tirto.id - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menjelaskan bahwa ide transportasi O-Bahn muncul karena adanya keterbatasan pemerintah untuk membenahi transportasi umum dengan metode buy the service.
Menurut Budi, pembenahan transportasi umum dengan membeli layanan dari operator ini dapat menghabiskan biaya cukup besar. Semakin banyak kota yang menerapkan maka beban anggaran yang harus disediakan akan semakin besar juga.
Alhasil, ia khawatir bila penambahan beban anggaran ini dapat mengurangi kegiatan lainnya.
“Jadi O-Bahn ini karena adanya kesulitan di buy the service itu. Kami kalau buy the service semakin banyak kota semakin banyak keluar uangnya. Kalau semua jadi beban pemerintah pusat, anggaran kami terbatas. Kalau banyak kota tiap 1 tahun bisa Rp1 triliun dan kegiatan lain jadi dikurangi,” ucap Budi saat ditemui reporter Tirto di kantornya pada Senin (24/6/2019).
Budi mengatakan bahwa penerapan O-Bahn yang merupakan gabungan dari Bus Rapid Transit (BRT) dan Light Rail Transit (LRT) ini seharusnya dapat menjadi solusi pembenahan masalah transportasi di daerah.
Meskipun nantinya akan ada penambahan infrastruktur seperti jalur khusus menyerupai rel, terowongan, hingga jembatan layang (elevated), menurut Budi, hal itu dapat dikerjakan. Pasalnya, dari informasi yang ia ketahui, biaya investasinya masih murah dari LRT kendati sedikit lebih mahal dari BRT.
“Ini kan ada beberapa negara menggunakan ini. Di Jerman ada juga. Saya kira tidak ada salahnya. Ini akan lebih baik dari LRT dan BRT,” ucapnya.
Ketika ditanya mengenai adanya kemungkinan pembangunan O-Bahn ini adalah cara pemerintah menghindari keinginan daerah untuk ingin memiliki LRT dan MRT seperti di Jakarta, Budi menampiknya.
Budi mengatakan pemerintah tetap berkomitmen untuk memperbaiki fasilitas transportasi umum di daerah. Menurutnya, penerapan BRT di sejumlah daerah saja tidak semua berhasil.
Karena itu, pemerintah, katanya, tetap membuka kemungkinan pembenahan transportasi umum dengan metode lain meski itu belum tentu O-Bahn.
“Belum bisa diambil kesimpulan itu,” ucap Budi.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri