Menuju konten utama

Anak Muda Perkotaan Lebih Cair Memandang Norma Gender

Anak muda perkotaan baik laki-laki maupun perempuan cenderung merespons positif kampanye kesetaraan gender. Namun, tetap pemilih dalam soal sirkel diskusi.

Anak Muda Perkotaan Lebih Cair Memandang Norma Gender
Ilustrasi kesetaraan gender. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Perempuan boleh bekerja, asal tidak meninggalkan kewajiban sebagai ibu di rumah.”

Terdengar familier, bukan?

Kebanyakan norma gender kita mendikotomisasi peran antara laki-laki dan perempuan. Para perempuan dikonstruksikan lemah lembut, harus menanggung kewajiban sebagai “pengurus” keluarga. Sementara itu, laki-laki diasosiasikan sebagai yang kuat dan penanggung jawab nafkah utama.

Norma gender merupakan atribut, karakteristik, peran, dan aturan perilaku yang dibentuk masyarakat atau komunitas dan dilekatkan kepada perempuan dan laki-laki pada titik waktu tertentu.

Norma sosial yang diskriminatif menciptakan stereotip gender tentang kemampuan perempuan. Bahkan Riset Investing in Women dan Lembaga Demografi UI (2021) menunjukkan bahwa norma gender merupakan salah satu penghambat partisipasi ekonomi perempuan di Indonesia.

“Terjadi pengurangan partisipasi angkatan kerja. 1,3 juta perempuan meninggalkan kerja formal,” jelas Retna Hanani, peneliti dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dalam paparan webinar beberapa waktu lalu.

Besaran angka yang disebut Retna mengacu pada Gender Gap Index Indonesia dalam Partisipasi Ekonomi (World Economic Forum, 2022).

Peran sosial juga turut memperkuat idealisasi norma gender sehingga makin mendorong perempuan kembali ke dalam ruang tradisional.

Perempuan jadi terus menanggung beban pekerjaan perawatan—yang tetap dianggap sebagai sektor “non produktif” dan tak berbayar. Apalagi saat pandemi COVID-19 menyerang, narasi “women as a better carer than men” makin kuat dan dilanggengkan.

Padahal, norma-norma gender semacam ini melahirkan spektrum masalah baru selain yang nampak di permukaan seperti masalah ekonomi. Tak cuma di sisi perempuan saja, tapi juga laki-laki.

Laki-laki diidealisasi harus menanggung beban sebagai manusia kuat tanpa celah. Ia harus mapan, tak boleh cengeng, tak boleh terlihat “nganggur” jika tak mau harga dirinya tergadai karena omongan tetangga. Tumpukan beban dan emosi negatif ini bisa saja berakhir menjadi kasus gangguan kesehatan mental atau lebih parah memicu kasus kekerasan.

“Ketika laki-laki merasa tidak bisa memenuhi harapan masyarakat tentang maskulinitas, kondisi itu memunculkan stres, depresi, permusuhan, dan kecemasan,” tulis studi yang disusun McCreary dkk. (April 1996).

Di sisi perempuan, norma gender tak luput memberi efek pada kesehatan fisik dan mental. Misalnya norma gender caregiveryangmemersepsikan perempuan sebagai pengasuh utama anak dan keluarga. Norma ini turut membikin risiko stres pada perepuan jadi lebih tinggi.

“Jumlah stressor yang memengaruhi caregiver lebih tinggi dibandingkan non-caregiver, dan perempuan lebih sering jadi pengasuh daripada pria,” tulis Eric Mayor, Periset Senior di Universitas Basel dalam artikel bertajuk "Gender roles and traits in stress and health" (2015).

Yang Muda Menentang Norma

Norma gender yang diskriminatif sudah lama terbentuk. Begitupun dengan efek domino yang dirasakan, baik oleh perempuan maupun laki-laki. Namun, sebuah studi belakangan memberi angin segar terhadap peluang norma yang lebih cair.

LP3ES melakukan penelitian kualitatif pada rentang 1 April 2020-31 Mei 2022 lalu. Penelitian mereka melihat perspektif norma gender pada anak muda perkotaan usia 18-39 tahun atau kelahiran 1981-2000.

