tirto.id - Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) mengajukan uji materi terhadap sejumlah pasal di UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Uji materi itu mempersoalkan ketentuan di UU Pemilu yang membatasi waktu publikasi hasil hitung cepat, yakni paling awal 2 jam setelah pemungutan suara di Indonesia bagian barat selesai.
Selain itu, AROPI juga menguji materi aturan di UU Pemilu mengenai larangan mempublikasikan hasil survei pada masa tenang.
Kuasa hukum AROPI, Veri Junaidi menjelaskan AROPI mengajukan uji materi ini karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan ada 33 lembaga survei yang boleh mengumumkan hasil hitung cepat (quick count) di Pemilu 2019. Dia mengklaim sebagian dari 33 lembaga survei itu merupakan bagian dari AROPI.
Jika MK mengabulkan uji materi itu dan mengeluarkan keputusan sebelum pemilu dilaksanakan, kata Veri, semua lembaga survei yang telah terdaftar dapat mengumumkan hasil hitung cepat tanpa harus menunggu dua jam setelah pemungutan suara di Indonesia bagian barat selesai.
"Kalau belum ada kepastian hukum, semua [Lembaga survei] masih was-was. Satu sisi 33 [Lembaga survei] sudah didaftarkan [di KPU], tapi di sisi lain masih ada ketentuan yang membatasi," ujar dia.
Oleh karena itu, dia berharap MK segera memutuskan permohonan uji materi UU Pemilu tersebut.
"Ini menunjukan bahwa proses kepastian hukum itu menjadi penting. Jadi kalau dengan keputusan MK nanti, misalnya permohonan kami [Uji materi UU Pemilu], dan kami harap mendapat jawaban segera," kata Veri di Kantor MK, Jakarta Pusat, Jumat (15/3/2019).
Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif) itu mengatakan gugatan yang diajukan oleh AROPI ke MK menguji pasal 449 ayat 2, pasal 449 (5), pasal 449 (6), pasal 509, dan pasal 540 UU Pemilu.
"Pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 28D ayat (1), 28E ayat (3), pasal 28F, dan pasal 31 ayat (1)," ujar Veri.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Addi M Idhom