Menuju konten utama

Apa Itu Catcalling dan Kenapa Termasuk Pelecehan Seksual?

Apa itu Catcalling dan mengapa disebut sebagai salah satu bentuk pelecehan seksual?

Apa Itu Catcalling dan Kenapa Termasuk Pelecehan Seksual?
Ilustrasi catcalling. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Bisa jadi beberapa dari Anda, pernah mengalami ini; dikomentari bentuk tubuhnya, diberi siulan panjang yang nadanya menggoda, atau diteriaki kata-kata yang bernada seksual. Kalau Anda pernah mengalaminya, itu berarti Anda pernah mengalami catcalling.

Anda harus tahu kalau catcalling itu bukan perkara sepele. Catcalling itu bukan bentuk apresiasi positif terhadap diri, kecantikan, atau ketampanan Anda. Karena ketika seseorang memberikan apresiasi positif, ia akan memberikannya dengan cara terhormat, tidak secara vulgar seperti yang sering dilakukan dalam catcalling.

Yang harus dicermati adalah, bagaimana apresiasi itu dilontarkan, dan dengan intensi apa. Kalau caranya sangat vulgar dan kasar, lalu intensinya negatif, maka lontaran kata-kata itu adalah bentuk pelecehan seksual, yang pada level-level tertentu bisa berdampak buruk bagi Anda.

Apa Itu Catcalling?

Menurut laman Modern Intimacy, catcalling adalah bentuk pelecehan yang seringkali berupa komentar-komentar bernada seksual, atau suara-suara yang dikeluarkan oleh seorang individu kepada individu lainnya di ruang publik.

Bentuknya bisa siulan, membunyikan klakson mobil atau motor, meneriakkan kata-kata vulgar, menguntit, atau banyak lainnya.

Sementara itu, menurut kamus Oxford sebagaimana dikutip dari jurnal online IAIN Tulungagung, catcalling diterjemahkan sebagai siulan, panggilan, dan komentar yang bersifat seksual.

Terkadang, dibarengi pula dengan tatapan yang bersifat melecehkan, yang membuat perempuan menjadi tidak nyaman.

Menurut William Castello, yang dikutip dari laman Modern Intimacy, perilaku catcalling itu muncul karena rendahnya kepercayaan diri, kekecewaan, serta rasa frustasi terhadap kehidupan yang dialami oleh si pelaku catcalling.

Ketika si pelaku melakukan catcalling, ia merasa seperti menemukan kebebasan, dan kekuasaan. Terutama saat ia melecehkan orang lain, yang ia anggap lebih lemah.

Pelaku catcalling ini biasanya seorang laki-laki. Walaupun tidak menutup kemungkinan, pelaku catcalling bisa juga perempuan.

Termasuk korban catcalling, bisa juga lelaki, karena menurut Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya, Sri Lestari, kekerasan seksual itu bisa terjadi pada siapa saja.

Catcalling adalah Pelecehan Seksual

Menukil laman UM Surabaya, Kementrian Agama pada 5 Oktober 2022 menetapkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 tahun 2022 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di satuan pendidikan pada naungan Kementerian Agama.

Menurut aturan baru itu, catcalling masuk dalam salah satu bentuk kekerasan seksual. Kekerasan seksual sendiri adalah perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan atau menyerang tubuh, maupun reproduksi seksual, karena ketimpangan relasi kuasa maupun gender.

Dosen Universitas Muhammadiyah, Sri Lestari, seperti dikutip dari laman UM Surabaya, mengatakan, menurut Kemenag ada 16 bentuk kekerasan seksual yang dijabarkan dalam PMA itu.

Di antaranya adalah kekerasan verbal, maupun non-verbal, fisik, non fisik, baik yang dilakukan secara langsung maupun online.

Secara jelas, tertulis dalam aturan Kemenag itu, bahwa siulan dan menatap yang bernuansa seksual, serta dilakukan di ruang publik adalah bentuk catcalling. Dan hal ini adalah bentuk pelecehan seksual terhadap individu lain.

Menurut Sri Lestari, dalam perspektif gender, catcalling adalah objektifikasi kepada korban yang diekspresikan lewat siulan, atau kata-kata bernada seksual yang secara spesifik ditujukan kepada fisik korban.

Dampaknya adalah, korban catcalling bisa merasa tidak nyaman, bahkan bisa mengalami kecemasan tak terkontrol, ataupun waspada berlebihan saat berada di ruang publik.

Inilah yang harus disadari oleh masyarakat secara umum. Catcalling itu bukan hal sepele, bukan candaan, dan terlebih lagi bukan sebuah pujian.

Catcalling adalah tindakan yang melanggar hak asasi, termasuk merendahkan martabat orang lain, dan bisa menimbulkan dampak negatif pada psikis korban.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Lucia Dianawuri

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Lucia Dianawuri
Penulis: Lucia Dianawuri
Editor: Yandri Daniel Damaledo