Hasilnya mengungkap bahwa ada total 2.480.486 mentions berupa reply, like dan retweet di Twitter dengan pembicaraan paling banyak mengenai norma gender.

“Anak muda perkotaan baik laki-laki maupun perempuan relatif merespons positif kampanye tentang kesetaraan gender,” papar Retna selaku salah satu tim peneliti.

Lokasi perbincangan norma gender terbanyak berada di Pulau Jawa, didominasi penduduk Jakarta (33,4 persen), lalu Surabaya (9 persen), dan Bandung (7,8 persen). Milenial urban pengguna media sosial mayoritas berada di rentang umur 18-29 tahun (85 persen) dan umur 30-40 tahun (15 persen).

Para peneliti LP3ES menarik kesimpulan deduktif bahwa respon positif terkait norma gender didapat dari responden yang telah memiliki perspektif kesetaraan gender. Positif artinya responden mendukung kesetaraan gender, sedangkan negatif berarti menolak kesetaraan gender.

Infografik Norma Gender di Mata Muda-Mudi

Infografik Norma Gender di Mata Muda-Mudi. tirto.id/Fuad

Selain norma gender caregiver, para periset juga melihat norma lain seperti breadwinner: persepsi bahwa laki-laki sebagai pencari nafkah utama. Lalu, job segregation: persepsi adanya perbedaan jenis pekerjaan berdasarkan identitas gender. Terakhir leadership: persepsi bahwa perempuan lebih baik sebagai peran pembantu dan laki-laki sebagai pemimpin.

“Tren leadership memiliki jumlah perbincangan paling banyak, disusul breadwinner, caregiver, lalu job segregation,” tutur Nurul Hasfi, Analis Media Sosial LP3ES.

Nurul mengatakan topik norma gender dengan sentimen paling positif adalah terkait caregiver (80,97 persen), disusul job segregation (63,94 persen), breadwinner (53,95 persen), dan terakhir leadership (51,86 persen).

Hasil itu menunjukkan bahwa kesadaran anak muda tentang kesetaraan gender, terutama pada isu caregiver, sangat tinggi. Artinya, sudah lebih banyak anak muda yang sadar bahwa tugas pengasuh bisa dikerjakan oleh siapa pun, bukan hanya perempuan.

Perbincangan mengenai leadership pada lima unggahan terpopuler turut menunjukkan kesadaran bahwa perempuan memiliki hak menjadi pemimpin. Dari total 2,4 juta pembicaraan mengenai norma gender, topik leadership mendapat sekitar 860 interaksi di Twitter, Instagram, Facebook, dan YouTube.

“Para anak muda ini juga membicarakan isu-isu soal kodrat, seperti di Islam ada fitrah laki-laki dan perempuan yang berbeda, di luar lingkaran utama mereka,” ujar Retna.

Kendati anak muda perkotaan sudah cukup terbuka dalam membicarakan kesetaraan gender, mereka tetap menerapkan batasan untuk memilih kelompok diskusi. Di luar lingkaran utama, mereka cenderung membicarakan isu-isu yang tidak terlalu kontroversial.

“Mereka khawatir mendapatkan label sebagai feminis, pemberontak, tidak patuh kepada orang tua, dan label buruk lain.”

Jika lawan bicara mempersepsikan feminis sebagai kelompok yang kasar dan mendominasi pembicaraan, mereka khawatir label tersebut justru mempengaruhi citra diri orang yang membicarakan kesetaraan gender.

Ya, kita memang sudah ada di pengujung 2022, tapi stigma tentang gender dan normanya masih belum benar-benar cair. Padahal, dunia agaknya akan lebih damai jika laki-laki dan perempuan mendapat kesempatan ekonomi dan sosial yang sama.

Laki-laki bisa jadi bapak rumah tangga, perempuan bisa menempati posisi strategis dalam usaha-usaha ekonomi, atau bersama berkolaborasi dalam kerja-kerja pengasuhan dan domestik.

Baca juga artikel terkait NORMA GENDER atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi