tirto.id - Setelah 120 hari terbaring di rumah sakit, Violet Evergarden terbangun. Ia anggota pasukan Leidenschaftlich Army yang bertugas di bawah komando Mayor Gilbert Bougainvillea.
Violet tak bangun dengan utuh, baik fisik maupun ingatannya. Prajurit yang ditemukan terhempas di tengah medan perang bagian Timur Laut itu kehilangan tangan dan harus menggunakan organ prostetik.
Ingatan Violet selalu terpaku pada perang dan perang dan Mayor Gilbert. Kolonel Hodgins, yang kemudian menemani Violet sejak tersadar di rumah sakit, mengingatkannya bahwa perang telah usai dan Violet harus segera move on dari kondisi yang penuh kekerasan. Terlebih, ia harus segera beranjak dari ingatannya akan Mayor Gilbert, sang komandan di medan perang sekaligus “pujaan” hatinya.
“Mayor Gilbert berpikir keras soal masa depanmu selepas perang berakhir,” ungkap Kolonel Hodgins, menjelaskan kondisi terkini yang harus dihadapi Violet, tanpa mengungkapkan dengan jelas bagaimana kondisi Mayor Gilbert pada Violet. Maka, masa depan yang telah dipikirkan itu ialah Violet yang mendaku diri sebagai “senjata” dan “alat” harus tinggal dalam keluarga Evergarden, yang kemudian nama keluarga ini melekat pada Violet, membaur dan pelan-pelan menjadi masyarakat biasa.
Tapi, Violet memberontak. Jati diri Violet yang dibentuk sebagai “senjata” dan “alat” menolak kondisi barunya.
Dengan tegas Kolonel Hodgins berucap: “Violet, perang sudah berakhir.”
“Aku adalah alat,” ungkap Violet. "Jika Mayor Gilbert sudah tidak membutuhkanku, seharusnya aku dibuang saja,” tegasnya kemudian.
“Tolong, buang saja aku,” rengek Violet.
Kolonel Hodgins jelas tak mengabulkan permintaan Violet. Namun, dengan statusnya kini sebagai direktur perusahaan yang didirikannya sendiri, Hodgins kemudian “mengasuh” Violet, menjadikannya “alat” dan “Boneka Kenangan Otomatis" bagi perusahaannya. Tugasnya sederhana: menulis surat berdasarkan permintaan orang lain alias ghostwriting.
Kisah Violet Evergarden yang berubah dari seorang prajurit menjadi ghostwriter surat, hadir dalam seri anime berjudul Violet Evergarden. Anime ini diangkat dari novel berjudul sama karya Kana Akatsuki dan Akiko Takase. Kyoto Animation mempublikasikan novel Violet Evergarden pada 25 Desember 2015. Lebih dari dua tahun berselang, tepatnya pada Januari 2018, Kyoto Animation mengadaptasinya sebagai anime. Hak siar 13 episode Violet Evergarden dipegang Netflix.
Bagi Kolonel Hodgins, pekerjaan menuliskan surat bagi orang lain ada karena masih banyak penduduk yang buta huruf.
Hilangnya Tradisi Berkirim Surat
“Aku percaya kamu tahu bahwa aku merindukanmu,” penggal sebuah surat yang dikirim pada bulan September 1982. “Kamu harus tahu, kepedulianku padamu seluas udara, dan rasa percaya diriku padamu sedalam lautan,” lanjut surat itu. Dengan tegas, pada akhir kalimat, surat menyatakan: “Cintaku kaya dan berlimpah untukmu.”
Surat itu ditulis oleh Barack Obama.
Berbeda dengan Donald Trump yang lebih menikmati menulis pendek di Twitter, Barack Obama, presiden Amerika Serikat yang tugasnya dilanjutkan Trump, rajin menulis surat cinta dalam rentang 1982 hingga 1984. Waktu itu kuliahnya dipindah dari Oriental College ke Columbia University. Surat cinta Obama dikirimkan ke pacarnya, Alexandra McNear, jauh sebelum ia kawin dengan Michelle LaVaughn Robinson yang kini dikenal sebagai Michelle Obama.
Emory University yang mengarsipkan surat-surat cinta Obama menyebut bahwa dalam surat yang dikirimnya, Obama sering menuturkan masalah-masalah perkuliahan hingga status sosial, dengan diiringi curahan hatinya pada sang pujaan hati.
Obama, termasuk dalam segelintir orang yang menulis surat fisik, bukan email. Catatan kantor pos Amerika Serikat menyebut, dalam sehari rata-rata 315.950 surat dikirim, tanpa merinci berapa surat cinta seperti milik Obama dan berapa surat pemberitahuan bank. Di sisi lain, ada 306 juta email terkirim tiap harinya.
Jon McGregor, dalam tulisannya di The Guardian, menyebut bahwa surat--lagi-lagi yang ditulis tangan dan dikirim via pos--adalah “seni yang telah lenyap dari dunia”. McGregor melakukan riset kecil-kecilan dan meminta orang untuk mengirimkan surat kepadanya. Menurut McGregor, banyak surat yang kemudian menyatakan permintaan maaf karena tulisan tangan si penulis buruk. Tak heran, umat manusia kini memang lebih sering menulis melalui tombol keyboard daripada pena di atas secarik kertas.
Bagi McGregor, perbedaan mendasar dari mengirim surat via pos dengan email adalah soal kesabaran. Berkabar melalui email atau pesan instan adalah soal kecepatan, soal centang satu, dua, dan dua centang yang berubah menjadi biru. Di sisi lain, mengirim surat via pos tak mewadahi itu. Butuh waktu lama untuk menulis surat. Butuh waktu yang lama pula bagi pak pos untuk mengirimkannya ke alamat tujuan.
