tirto.id - Sikap Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hasil Muktamar Surabaya Romahurmuziy atau Romy yang menolak hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata berbeda dengan Ketua PPP hasil Muktamar Jakarta alias kubu Djan Fariz. Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PPP kubu Djan Faridz Sudarto mengatakan pihaknya justru mendukung manuver DPR tersebut.
"Ingat fungsi DPR RI sebagai pengawas pelaksana UU," kata Sudarto di Jakarta, Minggu (30/4/2017) kepada Antara.
Sudarto mengingatkan Romy saat PPP mengalami masa sulit yang dihadapkan persoalan mantan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali terlibat kasus korupsi penyelenggaraan ibadah haji juga menyeret Hazrul Azwar dan Muchlisin karena namanya disebut jaksa penuntut umum namun status hukumnya masih menggantung.
Selain itu, Sudarto mengungkapkan Romy juga pernah menjadi saksi dugaan kasus korupsi alih fungsi lahan kawasan hutan di Riau dan "light trap" yang masih belum ditindaklanjuti KPK.
"Itu akibat DPR RI tidak bisa melakukan komunikasi dengan KPK," ungkap Sudarto.
Sebelumnya, Romy memerintahkan anggotanya yang menjadi anggota DPR RI termasuk Arsul Sani untuk mencabut tanda tangan usulan hak angket terhadap KPK sebagai bentuk penolakan. Awalnya Arsul mendukung hak angket KPK, namun saat ini Romy telah menentukan sikap menolak hak angket KPK sehingga Arsul yang menjadi anggota Komisi III Bidang Hukum DPR RI menghadapi dilema.
Sudarto mengatakan DPR RI memiliki kewenangan mengawasi pelaksana UU seperti KPK, Polri maupun Kejaksaan sesuai UU Nomor 6 Tahun 1954 tentang hak angket DPR RI. ndang-undang yang mengatur hak angket bagi DPR, katanya, bersifat "lex specialis" sehingga kedudukannya lebih tinggi dari kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) dan kitab undang-undang pidana (KUHP).
"Contohnya DPR RI bisa melakukan impeachment," ujarnya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan