tirto.id - Pada 1987, saat Konferensi Standardisasi Nama-Nama Geografi digelar di Kanada, Pemerintah Indonesia menyampaikan laporan ke PBB bahwa pulau-pulau di Indonesia telah bertambah dari 13.667 menjadi 17.508.
PBB lalu meminta Pemerintah Indonesia untuk menyampaikan daftar nama-nama pulau tersebut ke PBB. Jurnal Pandecta yang terbit Juli 2011, menyebutkan Indonesia memiliki 17.504 pulau sesuai data pada Desember 2007. Ada sedikit perubahan angka dari sebelumnya. Dari 17.504 pulau itu, hanya 6.900 pulau yang memiliki nama.
Tahun 2015, jumlah pulau bernama bertambah dari 6.900 menjadi 13.466 pulau. Meski begitu, masih ada sekitar 4.000 pulau yang belum punya nama.
Pekan lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan bicara kepada media soal rencana pemerintah mempersilakan Jepang mengelola pulau-pulau di Indonesia. Luhut bahkan mengatakan pihak investor asing diperbolehkan memberi nama pulau-pulau yang belum bernama itu.
"Apalah sebuah nama, yang penting registered [terdaftar] punya Indonesia, dicap Kementerian Dalam Negeri dan mengikuti aturan Indonesia," ujarnya seperti dikutip Antara, (9/1).
Pernyataan Luhut itu kemudian menuai pro dan kontra. Pernyataan itu juga mengundang komentar-komentar dari politisi lainnya. Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon bahkan menilai menyerahkan pemberian nama pulau kepada pihak asing sebagai iming-iming investasi bukanlah hal yang bijak.
“Bayangkan kalau pulau itu dinamakan nama-nama yang tak pantas seperti Pulau Hitler atau Pulau Escobar,” kata Fadli.
Di media sosial, banyak yang menanggapi pemberitaan tersebut dengan mengusulkan nama pulau, mulai dari Mukidi hingga Om Telolet Om. Apakah pulau-pulau yang saat ini tak bernama boleh diberi nama Hitler, Escobar, Mukidi, Om Telolet Om, Shinzō Abe, atau π.r2? Katakanlah pernyataan Luhut soal akan menyerahkan pemberian nama ke pihak Jepang benar terjadi, apakah sang investor itu bisa memberi nama sesukanya?
Tidak, pulau tak bisa diberi nama sesukanya. Ada aturan dan beberapa prinsip yang harus Aturan pemberian nama pulau ini sebenarnya sudah dibakukan sejak 2006. Tak hanya pulau, aturan itu berlaku bagi segala unsur fisik di permukaan daratan, lautan, sampai ke bawah permukaan laut, selama ia bisa dikenali. Jadi, pemberian nama sungai, danau, gunung, laut, lembah hingga palung juga diatur.
Sepuluh tahun lalu itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) N0. 112/2006 tentang Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional yang kini bernama Badan Informasi Geospasial ditunjuk sebagai penanggung jawab saat itu.
Rupabumi yang dimaksud dalam aturan itu tak hanya tempat-tempat yang muncul secara alami. Tempat-tempat yang dibuat dengan sengaja oleh manusia seperti terowongan, terusan, bandar udara, hingga bendungan pun termasuk dalam kategori rupabumi.
Prinsip pertama yang tak boleh dilanggar adalah pemberian nama harus memakai huruf romawi. Tak boleh ada huruf diakritik seperti á, â, è, é, ö dan sejenisnya. Jadi, walaupun menggunakan bahasa daerah, huruf diakritik tak boleh digunakan. Dalam bahasa daerah Aceh, beberapa kata menggunakan huruf diakritik untuk membedakan cara membaca.
Prinsip kedua menyatakan bahwa satu rupabumi hanya memiliki satu nama resmi. Satu rupabumi boleh saja disebut dengan berbagai nama, tetapi nama resminya hanya satu. Orang-orang boleh saja menyebut Aceh sebagai Serambi Mekah atau sebutan-sebutan lain. Tetapi, nama resmi untuk provinsi yang ada di paling Barat Indonesia adalah Aceh.
Pemberian nama rupabumi boleh menggunakan nama lokal yang sudah digunakan penduduk setempat. Ia bisa juga menggunakan nama generik seperti Nusa atau Meos yang berarti pulau atau Sei atau Krueng yang berarti sungai. Tidak boleh ada muatan penghinaan terhadap SARA dalam pemberian nama.
Dalam prinsip-prinsip itu disebutkan dengan jelas bahwa pemberian nama pulau tak boleh menggunakan nama asing. Jadi jika nanti investor Jepang memberi nama pulau dengan Bahasa Jepang, itu jelas bertentangan dengan aturan ini.
Nama pulau juga tidak boleh menggunakan nama diri, baik nama instansi maupun nama orang yang masih hidup. Kecuali orang itu dianggap berjasa luar biasa di wilayah itu atau secara nasional dan sudah meninggal sekurang-kurangnya lima tahun.
Jadi jelas sekali, nama Pulau Hitler atau Pulau Escobar yang dikhawatirkan Fadli Zon tentu tak akan muncul sebab bertentangan dengan aturan. Kecuali ada upaya-upaya mengubah aturan agar investor bisa memberi nama pulau sesuka hati.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Maulida Sri Handayani