tirto.id - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) hingga kini tetap menolak untuk menerbitkan regulasi yang melegalisasi transportasi umum berbasis motor, seperti didesak oleh para pengemudi ojek online.
"Iya [tidak akan ada aturan untuk ojek]," kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Budi Setiyadi saat dikonfirmasi mengenai hal itu di Kantor Kemenhub, Jakarta pada Selasa (3/7/2018).
Budi mengungkapkan sejumlah alasan yang mendasari sikap Kemenhub tersebut. Dia menjelaskan di antara pertimbangan Kemenhub itu ialah tingginya angka kecelakaan sepeda motor dan jaminan keselamatan yang minim dengan penggunaan sarana transportasi itu.
Selain itu, Budi menambahkan, sampai sekarang belum ada negara yang melegalkan sepeda motor sebagai sarana transportasi umum. Apalagi, pemerintah juga sedang mengupayakan perbaikan sarana transportasi massal.
"Karena mungkin kita akan memperbaiki kualitas angkutan umum, seperti pengadaan MRT, LRT dan sebagainya," kata Budi.
Selain itu, dia menambahkan, Kemenhub juga tidak akan mendorong revisi regulasi yang selama ini mengatur transportasi umum, yaitu UU nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Sikap itu, menurut dia, juga telah menjadi kesepakatan antara Kemenhub dengan Korlantas Polri. Guna mendukung keputusan tersebut, Kemenhub akan melakukan koordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Dalam UU 22/2009, dia melanjutkan, juga tidak ada amanat untuk penyusunan aturan turunan regulasi itu. Sementara pembentukan aturan turunan, kata dia, membutuhkan perintah dari undang-undang yang menjadi induknya.
Kemenhub Minta Pengaturan Ojek Online Ditangani Pemda
Budi Setiyadi mengklaim sikap Kemenhub terkait dengan regulasi pengatur ojek online didasari oleh tidak adanya peluang hukum.
Namun, menurut Budi, pemerintah daerah (pemda) masih mungkin untuk menerbitkan regulasi untuk mengatur ojek online. Sebab, berdasar pasal 65 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Pemda bisa mengatur ojek online atas pertimbangan ketertiban dan keamanan umum.
"Daerah memungkinkan untuk mengatur itu sepanjang dia melihat UU No.23/2014 Pasal 65 tentang Pemda yang menyampaikan sepanjang untuk kepentimgan ketertiban dan keamanan, bukan (spesifik) untuk transportasi," kata dia.
Budi beralasan, selama ini, menjamurnya ojek online di banyak daerah telah memicu penolakan dari pengemudi ojek pangkalan dan sopir angkot.
"Berarti walikota dan gubernur perlu mengatur ini. Kalau mengatur dengan pendekatan transportasi, enggak ada cantolannya [acuan regulasi]. Maka, aturlah dengan keertiban umum dan keamanan," ujarnya.
Dia mencontohkan, Pemda bisa membentuk regulasi yang membatasi jumlah kendaraan ojek yang beroperasi di wilayahnya untuk menjaga persaingan bisnis tetap sehat dan mencegah polemik.
"Karena banyak yang terganggu jika tidak terkendali. Kemudian yang boleh dilayani di jalan ini saja, yang lain tidak boleh. Tapi jangan bicara dengan (regulasi) transportasi, [pengaturan] trayek dan tarif hanya untuk ketertiban dan keamanan saja," ujar Budi.
Dia menilai opsi pengaturan ojek online oleh Pemda realistis sebab sejumlah daerah juga sudah melakukannya.
"Jadi bukan menyerahkan. Kan kekosongan [aturan pusat] ini kan sekarang diisi dengan [aturan] kabupaten atau kota dengan pendekatan ketertiban dan keamanan. Balikpapan sudah keluarkan Perda, Solo sudah. Depok juga sudah. Kemudian Gorontalo," ujar dia.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom