tirto.id - Kisah Freddie Mercury dengan Mary Austin berakhir, ketika Mary memutuskan untuk meninggalkan Freddie. Freddie yang juga seorang biseksual memilih untuk tidak lagi berhubungan dengan seorang wanita sampai kematian menjemputnya.
Mary adalah perempuan terakhir yang bisa ia cintai. Tidak cukup dengan kesedihannya, Freddie kemudian menulis lagu dan ia nyanyikan bersama teman-temannya tentang kisah sedihnya. Lagu tersebut begitu populer dan abadi hingga kini.
Bring it back, bring it back,Don’t take it away from me because you don’t know what it means to meLove of my life.
Selain lagu Love of my life dari Queen, sejumlah lagu-lagu sedih lahir dari para musisi dan membentuk suasana hati bagi para pendengarnya. Namun, musik juga jadi perangkat yang memberi motivasi, inspirasi, bahkan sebagai penyembuh. Bagi sejumlah orang, musik sedih tidak cukup didengar dan dimainkan, tapi juga dibawa ke ranah kontemplasi. Penghayatan inilah yang diyakini mampu memengaruhi tingkat emosi.
Plato pernah mengatakan bahwa musik merupakan hukum moral. Dia memberi jiwa kepada alam semesta, memberi sayap kepada pikiran dan imajinasi, memberi keceriaan pada kesedihan, memberi kegembiraan dan kehidupan kepada segala hal. Musik adalah esensi keteraturan dan membawa pada semua hal yang baik, adil, dan indah.
Pengaruh musik terhadap kondisi psikologis seseorang telah diungkapkan oleh para peneliti. Misalnya penelitian musik dan emosi yang diinisiasi oleh peneliti psikologi musik, Kate Hevner, yang mengungkapkan musik sanggup membuat pendengarnya sedih, bahagia, gelisah, takut, tenang, dan ragam perasaan lainnya. Musik terangkai dari elemen tempo, pitch, pulse, timbre, tekstur, volume, dan style. Elemen-elemen tersebut yang mampu membuat pendengar merasakan emosi tertentu.
Emosi merupakan komponen utama dari reaksi manusia dalam menanggapi berbagai jenis stimulus. Seseorang menggunakan musik untuk mengubah emosi, melepaskan emosi, mencocokkan emosi mereka sebagai hiburan, dan untuk mengurangi stres. Khusus musik sedih identik dengan tempo yang lambat, harmoni minor, dan cukup konstan pada pitch dan volume.
Profesor John Sloboda dari dari Guildhall School of Music and Drama, dan Susan O’neil dari Simon Fraser University, dalam penelitian yang berjudul Emotions in everyday listening to music, menyatakan bahwa dengan mendengarkan musik tempo lambat dapat mengurangi efek negatif dari stres.
Penelitian dilakukan dengan mengukur kadar kortisol pada air liur pasien yang mengalami stres. Ternyata terdapat perbedaan kadar kortisol setelah pasien diperdengarkan musik. Ai Kawakami dan teman-temannya dari jurusan Seni Tokyo University melakukan penelitian bersama RIKEN Brain Science Institute. Dalam penelitian tersebut, mereka melibatkan 44 sukarelawan. Para sukarelawan yang antara lain terdiri dari musisi maupun masyarakat awam diminta untuk mendengarkan musik sedih dan musik bernada gembira.
Kemudian para partisipan diminta menggunakan seperangkat kata kunci untuk menilai persepsinya tentang musik dan keadaan emosional mereka sendiri. Musik bernada ceria yang diperdengarkan adalah Allegro de Concierto yang dimainkan di G major. Musik sedih yang diperdengarkan antara lain 'La Separation' dari Glinka yang dimainkan di F minor, serta Etude 'Sur Mer' dari Blumenfeld yang dimainkan di G minor.
Ai Kawakami menjelaskan musik sedih mampu membangkitkan emosi yang berlawanan. Hal ini karena para peserta penelitian cenderung merasa musik sedih lebih tragis, kurang romantis, dan kurang gembira ketimbang kondisi mereka saat mendengarkan musik tersebut.
Peneliti juga menemukan hal menarik bahwa musik yang dianggap sedih sebenarnya juga menginduksi emosi romantis dan membangun suasana positif. Inilah yang kemudian membuat beberapa orang menyukai alunan musik sedih.
Campbell, seorang ahli biologi dalam bukunya, Efek Mozart, menuliskan tentang beberapa penelitian yang menyatakan bahwa musik ringan dan rileks yang menenangkan seorang bayi, ternyata juga memiliki efek serupa jika diberikan pada hewan. Tumbuhan juga bereaksi terhadap musik. Beberapa penelitian menemukan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara pertumbuhan tumbuhan yang diiringi musik dan tanpa diiringi musik.
Rita Eka Izzaty, pengajar Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, FIP, UNY menuliskan dalam penelitiannya terkait musik dan perkembangan diri bahwa kemampuan-kemampuan seperti sinkronis, ritme, visual, urutan dalam pergerakan, makin dioptimalkan melalui stimulasi dengan memperdengarkan musik klasik. Kemampuan belajar anak dapat ditingkatkan dengan stimulasi dari ketukan, melodi, dan harmoni minor dari musik klasik. Melalui musik klasik anak mudah menangkap hubungan antara waktu, jarak dan urutan (rangkaian) yang merupakan keterampilan yang dibutuhkan untuk kecakapan dalam logika berpikir, matematika dan penyelesaian masalah.
Dalam Quantum Learning dijelaskan juga bahwa musik dengan harmoni minor ini dapat memengaruhi proses belajar. Para peneliti menemukan bahwa siswa yang mendengarkan musik Mozart tampak lebih mudah menyimpan informasi dan memperoleh nilai tes yang lebih tinggi. Efek Mozart ini mengacu pada peningkatan performa atau perubahan dalam aktivitas neuro‐fisiologis dihubungkan dengan mendengarkan musik Mozart. Efek ini terbukti memberikan peningkatan pada subsekuen tes IQ spasial.
Neurofisiologis otak berubah ketika mendengarkan efek musik Mozart telah diobservasi menggunakan electroencephalograph (EEG) dan pengukuran koheren. Perubahan dalam EEG dan koheren terutama pada area temporal. Studi lain menemukan tiga dari tujuh subyek mengalami peningkatan aktivitas frontal kanan dan temporal‐parietal kiri setelah diperdengarkan Mozart Sonata.
Dalam Brain Management for Self Improvement dituliskan bahwa musik dapat memengaruhi otak. Hubungan saling mempengaruhi ini terutama diproses oleh komponen otak yang terletak di tengah otak bernama sistem limbik. Inilah pusat emosi dari seluruh mamalia yang memungkinkan seorang individu melihat masalah tidak saja dari satu sudut, yakni rasionalitas, tetapi juga melihatnya dengan pendekatan emosi dan intuisi. Sehingga setiap musik yang menyentuh sistem limbik akan dirasakan sama oleh manusia dan hewan, karena sistem limbik ini merupakan komponen yang juga berkembang baik pada hewan. Musik sedih bak hanya mengacak-acak hati, tapi ia memberikan kekuatan positif kepada seseorang.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Suhendra