tirto.id - Cuaca panas yang membuat suhu tubuh ikut meningkat dapat memengaruhi energi, emosi, dan kualitas tidur seseorang.
Dengan kata lain, perubahan iklim juga ikut mempengaruhi perilaku manusia, termasuk menjadikan orang mudah lelah dan cepat emosi.
Sebuah penelitian terbaru, telah menemukan dasar-dasar genetik yang mempengaruhi adaptasi tubuh terhadap iklim.
Para peneliti melakukan uji coba pada lalat buah yang "diprogram" untuk beristirahat di tengah hari, di mana hasilnya menemukan "reseptor panas absolut" di otak lalat yang merespons suhu di atas 77 derajat Fahrenheit.
Studi yang baru-baru ini diterbitkan di jurnal Current Biology menemukan, sirkuit termometer berbeda di otak lalat buah yang dipicu oleh suhu panas.
Ini mengikuti makalah tahun 2020 yang mengidentifikasi sirkuit "termometer dingin".
Penulis utama Marco Gallio, profesor neurobiologi di Northwestern University mengatakan, orang mungkin memilih untuk tidur siang di hari yang panas, dan di beberapa bagian dunia ini adalah norma budaya, tetapi apa yang dipilih itu adalah apa yang akan diprogram ke dalam diri Anda.
"Tentu saja, ini bukan budaya pada lalat, jadi sebenarnya mungkin ada mekanisme biologis mendasar yang sangat kuat yang diabaikan pada manusia,” ujarnya.
Lalat buah mengungkapkan biologi di balik rasa kantuk pada sore hari
Menurut Gallio, tidur bersifat universal di seluruh dunia hewan, dan 60% gen serangga sama dengan yang ada pada manusia.
Lalat umum muncul di seluruh dunia karena memiliki hubungan dekat dengan manusia. Suhu favoritnya, yakni 77 derajat Fahrenheit, juga mendekati suhu banyak manusia.
Gallio mengatakan bahwa lalat buah mendapatkan momentum dalam penelitian karena mereka menunjukkan serangkaian perilaku kompleks seperti manusia.
"Namun, mereka melakukan semua itu di dalam otak yang hanya terdiri dari 100.000 sel otak. Di sisi lain, otak manusia menyimpan sekitar 86 miliar sel otak," jelasnya
Dalam artikelnya, “Ode to the fruit fly: lab kecil subjek penting untuk penelitian dasar", Dr. Gallio menulis bahwa anatomi dan fisiologi yang terkait membuat lalat ideal untuk merancang eksperimen yang penting bagi hewan dan manusia.
Seperti ditulis laman Medical News Today, studi ini mengacu pada proyek 10 tahun yang menghasilkan connectome, yaitu peta lengkap pertama jalur saraf pada hewan.
Connectome memungkinkan para peneliti untuk menganalisis semua kemungkinan koneksi saraf untuk setiap sel otak lalat buah.
Penelitian ini membantu mereka mengamati bagaimana informasi di otak berpindah dari satu titik ke titik lain.
Antena sebagai termometer
Antena lalat memiliki tiga organ yang disebut sensilla, masing-masing berisi satu neuron yang diaktifkan panas dan satu neuron yang diaktifkan dingin.
Kepala lalat juga mengandung neuron sel anterior (AC) yang merespons panas dan dingin. Penelitian ini adalah yang pertama untuk mengidentifikasi "reseptor panas absolut".
Selama penelitian ini, Dr. Gallio dan rekan-rekannya memperhatikan bahwa neuron AC yang sensitif terhadap panas adalah bagian dari jaringan yang lebih luas yang mengontrol tidur.
Ketika sirkuit panas diaktifkan oleh suhu di atas 77 derajat Fahrenheit, sel-sel yang memicu tidur tengah hari bertahan lebih lama.
Hal ini menyebabkan tidur siang lebih lama, membantu lalat menghindari gerakan selama bagian hari yang paling hangat.
Penyebab Panas Bikin Cepat Lelah
Pengaruh suhu pada tidur
Matthew Walker, seorang penulis dan profesor ilmu saraf dan psikologi di University of California, juga pernah melakukan sebuah penelitian yang berfokus pada tidur dan kesehatan manusia.
Ia mengatakan bahwa suhu sama kuatnya dengan pemicu pengaturan tidur dan kedalaman tidur, seperti halnya cahaya.
"Agar Anda tertidur dan tetap tertidur, tubuh perlu menurunkan suhu intinya sekitar satu derajat Celcius atau sekitar dua derajat Fahrenheit," kata Walker.
"Itulah alasan mengapa Anda akan selalu merasa lebih mudah untuk tertidur di ruangan yang terlalu dingin daripada terlalu panas, karena ruangan yang terlalu dingin setidaknya membawa Anda ke arah termal yang tepat untuk tidur yang nyenyak,” lanjutnya.
Walker yang juga berprofesi sebagai Pakar tidur ini juga membahas studi suku pemburu-pengumpul yang menunjukkan pengaruh perubahan suhu terhadap perilaku tidur.
Menurutnya, cara hidup dalam masyarakat pra-industri seperti itu tetap konstan selama ribuan tahun.
Orang-orang ini, kata Walker, biasanya tidak beristirahat pada malam hari segera setelah matahari terbenam. Sebaliknya, suku pergi tidur beberapa jam kemudian ketika suhu lingkungan turun.
“Itu tampaknya menjadi pemicu termal bagi mereka untuk mengantuk dan tertidur. Dan mereka biasanya bangun 15 hingga 20 menit sebelum fajar," imbuhnya.
"Jadi, bukan cahaya yang tampaknya menjadi pemicu kebangkitan. Ini sebenarnya kenaikan suhu, dan itu adalah ritme sirkadian. Jadi, apa yang membuat kita mengikuti ritme tidur alami kita adalah suhu dan cahaya,” terangnya.
Jade Wu, seorang psikolog tidur, peneliti, dan pembicara yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut, mengatakan bahwa ia penasaran apakah temuan penelitian tersebut dapat meluas ke manusia.
“Kami tahu bahwa ketika terlalu panas, manusia sebenarnya lebih sulit tidur, yang tampaknya berlawanan dengan apa yang terjadi pada lalat dalam penelitian ini,” kata Dr. Wu.
Hal itu pula yang menjawab mengapa saat cuaca panas menyebabkan manusia jadi cepat merasa lelah.
Editor: Yantina Debora