tirto.id - Anak perempuan dari keluarga miskin berisiko dua kali lebih besar terjerat dikawinkan pada usia anak. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Susana Yembise mengatakan hal ini saat menjadi pembicara kunci pada Diskusi Media tentang "Perkawinan Anak" di Jakarta, Senin.
"Perkawinan usia anak identik dengan perjodohan yang dilakukan orang tua dengan alasan ekonomi," katanya.
Yohana mengatakan angka perkawinan usia anak yang tinggi di Indonesia tidak lepas dari tingkat pendidikan yang rendah, angka kemiskinan, norma sosial budaya yang berlaku dan ketidaksetaraan gender dalam keluarga.
Sementara itu, Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Lenny N Rosalin mengatakan perkawinan usia anak akan melanggengkan kemiskinan.
Bila anak kawin, sebagian besar akan berhenti bersekolah. Bila dalam perkawinan tersebut lahir anak, maka orang tua yang masih anak-anak itu harus menghidupi dan bekerja.
"Karena tidak memiliki pendidikan yang tinggi, pasti dia bekerja dengan upah yang rendah. Bila upahnya rendah, maka daya belinya juga akan rendah. Akibatnya, tetap akan terjebak pada kemiskinan," ujarnya.
Karena itu, Kementerian PPPA mendorong Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan untuk mencegah perkawinan anak yang merupakan pelanggaran hak anak.
Substansi revisi Undang-Undang yang didorong adalah menaikkan batas usia perkawinan, membatasi dispensasi perkawinan dan menambah pasal upaya pencegahan perkawinan usia anak.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan satu dari empat anak perempuan di Indonesia telah menikah pada umur kurang dari 18 tahun pada 2008 hingga 2015.
Tercatat 1.348.886 anak perempuan telah menikah di bawah usia 18 tahun pada 2012. Bahkan, setiap tahun sekitar 300.000 anak perempuan di Indonesia menikah di bawah usia 16 tahun.