungkinan Anda akan jatuh telungkup dengan wajah Anda, sangat besar untuk terjadi.

Jika anak Anda mengalami katapleksi, maka ia akan menunjukkan tanda-tanda seperti ini:

  • Wajahnya kendur atau terlihat tidak segar;
  • Matanya setengah tertutup;
  • Anak Anda akan berjalan dengan goyah;
  • Lidah anak Anda mungkin akan sedikit keluar;
  • Anak Anda mungkin juga akan mengalami kelemahan ringan pada ototnya selama berjam-jam setelah episode katapleksi.

Penyebab dan Risiko Katapleksi

Dilansir laman Sleep Foundation, hingga saat ini penyebab katapleksi masih terus diteliti.

Hasil sementara dari penelitian itu ditemukan bahwa kebanyakan orang dengan katapleksi menunjukkan hilangnya sel-sel otak tertentu yang menghasilkan hormon orexin (juga disebut hypocretin). Orexin memainkan peran penting dalam siklus tidur-bangun.

Beberapa faktor penyebab hilangnya hormon orexin di antaranya adalah:

1. Gangguan autoimun:

Jika Anda memiliki gangguan autoimun, maka secara tidak sengaja tubuh akan menyerang jaringan sehatnya sendiri, dalam hal ini yaitu sel-sel otak yang menghasilkan hormon orexin.

2. Riwayat keluarga:

Sekitar 10% orang dengan narkolepsi tipe 1 memiliki kerabat dekat dengan gejala serupa.

3. Pernah mengalami cedera otak:

Cedera otak dan tumor dapat menyebabkan hilangnya sel otak yang mengandung orexin.

Beberapa faktor risiko, dari katapleksi tidak melulu terkait dengan narkolepsi. Sekitar 30% katapleksi terjadi akibat:

4. Penyakit Niemann-Pick tipe C (NPC):

NPC adalah kelainan genetik langka yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk mengangkut lipid seperti kolesterol di dalam sel, yang menyebabkan akumulasi zat lemak di jaringan tubuh.

Orang yang didiagnosis dengan NPC mungkin mengalami berbagai gejala neurologi, seperti gangguan kognitif, dementia, dan katapleksi.

5. Sindrom Prader-Willi:

Sindrom Prader-Willi adalah kondisi genetik yang dimulai pada masa kanak-kanak, yang menyebabkan gangguan makan dini, pertumbuhan dan perkembangan yang tertunda, dan nafsu makan yang tak terpuaskan.

Dalam kondisi ini, kegembiraan akan adanya makanan dapat menyebabkan katapleksi.

6. Sindrom Angelman:

Sindrom Angelman adalah kelainan genetik yang memengaruhi sistem saraf dan menyebabkan kecacatan intelektual, gangguan bicara, serta masalah dengan gerakan dan keseimbangan.

Cara Menangani Katapleksi Menurut Pakar

Menurut Dr. Eric J. Olson, seorang dosen dan spesialis di Mayo Clinic Rochester, Minnesota, serta anggota dewan the American Academy of Sleep Medicine, seperti dilansir dari Everyday Helath, tidak ada obat untuk katapleksi ataupun narkolepsi.

Gejala narkolepsi (termasuk katapleksi) biasanya berkembang selama beberapa bulan dan berlangsung seumur hidup.

Beberapa penderita katapleksi mungkin hanya akan mendapatkan satu atau dua serangan seumur hidupnya. Sedangkan yang lain mungkin akan mengalami beberapa serangan dalam sehari.

Dr. Olson menambahkan, tanpa diagnosis dan pengobatan yang tepat, gejala-gejala akibat katapleksi ini bisa berbahaya, termasuk mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari.

Intinya, masih dari Dr. Olson, para penderita katapleksi sebaiknya belajar untuk mengubah perilaku dan aktivitas mereka, agar dapat meminimalkan risiko terjadinya episode katapleksi.

Menurut Harvard Medical School, ada obat-obatan yang terbukti efektif untuk menangani katapleksi.

Obat-obatan ini dapat mengurangi serangan kataplektik hingga 90 persen, atau pada beberapa orang mungkin menghilangkan seluruhnya.

Menurut Dr. Lois E. Krahn, MD, seorang profesor psikiatri di Mayo Clinic, College of Medicine di Phoenix Arizona, serta seorang peneliti obat tidur dengan fokus khusus pada narkolepsi, ada obat-obatan yang dapat mengatasi katapleksi.

Obat-obatan itu memungkinkan orang tetap terjaga di siang hari, dan mendorong mereka untuk tidur di malam hari.

Obat-obatan itu, di antaranya: tricyclic antidepressants, seperti clomipramine, imipramine, dan desipramine, serta selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs).

Sodium oxybate yang diminum pada malam hari untuk obat penenang, telah terbukti efektif untuk mengobati kantuk di siang hari yang parah serta serangan katapleksi.

Selain obat-obatan, terapi perilaku kognitif (CBT), atau teknik pembelajaran untuk meningkatkan perilaku, dapat membantu orang mengelola beberapa gejala narkolepsi, termasuk katapleksi.

Selain itu, menghadiri konseling serta bergabung dengan support group untuk gangguan tidur, juga bisa membantu Anda untuk mempelajari strategi terbaik mengelola dan mengatasi gejala katapleksi.

Baca juga artikel terkait KATAPLEKSI atau tulisan lainnya dari Lucia Dianawuri

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Lucia Dianawuri
Penulis: Lucia Dianawuri
Editor: Dhita Koesno