Menuju konten utama
Nasdem dan Anies

Anies Kembali, Nasdem Bunuh Diri?

Deklarasi capres Anies Baswedan oleh Partai Nasdem diperkirakan akan kontraproduktif untuk meningkatkan suara partai.

Anies Kembali, Nasdem Bunuh Diri?
Calon presiden yang diusung Partai Nasdem Anies Baswedan (kiri) menyampaikan pidato politiknya saat Deklarasi Calon Presiden Republik Indonesia Partai NasDem di NasDem Tower, Jakarta, Senin (3/10/2022). Partai NasDem resmi mengusung Anies Baswedan maju jadi capres untuk Pemilu 2024. ANTARA FOTO/Reno Esnir/rwa.

tirto.id - (Bagian pertama di tautan berikut: Sikap Pragmatis Anies Mengantarnya Kembali ke Pelukan Nasdem)

Tidak semua orang sepakat dengan keputusan Partai Nasdem memilih Anies Baswedan sebagai calon presiden untuk Pilpres 2024, termasuk kader sendiri. Setidaknya ada tiga orang yang terungkap mengundurkan diri: Ketua Departemen Bidang UMKM DPP Partai Nasdem Niluh Djelantik, Fredriek 'Didi Roa' Lumalente, dan Wakil Ketua Bidang Hubungan Eksekutif di DPW Nasdem Bali Anak Agung Ngurah Panji Astika.

Ini bukan kali pertama Partai Nasdem menghadapi hal seperti ini. Sebelum ini setidaknya ada dua keputusan penting organisasi yang memicu penolakan internal.

Pertama ketika pembentukan Partai Nasdem oleh Surya Paloh. Kita tahu bahwa partai ini cikal bakalnya adalah organisasi masyarakat dengan nama yang sama. Sebagian penggera ormas bergabung dengan partai, tapi sebagian lain mengundurkan diri.

“Tidak mengherankan jika sejumlah tokoh yang semula bergabung ke dalam ormas Nasdem akhirnya angkat kaki,” tulis Syamsudin Haris dalam buku Menuju Reformasi Partai Politik (2020).

Mereka yang tidak lanjut beralasan keputusan mem-partai-kan Nasdem tidak sesuai dengan tujuan awal. Ada pula yang melihat bahwa Nasdem akan menjadi partai yang bergantung pada ketokohan Paloh.

Salah satu yang keluar tidak lain adalah inisiatornya sendiri, Hamengkubuwono X. Sementara Anies, yang membacakan manifesto politik ormas Nasdem, memilih nonaktif.

Konflik kedua adalah ketika Paloh dan taipan media dari MNC Group Hary Tanoesoedibjo bersaing memperebutkan kekuasaan di Nasdem. Jurnal yang ditulis Yudistira dari Universitas Brawijaya berjudul Pelembagaan Partai Nasdem (2014) menyebut keduanya, karena sama-sama pemilik media, berperan mempromosikan Partai Nasdem setelah ditinggalkan para penggagas.

HT akhirnya kalah karena, mengutip buku Kuasa Padat Modal (2022), “memang saham Surya di Nasdem jauh lebih besar.” HT keluar diikuti loyalisnya baik dari DPP dan organisasi sayap. Mereka yang mundur antara lain Sekretaris Jendral Ahmad Rofiq, Wakil Sekretaris Jenderal Saiful Haq, dan Ketua Internal DPP Endang Tirtana.

Meski diterpa konflik internal semacam itu, toh Partai Nasdem tetap lolos ke parlemen di 2014. Sejak survei elektabilitas di tahun 2012 dan 2013, perolehan Partai Nasdem sebagai anak baru memang cukup meyakinkan, yakni 3,5% dan 6,9%.

Namun, keputusan merekrut Anies sebagai capres sepertinya punya dampak lebih besar dari dua kasus di atas, bahkan mungkin akan menggerus suara partai. Sebabnya tidak lain soal basis massa yang bertolak belakang.

Salah Strategi?

Partai Nasdem mendapatkan suara nasional sebanyak 6,74% pada Pemilu 2014 dan mengalami kenaikan pesat menjadi 9,05% di Pemilu 2019. Kenaikan ini salah satunya disebabkan oleh efek ekor jas atau coattail effect dari mendukung pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research Center (SMRC) Djayadi Hanan dalam artikel untuk Rumahpemilu.org menemukan, kendati lebih banyak pemilih Jokowi-Ma’ruf mencoblos PDIP, tapi Partai Nasdem termasuk salah satu yang mendapat keuntungan besar. Sekiranya 12% pemilih Jokowi-Ma’ruf juga memilih Partai Nasdem.

Jumlah pemilih Jokowi-Ma’ruf, jika dibulatkan, adalah 85,6 juta. Maka 12% dari itu sekitar 10,3 juta. Angka ini sebanding dengan 81% pemilih Partai Nasdem yang jumlahnya 12,7 juta.