Berkirim surat fisik adalah soal menunggu, menunggu, dan menunggu. Dalam rentang waktu yang dihabiskan untuk menunggu, tulis McGregor, apa pun bisa terjadi. “Pikiran bisa berubah, kematian dapat menjemput, dan cinta baru dapat tumbuh,” tulisnya.
Seperti apa yang diungkap Obama melalui suratnya kepada McNear pada 1983: “Sepertinya, kita akan selalu menginginkan apa yang tidak dapat kita miliki; itulah yang mengikat kita; itulah yang membuat kita (mungkin) berpisah.”
Maka, tatkala seseorang mengirim surat fisik, dalam analisis yang dilakukan McGregor, si penulis umumnya menyertakan keterangan, baik ruang dan waktu; “saya sedang duduk di meja makan; saya sedang berada di kebun; ketika duduk di bawah pohon apple; saya mendengar suara anak kecil bermain.”
Senada dengan McGregor, Lizzie Crocker dalam esainya di The Daily Beastmenegaskan bahwa surat fisik adalah seni yang hilang. Alasannya sederhana, menulis surat adalah pekerjaan berat dan menghabiskan waktu. Dalam anime Violet Evergarden, orang-orang bahkan harus menyewa ghostwriter untuk menulis surat yang mereka inginkan.
Satu hal lain yang sukar menggantikan surat fisik dengan surat elektronik, entah email atau pun pesan instan, adalah keotentikannya. Keotentikan surat fisik penting, khususnya apabila hendak digunakan oleh peneliti untuk mendalami si pengirim atau penerima surat. Sejarawan Erla Hulda Halldórsdóttir dalam “Fragments of Lives—The Use of Private Letters in Historical Research” (2007) menyebut bahwa surat fisik adalah “sumber historis” yang dapat menjadi rujukan untuk memahami dunia si pengirim surat.
Meneliti konstruksi gender di Islandia sejak 1850 hingga 1920, Halldórsdóttir memanfaatkan beberapa surat fisik dari warga Islandia sepanjang rentang waktu itu. Salah satunya adalah surat bertarikh 1868 yang ditulis Jakobına Jonsdottir alias Bina.
Menurut Halldórsdóttir, ketika membaca salah satu surat fisik yang ditulis Bina, ia merasakan “ada cinta yang tumbuh, gairah, ketulusan, hingga permasalahan privasi yang diungkapkan”.
“Dalam surat fisik pribadi yang dikirim, saya bisa membaca bagaimana perempuan Islandia menjalani kehidupan sehari-hari dan merasakan dunia yang mereka huni. Saya merasa hanya dengan menggunakan sumber-sumber seperti ini saya bisa lebih mudah memasuki dunia yang telah lenyap itu,” tulis Halldórsdóttir.
Apa yang diungkap Halldórsdóttir mungkin mirip dengan pembaca surat cinta Obama, yang menurut Lizzie Crocker adalah bentuk “komitmen Obama pada perasaannya”.
Dalam surat fisik umum ditemukan kata atau kalimat yang dicoret dan dikoreksi. Lazim pula muncul frasa aneh yang menciptakan pertanyaan bagi pembacanya. Menurut Crocker, ini adalah "bentuk proses berpikir si penulis surat yang terlihat", lain dengan menulis surat digital yang menihilkan coretan-coretan.
Melalui surat fisik pula keotentikan lebih mudah diuji. Apakah benar surat ditulis Obama, Bina, atau saya, peneliti dapat membandingkannya dengan dokumen-dokumen lain, misalnya buku catatan sekolah. Berbanding 180 derajat dengan surat digital, yang tulisannya hanya dibedakan melalui Times New Roman, Proxima Nova, atau Comic Sans yang dibenci umat manusia itu.
Terakhir, karena bentuknya yang fisik, dapat diraba, dapat dirasa, surat fisik lebih mudah diakses dan dilestarikan. Jauh berbeda dengan surat digital yang rentan hilang begitu saja.
Surat digital, jika si pengirim memiliki server sendiri, akan bertahan selama server dapat digunakan atau sewanya diperpanjang. Atau, jika menggunakan layanan seperti Gmail, Hotmail, hingga Yahoo, email akan bertahan sepanjang sesuai dengan kebijakan perusahaan. Yahoo misalnya, sebagaimana dicatat oleh Phys.org, pada 2013 lalu melakukan aksi bersih-bersih akun yang sudah lama tidak aktif. Nama-nama akun yang telah dihapus dapat diambil oleh pengguna baru Yahoo yang menghendaki.
Kisah tersebut serupa dengan “surat digital pendek” yang dikirim melalui Twitter atau Facebook. Ia akan bertahan selama Twitter atau Facebook menghendakinya. Tak hanya itu, jika si pemilik mengaktifkan tombol “privasi”, sukar bagi khalayak umum, khususnya peneliti, untuk mengaksesnya.
Kita mungkin mudah mengakses kicauan Donald Trump di Twitter hari ini untuk memahami jalan pikirannya. Tapi, siapa yang bisa memastikan Trump tidak memencet tombol protect atau bahkan delete untuk menghapus twit-twitnya?
Violet Evergarden, sebagai anime yang ditonton kalangan muda, rupanya lebih dari sekadar hiburan. Ia adalah ajakan untuk melestarikan budaya berkirim surat, seperti yang pernah saya lakukan pada pujaan hati, yang sayangnya tak berbalas.
Editor: Windu Jusuf