tirto.id - Presiden Joko Widodo mengomeli menteri-menteri ekonomi di kabinetnya sekurang-kurangnya tiga kali sejak Maret 2019. Terakhir, Jokowi memarahi para pembantunya itu lantaran dianggap tak kunjung memberi terobosan untuk meningkatkan investasi dan ekspor.
Menurut Jokowi, dua faktor itu penting untuk memperbaiki neraca perdagangan dan pembayaran Indonesia yang terus minus.
“Saya kira saya sudah berkali-kali juga menyampaikan bahwa ekspor, investasi adalah kunci bersama kita dalam menyelesaikan neraca perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan,” kata Jokowi di Istana Negara, Rabu (19/6/2019).
Jokowi pada 12 Maret 2019 sempat melontarkan wacana pembentukan kementerian khusus ekspor dan investasi di kabinetnya. Kala itu, Jokowi tak tanggung-tanggung mengatakan kata 'bodoh' saking kesalnya karena Indonesia kerap mengalami defisit neraca perdagangan.
Saat masa kampanye, Jokowi pernah mengeluh lantaran permintaannya agar pajak penghasilan badan usaha atau corporate tax diturunkan tak kunjung dilakukan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Padahal, menurut dia, usulan pengusaha ini penting agar produk Indonesia bisa berdaya saing di luar negeri.
“Tapi sampai sekarang saya enggak mengerti mengapa belum rampung-rampung, belum selesai. Saya enggak tahu hitungannya seperti apa,” kata Jokowi, pada Jumat (22/3/2019) seperti dikutip dari Antara. Jokowi menyampaikan kekecewaannya itu di hadapan ribuan pengusaha di Istora Senayan, Jakarta.
Lemahnya Sinergitas Antarkementerian
Ekonom dan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal menilai sekelumit kekesalan Jokowi itu menunjukkan adanya masalah dari hulu ke hilir dalam perekonomian Indonesia. Ia mencontohkan menurunnya kinerja ekspor Indonesia sebagai akibat dari minimnya produk yang berdaya saing dan bernilai dalam perdagangan internasional.
Faisal menjelaskan sumber permasalahan ini adalah pertumbuhan industri manufaktur yang mengalami kontraksi atau perlambatan jauh di bawah pertumbuhan ekonomi. Bila dilacak lagi, sebab dari perlambatan itu adalah seretnya investasi yang masuk di sektor manufaktur, apalagi industri yang berorientasi ekspor.
Faisal menilai faktor yang mengganggu investor adalah iklim berusaha, kepastian izin dari pusat ke daerah, dan minimnya fasilitas lain seperti pembebasan lahan sampai bahan baku. Hal itu diperparah dengan lemahnya sinergitas antarkementerian.
“Seolah-olah masing-masing jalan sendiri. Apa yang ingin dicapai Kemenkeu, Kemendag, sampai Kemenperin itu beda. Ini peran menteri koordinator jadi penting,” ucap Faisal saat dihubungi reporter Tirto pada Rabu (3/7/2019).
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira juga menyoroti persoalan ego sektoral antarkementerian ini. Lemahnya sinergi antarlembaga membuat kebijakan terkait perekonomian tidak beraturan.
Bhima mencontohkan kebijakan impor beras antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan yang tidak sinkron. Contoh lainnya yakni persoalan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang dituntut untuk menggenjot investasi sebanyak-banyaknya, tetapi tidak didukung paket kebijakan kementerian lain.
“Harusnya bisa selesai di rapat koordinasi, tetapi masing-masing jalan sendiri. Banyak yang tak sevisi, jadi mangkrak,” ucap Bhima saat dihubungi reporter Tirto pada Rabu (3/7/2019).
Lantas, bagaimana dengan tim ekonomi di kabinet Jokowi periode 2019-2024? Perlukah dirombak dengan memunculkan wajah-wajah baru atau cukup pertahankan menteri-menteri lama?
Disarankan dari Kalangan Profesional
Bhima menilai menteri-menteri yang mengurusi perekonomian sebaiknya tidak terafiliasi dengan partai politik. Ia khawatir tekanan politik bisa membuat kebijakan sang menteri jadi tak tepat sasaran.
Bima menyarankan posisi menteri ekonomi diisi oleh kalangan profesional. Selain itu, orang yang mengisi posisi menteri mesti memiliki rekam jejak yang mendukung agar terhindar dari kemungkinan terseret Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Sebaiknya rombak total. Jangan orang yang itu-itu saja, tetapi kerjanya tidak baik,” kata Bhima mengusulkan.
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan juga menilai Jokowi sebaiknya memunculkan wajah-wajah baru pada jajaran menteri ekonomi di periode keduanya. Ia mengatakan penyegaran diperlukan bila pemerintah mau mencapai target lebih tinggi dibanding periode pertama.
"Tim ekonomi sebaiknya berasal dari nonparpol agar lebih lincah bergerak. Kalau dari parpol, dia dibebani oleh kepentingan parpol yang seringkali bertentangan dengan logika efisiensi," ucap Abdillah saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (4/7/2019).
Abdillah menyebut Jokowi pada periode kedua tak memiliki 'beban'. Hal itu mesti dimanfaatkan untuk memilih tim ekonomi yang memenuhi ekspektasi masyarakat.
"Kalau tim ekonomi tidak sesuai ekspektasi, ini membuat pasar guncang, dan memperlambat perekonomian," ujar dia.
Abdillah mengatakan Jokowi tak perlu takut untuk menolak keinginan partai politik untuk mengisi posisi menteri di pos-pos ekonomi. Ia beralasan sesuai prinsip demokrasi, maka yang memenangkan Jokowi adalah rakyat.
"Yang memenangkan Jokowi, rakyat Indonesia. Jokowi jangan dibebani tuntutan semacam ini, biarkan beliau memilih sesuai dengan pertimbangan yang objektif demi perbaikan bangsa," pungkasnya.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan