tirto.id - Mari kita mulai dari cuitan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di akun Twitter-nya soal masalah yang sensitif di tahun politik.
"Kalau mau menyenangkan semua orang, tinggal menyebar subsidi, Bansos, atau BLT sebanyak-banyaknya. Tapi jangan mendidik masyarakat dengan hal instan," kata Joko Widodo lewat akun Twitter-nya, @jokowi.
Konteks ucapan Jokowi ini tak terlepas dari fokus pemerintah yang selama 4 tahun lebih mengalihkan uang negara ke proyek-proyek infrastruktur atau produktif. Tujuannya, kata Jokowi untuk "bangun pondasi dan pilar kokoh, meski prosesnya pahit dan sakit, agar bangsa ini kuat dan tak mudah terseret gelombang".
Namun, pertanyaan yang mendasar dari cuitan Jokowi itu adalah, apakah anggaran seperti bantuan sosial (bansos) malah justru membesar di eranya? Benarkah tak ada program instan semacam Bantuan Langsung Tunai (BLT) seperti yang pernah ada di era pemerintah sebelumnya?
Data-data resmi pemerintah menunjukkan, pada APBN 2019 pemerintah menetapkan anggaran bantuan sosial sebesar Rp103,24 triliun. Anggaran tersebut rencananya akan dipergunakan untuk pelaksanaan program prioritas seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Sosial Rastra/Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Anggaran yang ditetapkan pemerintah tersebut naik 74,84 persen dari anggaran tahun ini sebesar Rp77,26 triliun.
Dana bansos memang sensitif terutama di tahun-tahun politik, sehingga menimbulkan respons negatif politikus bila ada kenaikan anggaran, salah satunya dari Partai Gerindra. Juru Bicara Fraksi Partai Gerindra Ramson Siagian menduga kenaikan anggaran tersebut berkaitan dengan tahun politik, di mana pada 2019 digelar pemilihan presiden.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani membantah kenaikan anggaran tersebut dikaitkan dengan keikutsertaan Jokowi pada Pilpres 2019 mendatang. Menurutnya bantuan sosial adalah hal yang selalu dilakukan pemerintah setiap tahunnya untuk mengentaskan kemiskinan. "Itu kami coba lakukan dengan hati-hati dan waspada, sesuai lah," ujar Sri Mulyani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, (28/8/2018).
Pesan yang disampaikan Sri Mulyani adalah penegasan dari cuitan Presiden Jokowi di awal tulisan. Khusus soal dana bantuan sosial, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), dalam kurun waktu 2007 hingga 2018 anggaran bantuan sosial punya kecenderungan meningkat walaupun sempat mengalami penurunan.
Pada 2008 di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), anggaran bantuan sosial memang masih kecil hanya sebesar Rp57,74 triliun. Nilai tersebut dipergunakan di antaranya untuk kompensasi kenaikan harga BBM sebesar Rp3,85 triliun dan bantuan langsung sekolah/Lembaga/guru sebesar Rp28,09 triliun. Nilai tersebut naik pada tahun berikutnya menjadi Rp73,81 triliun. Porsi bantuan sosial pada belanja pemerintah pusat juga ikut naik menjadi 11,47 persen dari tahun sebelumnya sebesar 8,33 persen. Komponen dengan porsi terbesar yaitu bantuan langsung sekolah/Lembaga/guru Rp43,94 triliun.
Jelang Pilpres 2009, pemerintahan SBY kembali menggulirkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang pernah dilakukannya pada awal masa menjabat. Bantuan sebesar Rp3,81 triliun tersebut disalurkan dalam waktu dua bulan. SBY kembali menjabat sebagai presiden untuk periode kedua pada tahun yang sama. Pada 2009, total dana bantuan sosial mencapai Rp73,81 triliun.
Di tahun pertama periode kedua SBY menjabat atau 2010 belanja bantuan sosial sempat turun ke Rp68,61 triliun. Namun setelahnya, belanja bantuan sosial cenderung meningkat hingga mencapai Rp92,14 triliun pada 2013.
Kebijakan yang sama kembali dilakukan SBY pada tahun terakhir jabatannya. Selain menaikkan belanja bantuan sosial menjadi Rp97,92 triliun, pemerintahan SBY juga mulai menyalurkan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. BLSM pada dasarnya hanya nama baru dari BLT yang pernah ada. Namun SBY tidak ikut bertarung di arena Pilpres 2014 karena sudah menjabat selama dua periode.
Pilpres tersebut dimenangkan Jokowi dan Jusuf Kalla (JK) sebagai presiden dan wakil presiden pada 2014. Pada tahun 2015, jumlah bantuan sosial yang disalurkan pemerintahan Jokowi tidak berubah signifikan dari tahun sebelumnya. Dengan nilai sebesar Rp97,15 triliun, pos tersebut paling banyak disalurkan untuk pemberdayaan sosial sebesar Rp40,67 triliun.
Dalam penyaluran bantuan sosial pada era pemerintahannya, Jokowi memilih proses penyaluran secara non-tunai yang dengan embel-embel harapan agar transparan dan akuntabel. Selain itu pemerintahan Jokowi juga mengkonversi beras sejahtera (Rastra) menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Tahun selanjutnya, pos bantuan sosial menurun signifikan menjadi Rp49,61, hampir setengah dari yang dikeluarkan pada 2015.
Dalam LKPP 2016, pemerintah beralasan penurunan belanja sosial dikarenakan adanya reklasifikasi belanja bantuan sosial pada beberapa kementerian. Misalnya belanja sosial menjadi belanja barang yang kemudian diserahkan pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Selain itu pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bantuan sosial direklasifikasikan menjadi belanja pegawai (tunjangan guru).
Selain itu, ada program Padat Karya Tunai ini diatur di dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri; Menteri Keuangan; Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional.
Hal tersebut dapat terlihat dari porsi bantuan sosial yang turun menjadi 4,30 persen dari tahun sebelumnya sebesar 8,21 persen terhadap belanja pemerintah pusat. Sementara porsi belanja barang dan pegawai pada belanja pemerintah pusat mengalami kenaikan.
Meskipun sempat turun secara signifikan, anggaran belanja bantuan sosial kembali merangkak naik menjadi Rp55,30 triliun pada 2017 dan ditargetkan sebesar Rp77,26 triliun pada APBN 2018. Kenaikan anggaran bantuan sosial yang cukup signifikan pada APBN 2019 mengulang pola lama yang terjadi pada masa-masa menjelang tahun politik era sebelumnya, terjadi pada 2009 dan 2014.
Pemerintah bisa saja mengelak soal kenaikan dana bantuan sosial bertujuan untuk kepentingan elektoral. Namun, rekam catatan anggaran bantuan sosial menjelang Pemilu pada masa lalu jadi buktinya, hanya berbeda nama dan pendekatan saja dengan modifikasi oleh pemerintah.
Editor: Suhendra