Situasi sebaliknya terjadi pada pemilih Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Pasangan yang didukung kelompok konservatif seperti PA 212 dan GNPF Ulama tidak banyak yang mendukung Partai Nasdem. Ini beda dengan partai pendukung Jokowi lain, Partai Golkar, yang mendapatkan limpahan suara cukup banyak yaitu sebesar 10%.

Menjagokan Anies akan sulit bagi Nasdem persis karena mantan Gubernur DKI Jakarta ini lebih dekat dengan kelompok konservatif (Prabowo-Sandi) ketimbang gerbong Jokowi. Survei Asosiasi Riset Opini Publik (AROPI) tahun 2017 terhadap 400 orang responden menunjukkan bahwa pasangan Anies-Sandiaga pada Pilkada 2017 banyak didukung oleh mereka yang sepakat dengan pendirian Negara Islam di Indonesia.

Tentu saja Nasdem bisa saja merebut suara pendukung Jokowi. Tapi itu juga bukan perkara mudah. Hasil survei SMRC menunjukkan bahwa pemilih Jokowi cenderung berpihak ke Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo kemudian Prabowo. Pada Pada Desember 2021, 40,6% pendukung Jokowi memilih Ganjar dan 22,4% memilih Prabowo; Maret 2022, dukungan pada Ganjar menurun jadi 36,9% dan Prabowo meningkat jadi 26,3%.

Anies hanya dapat remah-remahnya sebesar 19,7% dan 20,3%. Perubahannya seiring waktu tidak signifikan.

Jika disederhanakan, rumusnya menjadi begini: pendukung Jokowi=pendukung Nasdem, dan mereka tidak menyukai Anies.

Identitas agama memang memainkan peran penting dalam memilih jagoan politik. Riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) sepanjang 2021-2022 menemukan orang Islam cenderung memilih Anies. Lagi-lagi ini tidak selaras dengan basis pendukung Partai Nasdem. Dari hasil Pilpres 2019 diketahui bahwa Partai Nasdem unggul di daerah-daerah yang relatif terdapat banyak Islam moderat atau bahkan non-Islam.

Penyumbang suara terbanyak Partai Nasdem dalam Pemilu 2019, sebesar 2,2 juta suara, tidak lain berasal dari Jawa Timur yang terdapat banyak kaum nahdiyin.

Di daerah yang banyak non-Islam, yaitu Sumatra Utara dan Papua, perolehan suara Partai Nasdem mencapai 12% dan 24% dari jumlah pemilih. Perolehan di Sumut mencapai dua kali lipat dibanding lima tahun sebelumnya, sedangkan di Papua Partai Nasdem-lah pemenangnya.

Di Jawa Barat, Partai Nasdem memang mendapat 1,2 juta suara. Jumlahnya membuat provinsi ini menjadi penyumbang suara terbanyak ketiga. Namun, jika dibuat persentase dari pemilih sebanyak 27,47 juta orang, maka Partai Nasdem hanya dipilih oleh 4,3% penduduk.

Infografik Nasdem di Pemilu 2019

Infografik Nasdem di Pemilu 2019. tirto.id/Sabit

Perkiraan sementara dari SMRC, dari Mei ke Agustus 2022, pendukung Anies yang memilih Partai Nasdem meningkat sebanyak 8,1%. Tentu saja inilah yang mereka harapkan, bahwa ada basis baru yang bisa ditarik.

Masalahnya, di sisi lain SMRC juga menyebut pemilih Partai Nasdem di Indonesia Timur mungkin akan turun karena faktor Anies. Selain itu, kendati dukungan dari massa Anies naik, tapi suara dari kelompok Islam belum banyak berkembang.

Merangkul Anies memang bisa saja menambah kuat posisi Partai Nasdem di daerah yang kelompok Islamnya kuat, misalnya Jawa Barat dan Banten. Tetapi jelas itu adalah pertaruhan yang cukup riskan karena bisa jadi yang terwujud adalah sebaliknya.

Selain untuk dirinya sendiri, Partai Nasdem jelas butuh usaha super ekstra untuk menyokong Anies. Terbukti, dalam Pilpres 2019 kemarin, kekuatan kelompok Islam saja tak cukup membuat Prabowo jadi presiden.

Paloh mengatakan mengapa partainya mendukung Anies adalah karena dialah yang paling pantas. “Kenapa Anies Baswedan? Jawabannya adalah why not the best?” katanya. Soal kedekatan dengan kelompok konservatif, pejabat Partai Nasdem yang lain mengatakan bahwa itu adalah salah satu hal yang harus diklarifikasi di kemudian hari.

Masa depan Anies jelas masih abu-abu. Tapi ada satu hal yang pasti: seperti Jokowi dengan kekuatan media milik Surya Paloh di belakangnya di masa lalu, wajah Anies juga akan muncul di berbagai tempat.

Baca juga artikel terkait ANIES BASWEDAN atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino