tirto.id - Sebulan setelah disumpah sebagai anggota kongres Amerika Serikat, Alexandria Ocasio-Cortez sudah bikin publik dan pemerintah oposisi tertegun usai menyaksikan video yang beredar pada 8 Februari lalu. Tayangan berdurasi lima menit yang dimuat Independent menunjukkan anggota kongres termuda di AS ini mengajak sejumlah anggota dewan pengawas keuangan kampanye politik untuk sejenak ‘bermain peran’.
Ceritanya Cortez adalah penjahat yang ingin ikut serta dalam pemilihan umum demi jadi pejabat publik. Sementara itu para ahli kampanye bertindak sebagai pendukung sekaligus penunjuk jalan yang benar bagi langkah Cortez sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Begini cuplikannya.
“Aku ingin mencalonkan diri lewat kampanye yang sepenuhnya didanai oleh perusahaan besar. Apakah ada yang bisa menghalangi hal itu?”
“Tidak,” jawab Herbert Flynch, pengawas dana kampanye.
“Aku sudah terpilih jadi politisi dan ingin jadi kaya tanpa kerja keras. Adakah hal yang menghalangiku untuk punya saham di berbagai perusahaan besar dan membuat regulasi soal industri tersebut yang bikin harga saham terus meningkat?”
“Ya, kamu bisa membuat aturan semacam itu.”
“Oke, jadi sekarang kita punya sistem fundamental yang sangat buruk, yang melegalkan seseorang untuk bisa jadi pejabat sewenang-wenang.”
Cuplikan percakapan mereka lantas jadi viral dan membuat banyak orang sadar betapa bobrok sistem pemilihan di AS. Lewat perumpamaan itu, Cortez juga hendak menyerang kebijakan soal dana kampanye karena selama ini para pejabat politik AS rata-rata didanai perusahaan besar yang akhirnya berdampak pada terbentuknya kebijakan pro pemodal ketimbang pro rakyat.
Cortez tak segan-segan mengangkat topik ini dan membicarakannya dengan berapi-api lantaran ia adalah salah satu politisi yang mendapat dukungan dari para pendonor kecil atau pendonor individu yang biasanya memberi sumbangan kurang dari 200 dolar.
Pada 21 Desember 2018, jurnalis Washington Post, Christopher Ingraham, mencantumkan hasil riset Center for Responsive Politics, institusi pengawas dana kampanye, yang menyebut bahwa sepanjang 2018 persentase jumlah dana kampanye yang berasal dari pendonor kecil hanya 8 persen. Lembaga riset Pew Research Center menegaskan temuan tersebut dengan menyatakan bahwa selama 10 tahun terakhir jumlah dana kampanye politisi yang berasal dari pendonor kecil tidak pernah lebih dari 8 persen.
“Wakil rakyat benar-benar didanai orang-orang kaya. Ketika para politisi berhasil masuk di lembaga pemerintahan, berhak membuat regulasi, dan menjadi politisi petahana yang punya potensi sumbangan dana besar; aturan soal durasi kampanye pun muncul. Durasi kampanye yang panjang menghambat pelaksanaan tugas sekaligus memberi peluang besar bagi pemodal untuk memperbesar pengaruhnya atas para politisi,” tulis Ingraham.
Ia pun turut memuat temuan yang menyebut 45 persen anggota legislatif senior mengubah pendapat soal kebijakan setiap usai mendapat sumbangan.
Kehadiran Cortez, politisi anggota organisasi Democratic Socialists of America yang mendapat 62 persen dana kampanye dari pendonor individu ini dianggap sebagai kebaruan positif bagi Demokrat.
“Sumbangan dari para pendonor kecil sesungguhnya merupakan tolok ukur efektif bagi masifnya dukungan dari golongan akar rumput, ia cenderung bisa lebih representatif dibanding pemilih yang menyumbang dana ribuan dolar,” tulis Ingraham.
Dukungan dari kelompok akar rumput ini muncul lantaran Cortez membangun citra “Girl from the Bronx” sepanjang kampanye. Citra tersebut turut tertuang dalam tayangan video kampanye serupa film pendek yang menyiratkan kisah hidup Cortez-- seorang keturunan imigran Amerika Latin di AS dengan kondisi ekonomi pas-pasan dan segala keterbatasan akses fasilitas publik seperti kesehatan, pendidikan murah, hingga pekerjaan.
“Lewat video kampanye itu, Ocasio Cortez tidak hanya menceritakan kisahnya tapi juga kisah semua orang yang ada di distrik tersebut. Cortez sendiri yang menulis ide cerita dalam kampanye ini dan ia mengandalkan sukarelawan untuk menggarapnya,” tulis AdWeek.
Tim perancang branding kampanye pun ternyata membuat poster yang terinspirasi dari pamflet-pamflet gerakan akar rumput yang digagas oleh aktivis HAM masa lalu.
“Dia adalah kandidat non tradisional yang membuat kampanye non tradisional dan kami ingin memperlihatkan hal itu lewat materi kampanye. Kami hendak membuat kesan adanya harapan, visi untuk perubahan positif, dan antusiasme dalam menghadapi masa depan,” kata Maria Arenas, kepala desainer branding kampanye Cortez kepada Fast Company .
Cara non tradisional lain yang terjadi dalam kampanye Cortez ialah penggunaan aplikasi Reach, aplikasi bikinan Leo Sussan yang bertujuan memudahkan para sukarelawan kampanye dalam menyeleksi calon pemilih potensial. Lewat aplikasi ini, sukarelawan bisa mendekati dan berinteraksi dengan calon pemilih yang tengah ada di tempat umum. Sussan menilai cara ini ialah kebaruan sistem door to door yang biasanya jadi cara utama yang dilakukan politisi untuk berinteraksi dengan calon pemilih.
Di atas semua itu ada media sosial Twitter, andalan Cortez dalam berkampanye dan kini platform untuk menyampaikan hal-hal yang tengah ia kerjakan.
The Guardian menyebut perempuan yang pernah bekerja sebagai bartender, pun guru ini punya engagement terkuat di media sosial dibanding Donald Trump, Hillary Clinton, dan Bernie Sanders.
Twitter Cortez yang diikuti lebih dari 3.2 juta pengguna juga jadi akun politisi yang paling menghasilkan banyak interaksi dengan publik. Max Benwell, jurnalis The Guardian mencoba menguraikan beberapa penyebab Cortez makin jadi sosok populer karena media sosial.
“Ia membuat cek fakta jadi menyenangkan lewat adanya foto, ia menggunakan perumpamaan cerkas untuk melawan orang-orang yang berupaya merendahkannya, ia berani mengkritik lembaga tempat ia bernaung, ia punya latar belakang menarik, dan yang paling penting, ia bicara dengan gaya bahasa anak muda-- kaum pemilihnya,” tulis Benwell.
Cortez telah jadi pesohor di media sosial dan hal itu bikin dirinya jadi mudah viral. Video yang tayang pada delapan Februari lalu telah jadi tayangan politik yang paling banyak ditonton di Twitter. Publik rupanya memang menyukai politisi muda yang cerdas dan membawa kebaruan. Hal ini disampaikan oleh Nico Pitney, direktur politik NowThis pada The Guardian.
“Publik haus dengan video-video tentang politik. Mereka ingin dengar wacana tersebut dari orang yang layak dan yang sanggup mengemas informasi faktual dengan cara kreatif."
Editor: Nuran Wibisono