tirto.id - Nama Alphonso Davies mendadak viral seusai pertandingan Bayern Munchen kontra Mainz dalam lanjutan Bundesliga Jerman 2018/2019 akhir pekan lalu. Satu gol oleh pemain 18 tahun ini langsung melambungkan namanya sebagai calon bintang baru Die Roten. Namun di balik itu semua, ada sejarah pedih yang pernah dialami Alphonso. Saat masih bocah, ia menjadi korban perang yang terjadi di negaranya, Ghana.
Duel Bayern Munchen vs Mainz barangkali menjadi laga yang tidak akan pernah bisa dilupakan Alphonso. Mendapat kepercayaan dari pelatih Niko Kovac, sang gelandang muda tak perlu menunggu waktu lama untuk mengukir catatan emas. Satu gol yang turut membawa Bayern menang 6-0 dan menjadikannya buah bibir di persepakbolaan Jerman jika melihat masa lalunya yang sulit.
Lahir di Buduburam, Ghana, pada 2 November 2000, masa kecil Alphonso dilalui dalam situasi perang. Saat itu, Ghana sedang berkonflik dengan Liberia. Melarikan diri dari ancaman senjata sudah menjadi makanan sehari-hari keluarga Alphonso. Ayah Alphonso, Debeah Davies, menyadari bahwa ia harus menyelamatkan anggota keluarganya sehingga pilihan kabur dari Ghana menjadi keharusan saat itu.
“Sulit menjalani kehidupan di sana karena terkadang untuk bisa selamat, kamu harus berani menenteng senjata. Sayangnya kami tidak pandai dalam hal tersebut sehingga kami memutuskan untuk pergi dari Ghana,” kenang Debeah.
Kanada yang menjadi tempat tujuan Debeah dan keluarganya. “Kami mendapatkan tawaran menjadi warga negara Kanada dan setelah melalui proses yang tidak sebentar, kami bisa datang ke Kanada,” imbuhnya.
Berbakat Sejak Kecil
Selama di Kanada, Debeah menyadari bahwa Alphonso yang saat itu berusia 5 tahun punya keahlian spesial dalam mengolah bola. Bakatnya juga diendus oleh sekolah tempatnya belajar yakni Sekolah Katolik Bunda Theresa. Beberapa pemandu bakat dan pelatih akademi sepakbola di sana pun rajin memantau bakat muda Alphonso.
“Ada hal yang spesial mengenai anak ini. Ia punya pergerakan kaki yang cepat termasuk ketika membawa bola. Saya bertanya apa rencana mereka dan saya senang karena mereka memutuskan untuk memasukkan (Alphonso) Davies ke tim kami,” ungkap Marco Bossio, mantan pelatih Alphonso di klub lokalnya dulu.
Menjadi menarik karena sebenarnya Alphonso sendiri tak ada cita-cita menjadi pemain sepakbola profesional. Namun dukungan dari orang sekitar membuatnya yakin bahwa ia memang punya bakat spesial yang akan sayang jika tidak digunakan dengan baik.
“Sebenarnya saya hanya senang bermain saja tanpa memikirkan lebih jauh. Tapi ketika saya mulai lebih serius, orang tua, pelatih, dan rekan setim saya mendukung saya untuk terus berkembang. Sejak itulah saya mulai percaya bahwa saya bisa menjadi pemain profesional,” jelas Alphonso.
Memasuki usia 14 tahun, klub Amerika Serikat peserta Major League Soccer (MLS) Vancouver Whitecaps tertarik mengajak Alphonso bergabung. Ia pun mencatatkan sejarah sebagai pemain kelahiran 2000 pertama yang bermain di MLS, tepatnya pada 16 Juli 2016 ketika berusia 15 tahun, 8 bulan, dan 15 hari.
Digaet Raksasa Eropa
Karier Alphonso Davies bersama Whitecaps hanya sampai 2018 saja karena ada tawaran menarik dari Bayern Munchen, salah satu klub raksasa Eropa. Whitecaps dikabarkan menerima dana besar dari hasil penjualan pemain yang telah mengukir 81 pertandingan dengan 12 gol itu.
Sebagai pemain baru yang masih muda, Alphonso terbilang lumayan di Bayern Munchen. Niko Kovac telah memberinya kesempatan untuk tampil di 5 laga Bundesliga kendati hanya 56 menit totalnya merumput.
Satu gol Alphonso ke gawang Mainz menjadikannya menorehkan rekor baru dalam sejarah klub Bayern Munchen. Ia menjadi pemain kelahiran tahun 2000 pertama yang sanggup mencetak gol untuk tim utama Die Roten.
Melihat bakat besarnya, bukan tidak mungkin Alphonso akan lebih sering mendapatkan peluang main di sisa musim ini. Laga melawan Mainz kemarin memberikan menit bermain terlama yakni 31 menit sejak bergabung dengan Bayern Munchen.
Alphonso Davies diprediksi bakal menjadi salah satu pilar penting dalam upaya regenerasi yang sedang dirintis oleh Bayern Munchen untuk musim-musim berikutnya.
Editor: Iswara N Raditya