tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjawab alasan mereka tidak hadir dalam sidang praperadilan tersangka kasus suap PLTU Riau-1 Sofyan Basir.
Lembaga antirasuah menyebut mereka tidak hadir karena ada kepentingan koordinasi penanganan perkara. Mereka pun sudah memberikan alasan sejak Jumat (17/5/2019) lalu.
"Biro Hukum KPK telah mengirimkan surat Jumat kemarin ke PN. Meminta penjadwalan ulang persidangan praperadilan yang diajukan SFB selama empat pekan. Pertimbangannya, kebutuhan koordinasi," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah dalam keterangan tertulis, Senin (20/5/2019).
Febri mengatakan, mereka menunggu keputusan hakim terkait permohonan tersebut. KPK mengikuti keputusan hakim.
"KPK menyerahkan pada hakim yang ditunjuk," kata Febri.
Di kesempatan berbeda, pengacara Sofyan Basir, Soesilo Aribowo menyayangkan ketidakhadiran KPK dalam praperadilan kali ini. Sofyan secara tegas kecewa karena KPK tidak memenuhi panggilan pengadilan lantaran kliennya ingin tahu terkait proses status tersangka Sofyan Basir.
"Sebenarnya kecewa karena ini kami ingin proses cepat supaya pemohon Pak Sofyan bisa segera tahu status tersangkanya," tutur Soesilo di Pengadilan Negeri Jakarta selatan, Jakarta, Senin (20/5/2019).
Sebagai informasi, sidang praperadilan Sofyan Basir ditunda hingga empat pekan. Hakim menunda dengan alasan terbentur libur panjang sehingga sidang praperadilan baru digelar Senin, 17 Juni 2019.
Soesilo sebenarnya berharap agar KPK hadir dalam sidang praperadilan. Namun, setelah melihat isi surat permohonan penundaan praperadilan KPK, ia justru melihat KPK ingin penundaan hingga usai libur hari raya. Padahal, mereka berharap agar kasus bisa selesai cepat.
"Kami sebenarnya ingin menunda ya kalaupun bisa, seminggu saja, atau kurang dari seminggu. Tiga hari saya rasa cukup, tetapi sudah diputuskan karena berbagai kendala libur dan sebagainya, akhirnya diputuskan tanggal untuk 17 Juni 2019," kata Soesilo.
Soesilo pun pasrah bila perkara Sofyan rampung selama waktu penundaan. Ia memandang, rampung-tidaknya perkara Sofyan tergantung KPK. Namun, pria yang juga pengacara tersangka korupsi PT Brantas ini berharap agar praperadilan lebih dulu dijalankan dibandingkan perkara Dirut PLN non-aktif itu keburu rampung.
"Harapan saya sih, biarkanlah ini praperadilan bergulir lebih dulu. Kemudian permohonan kami di putuskan lebih dulu baru apa hasilnya supaya lebih fair," ujar Soesilo.
"Sekali lagi jni bukan melawan KPK, tapi klien saya mencoba tanya apa sih yang jadi dasar penetapan itu [tersangka]," tutur Soesilo.
Tersangka kasus korupsi PLTU Riau-1 Sofyan Basir mengajukan gugatan praperadilan beberapa waktu lalu. Sofyan, lewat kuasa hukumnya beranggapan penetapan tersangka tidak sesuai KUHAP dan dua alat bukti penetapan Sofyan tidak jelas.
Pihak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pun sudah menginformasikan tanggal Pelaksanaan sidang praperadilan Sofyan Basir. Pengadilan menyatakan sidang praperadilan perdana Sofyan digelar pada Senin (20/5/2019).
Pihak pengadilan pun sudah menunjuk Hakim Agus Widodo untuk menjadi hakim praperadilan Sofyan Basir.
Sebagai informasi, Agus Widodo merupakan hakim yang menangani praperadilan Romahurmuzy dalam kasus jual-beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama. Sebelum kasus Romy, Agus juga menangani perkara praperadilan Asrun, calon Gubernur Sulawesi Tenggara. Dalam perkara tersebut, ia menolak praperadilan Asrun.
KPK menetapkan Direktur Utama PLN (Persero) Sofyan Basir sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 pada Selasa (23/4/2019).
Sofyan Basir diduga telah menunjuk Johannes B Kotjo secara sepihak untuk mengerjakan pembangunan PLTU Riau-1. Hal itu dilakukan sebelum terbitnya Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikkan yang menugaskan PLN membangun infrastruntur ketenagalistrikan.
Ketika proyek PLTU Riau-1 masuk ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN, Johannes Kotjo memerintahkan anak buahnya untuk bersiap-siap karena dipastikan PLTU Riau-1 akan dikerjakan PT Samantaka.
Selain itu, Sofyan Basir pun disebut-sebut aktif terlibat dalam pertemuan-pertemuan membahas PLTU Riau-1 bersama dengan Johannes Kotjo, Eni Maulani Saragih, dan Idrus Marham.
Atas hal itu, Sofyan Basir dijanjikan oleh Johannes Kotjo akan mendapat fee besarannya sama besar dengan dua terdakwa lainnya dalam kasus yakni Eni Maulani Saragih dan mantan menteri sosial Idrus Marham.
Atas perbuatannya, Sofyan Basir dijerat dengan pasal 12 a atau pasal 12 b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 juncto pasal 64 ayat 1 KUHP.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri